Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya
perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur
napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh
sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya
bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang
tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala
sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di
depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat
dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk
menyiram ubun-ubun.
Saat ini pendeta akan merestui sepasang
pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa,
tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang
anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki,
dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia
menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi
hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang
dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih
mendaki tangga.
“Tidak adakah pendeta lebih muda di desa
ini?” tanya seorang di antara mereka.
Tetapi bagi orang-orang di desa asal
pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang merasa lebih mantap dan terhormat
jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan oleh cahaya mata dan
wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria.
Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam
terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir di tangga bambu, terjerembab.
Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang bambu pamiosan.
Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik
kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang-
goyang sesaat menahan tubuh pendeta ringkih itu.
Sang pendeta terpelanting, terguling,
disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak menyaksikan upacara perkawinan
di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau yang kemarin
dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur
kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam
bingung. Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah
sakit. Rumah yang semula memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak
berubah keruh dirubung kekalutan.
Pengantin itu saling pandang. Wajah yang
berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu seperti mimpi. Mereka
termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap oleh warna
emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita
duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa
guna menunggu? Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam.
Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya
yang termenung lesu di bawah pohon belimbing, menggamit tangannya. “Kita pulang
saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu terpaku, terisak, memandang hampa
calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan dapur.
Dengan langkah gontai, ayah pengantin
wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Anak
akan saya bawa pulang.”
Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan
nasib ini dengan tenang. Permintaan saya, jangan batalkan perkawinan.”
“Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.”
“Sedang kami usahakan mencari pendeta
pengganti.”
“Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore
begini? Dua jam lagi malam.”
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”
“Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai
semua dari awal.”
Mulai dari awal artinya harus datang lagi
ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi, memohon hari baik lagi. Itu belum
cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara perkawinan diulang. Tak
ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada orang suci,
tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial,
tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka.
Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan
sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk tamu-tamu adat, harus dibuang.
Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru, harus melibatkan
puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari rasa
malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan
dibanting-banting.
Ayah pengantin wanita susah payah
menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita ayu itu melintasi
halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya basah.
Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia
lihat sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya,
memanggil dengan lambaian terkulai.
Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih
mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak sebaiknya kita rembukkan sekarang,
mencari hari baik lain?”
“Hyang Widhi melarang kita bicara
perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam saja!” ujar ayah pengantin
wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia bergegas meninggalkan
gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di sebelahnya
duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang
tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua keluarga itu tak kunjung
bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para orang tua,
sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit.
Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik.
“Bukankah hari baik itu telah direstui
pendeta?” bela keluarga laki.
“Pendeta tak selamanya benar. Kita harus
kritis pada siapa pun, termasuk pada orang suci,” sergah keluarga wanita.
Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu
selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari baik menjadi mahapenting,
menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing menunjukkan
kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah
membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di
daun-daun lontar itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba
sekuat tenaga menjatuhkan pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah,
mengaku kalah. Aneh, tak ada yang menggubris betapa sedih dan galau sepasang
calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak kunjung datang.
“Sekarang sesungguhnya hari baik untuk
melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami sampaikan sebulan lalu dalam
pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari keluarga laki-laki.
Hampir serentak keluarga perempuan
geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon Watugunung, hari Jumat, bulan
Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar jenazah, upacara
untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita mau mati?
Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari
ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir
balik jadi hari baik untuk nikah.”
Keluarga laki-laki menghela napas, terhina.
Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu tanpa pamit. Buntu. Berbarengan
dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga sedang bertemu. Mereka
menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk menyelesaikan kemelut.
Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam.
Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak
menjadi tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam,
sebentar lagi berubah merah membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang
tampak sangat ganas menghantam karang seperti slow motion lambaian peri laut
yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah menjemukan. Sepasang
kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu gerak abadi
itu.
“Dikau yakin ini hari baik untuk mati?”
tanya si lelaki.
Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek
yang sering mendongeng untukku. Kata kakek, Sukra Kliwon Watugunung, sasih
Karo, hari terindah untuk mati.”
Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau!
Kita jangan mati demi dongeng, sayang…!”
“Tapi hari baik untuk mati seperti ini
hanya terulang sepuluh tahun sekali.”
“O ya?”
Si wanita melilitkan kain putih di pinggang
kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke tubuhnya sehingga raga mereka
menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang dalam balutan kain
kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga kesejukan.
Ujung kain mereka genggam bersama.
“Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar
wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
“Ah, dikau sudah berjanji tidak akan
menangis. Teringat yang akan dikau tinggalkan?”
Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita
sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang kebahagiaan sejati yang abadi.”
Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka
dikau yang selalu gombal kalau lagi bersedih.”
Sedikit
lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam.
Bangunan pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam.
Dulu, di abad ke-11, pura itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena
menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang mendongak ke laut itu untuk bertapa.
Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi ada yang berkomentar,
jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu kemudian
menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak
berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari
kekerasan.
Laki-laki itu mengelus-elus pinggul
kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan kenyal payudara wanita
itu.
“Peluk daku,” pinta si wanita.
“Ah, sejak tadi kupeluk dikau.”
“Lebih erat lagi. Ciummm…!”
Angin berembus kencang, sedikit lagi
matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir tebing, menatap nun di bawah
sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna permukaan laut kian
membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus, pelan-pelan,
bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu
semakin ke tepi tebing. Hening.
“Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya
si wanita.
“Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun
tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian, tas, sudah kulempar ke laut.”
“Kalau begitu, mari…!”
“Ayo…!”
Mereka meloncat melewati bibir tebing,
meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh hampir dua kali lima puluh
meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas, beberapa helai
menutup mata dan telinganya.
“Peluk terus daku, sayang! Jangan
lepaskan!”
“Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki.
“Ciummm…!”
Ujung kain kasa putih yang melilit mereka
berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik mereka mempererat pelukan,
mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih, penyerahan, dan
penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua
melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar
biasa jauh, tanpa batas.
Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu
matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit cerah bulan Agustus yang
menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang menyaksikan pesona
itu tak hendak beranjak sebelum berakhir.
Raga sepasang calon pengantin itu terempas
deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum tangan ombak memeluk dan
menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak tampak sedikit
pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa.
0 comments:
Post a Comment