Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib
penjudi togel yang satu ini. Dan siapakah yang bisa menuturkan dengan saksama
perasaan petaruh yang selalu menelengkan kupiahnya ini, yang selama lebih empat
puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dari nasibnya pada
keberuntungan yang dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yang bisa
bertahan terhadap kekecewaan seteguh Huripto, yang selama hidupnya
mengotak-atik angka, tapi tak sekali pun tebakannya yang mengena.
Dia mulai berangan- angan jadi kaya
dengan menebak toto sepak bola awal 1960-an. Ketika padang rumput di bagian
barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, karena imajinasi yang
melambung belum menggoda Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga
hampir saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yang dijadikan
penduduk kota sebagai ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi
benar-benar menggoda hidup Huripto.
Kata-kata
tak kuasa melukiskan kegigihan penjudi kita ini. Dia tak pernah menyesal bahwa
sebagian dari keuntungan yang dia petik dari gerobak rokoknya telah terbang ke
kantong bandar judi. Huripto selalu berpandangan positif. Dia beranggapan
uangnya yang lenyap ditarik bandar merupakan sumbangan yang akan memperbesar
kebahagiaan teman-temannya yang beruntung.
Jalan pikiran dan ketulusan hati seperti itu terutama muncul
ketika saban minggu dia membeli lembar-lembar Undian Harapan yang dikeluarkan
oleh Departemen Sosial. Dia bukannya tak tahu, sebagaimana yang dikatakan
berbagai laporan koran, bahwa uang undian itu bukannya mengalir untuk membantu
penduduk miskin, tapi ditilap oleh para pejabat pemerintah untuk mempertahankan
kekuasaan. Sekalipun dia seorang penjudi berat, hatinya tetaplah muak mengingat
tingkah laku pejabat yang korup. Hanya saja dengan gampang dia bisa berdamai
dengan kekesalannya. Yang penting buatnya kesempatan bertaruh selalu terbuka.
Menang atau kalah soal belakangan. Dan yang paling utama adalah bahwa dengan
secarik kertas taruhan, dia bisa berangan-angan. Dia punya kredo sendiri:
Alangkah suntuknya dunia ini kalau berangan-angan saja orang tak bisa.
Angan-angan membuat hatinya sejuk tenteram. Dia merasa regangan
sarafnya menjadi kendur. Teman-teman sebayanya sudah banyak yang meninggal
disambar stroke, kena serangan jantung, gula, atau pneumonia. Dan dia yakin
ketenteraman yang ditawarkan oleh angan-angan yang dipersembahkan kertas
judilah yang membuat pembuluh darah jantungnya tetap lentur walaupun tubuhnya
gemuk gempal. Sementara gula darahnya, sekalipun lebih tinggi dari ambang batas
normal, jadi terkendali. Berkat apalagi kalau bukan angan-angan yang membuai.
Keluhuran hatinya tiada terkira terhadap teman-temannya. Dia
berpantang berjudi dengan teman sendiri. Lawan-lawannya dalam perjudian haruslah
pihak yang tidak dia kenal, mereka yang ingin membangun kekuasaan dengan uang.
Baginya tak ada lagi pekerjaan yang lebih hina daripada hidup di atas nasib
buruk handai tolannya sendiri.
Di tepi jalan, sepelemparan batu dari jalan tol yang melayang di
atas gerobak rokoknya, Huripto kelihatan mengipas-ngipas wajahnya dengan karton
bekas pembungkus rokok, menyedot kreteknya dalam-dalam, dan meningkahi kepulan
asapnya dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang membawa
nikmat yang sedang menguasai perasaannya. Nyata sekali terlihat dari kakinya
yang terus dia goyang-goyangkan. Sebentar-sebentar dia menghela napas.
Beberapa saat kemudian, dia menghentikan kibasan karton di
tangannya itu. Menatap tajam coretan-coretan angka yang dia buat di situ
beberapa jam yang lalu. Seluruh permukaan karton itu berjejalan dengan angka
tiga. Tiga! Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, berpendar angka nol. Karton itu
seperti menampilkan satu sketsa yang acak-acakan, yang melukiskan sekawanan
besar burung terbang menutup langit, dengan balon-balon awan tercecer di
sana-sini.
Dia menyedot kreteknya lagi. Mengencangkan letak kupiahnya
supaya tegak lurus, bukan miring sebagaimana biasanya orang yang kalah berjudi.
Pengecer rokok merangkap penjudi yang tekun itu lantas bangkit dan meninggalkan
gerobaknya menuju ke gang yang terbentang di belakang. Sesiang seperti itu,
tentu belum ada yang berkerumun mengisi togel. Kedatangan Huripto menjadi
penglaris bagi agen togel yang menyempil, berkedok pedagang minuman, di perut gang
itu.
Huripto mematikan rokoknya, menginjaknya kuat-kuat sampai lumat.
Dia ambil bolpen dan dengan mantap dia memasang 3033. Seluruh kekayaan dalam
bentuk uang tunai yang dimiliki penjudi bujangan yang sudah bangkotan itu, dia
tumpahkan untuk nomor itu. Dia tidak khawatir kalau akan kalah lagi karena stok
rokok dan barang dagangan yang lain masih cukup. Dia juga menutup taisen maupun
kemungkinan keluarnya “angka setan” dari nomor itu. Dan dia kepung angka itu
dengan memasang semua kemungkinan yang bisa muncul dari angka yang dia
simpulkan dari tanda-tanda alam yang dia baca tadi pagi. Selepas subuh, entah
datang dari mana, seekor angsa tiba-tiba menjadi pengunjung pertama di gerobak
rokoknya. Dan yang muncul sebagai pembeli paling awal adalah tiga anak kecil
yang baru dididik orangtua mereka untuk berbelanja senilai Rp 3.000. Sementara
di jalan tol yang membentang di atas, tiga truk yang bertabrakan tadi malam
masih belum juga disingkirkan. Dia ingat betul, menurut primbon hwa-hwe, angka
3, yang bersimbol angsa, juga berarti kematian, kekosongan. Maka tafsir
perjudian menasihatinya untuk jangan mengabaikan 0.
Biasanya dia luangkan waktu barang sebentar untuk
memperbincangkan angka-angka taruhan dengan penjual kertas togel atau para
petaruh yang lain. Tetapi, hari ini mulutnya tersumbat. Dia langsung
meninggalkan meja togel dan kembali ke gerobaknya. Agen togel terperangah. Tak
pernah dia melihat orang memasang sebesar taruhan Huripto yang menjadi
penglarisnya siang itu. Dia mengikuti pelanggan yang selalu bernasib buruk itu
dengan mata setengah melotot sampai lenyap di ujung gang.
Bertambah
tinggi matahari, bagai semut, satu demi satu para penjudi muncul dan berkerumun
di meja togel yang terletak di gang sempit itu. Semua melirik, menatap,
memelototi, menafsir rupa-rupa kode yang terhampar di meja.
Penjual togel berupaya membuka pembicaraan dengan menyampaikan
keheranannya bagaimana Huripto telah memasang taruhan yang begitu besar. Sejak
meja togel dia gelar di situ, tak pernah ada orang yang bertaruh sebanyak itu.
Tetapi, cerita pemancing percakapan itu tak bersambut. Huripto sama dengan
nasib yang apes. Menjadi pemasok rezeki bandar nomor satu. Seumur hidup
tebakannya ngawur. Begitu mereka tahu Huripto memasang 3033, maka tak seorang
pun yang mau meletakkan taruhan pada 3, dalam variasi angka yang bagaimanapun.
Menjelang pengumuman nomor sore hari, Huripto menunggu pembeli
sambil rebah-rebahan mendengarkan radio dua band. Dia tak perlu datang ke agen
hanya untuk mengetahui nomor yang keluar. Cukup menyetel stasiun radio
tertentu. Sebagai seorang penjudi yang tekun, maka jarum penunjuk pemancar
radionya tak pernah bergeser dari stasiun radio itu. Angan-angannya melayang ke
Brebes, ke kampung halamannya. Lebaran tahun kemarin dia tidak mudik. Panen
bawang berhasil, tapi harganya anjlok habis-habisan, sampai-sampai para petani
membuang hasil panen ke jalan raya untuk menunjukkan rasa kesal terhadap
pemerintah yang tidak punya perhatian terhadap petani. Tahun ini dia sudah
mantap akan menjenguk kampung halamannya. Sekadar mengenang masa kecil karena
seluruh sanak famili dalam garis keturunannya sudah tiada.
Melawan gerah, dia kibas-kibaskan karton bekas pembungkus rokok
yang penuh coretan angka. Begitulah selalu. Angin buatannya sendiri itu
meninabobokan matanya hingga terpejam. Dia tak pernah menyetel jam weker untuk
membangunkannya beberapa menit menjelang pengumuman togel. Saking sudah
terbiasanya, bawah sadarnyalah yang akan menyentakkan matanya, persis beberapa
menit sebelum semua pecandu togel bagai lebah berkerubung memasang kuping
menyimak radio.
Renowo, agen togel di gang sempit itu, mendadak melompat keluar
dari ruang depan rumahnya. Dibantingkannya tinjunya ke daun meja yang bertabur
kode. Cepat seperti tupai, dia meloncat ke jalan.
“Tiga-nol-tiga-tiga! Tiga-kosong-tiga-tiga…! Jebol dia! Bandar
jebooool…. Pakde Ripto menjebol bandar. Jeboool! Jeboool…!” dia melompat-lompat
seperti bocah sambil berteriak-teriak di jalan sempit itu dan berlari-lari
kecil menuju ke mulut gang di mana gerobak Huripto bertengger. Orang-orang yang
bertempat tinggal di kiri-kanan gang pada menjulurkan kepala dari jendela dan
pintu rumah, ingin melihat apa yang terjadi dengan agen togel itu.
“Selamat Pakde. Edan tenan (Sungguh gila).”
Renowo menyodorkan kepalanya lewat pintu gerobak. “Jebol, Pak.
Panjenengan luar biasa!” katanya lagi, girang bukan main. Di dalam gerobak,
kepala Huripto tetap bersender ke dinding. Kupiahnya terjungkal ke depan,
menutupi jidatnya. Ada sesuatu, seperti ujung pojok kertas menyembul dari bawah
kupiah itu. Sudut mulutnya tampak menahan cairan yang mau muncrat. Perlahan,
radio yang terletak dekat ketiaknya terus memainkan lagu-lagu dangdut. Kakinya
lurus melonjor.
Perasaan suka cita agen togel yang kesurupan itu jadi tertahan
ketika dia sadar bahwa orang yang dia sapa, yang mestinya gembira bukan main
karena telah memenangi taruhan dalam jumlah yang belum pernah dia dengar, cuma
tergolek kaku.
“Pak…, Pak Ripto…,” dia memegangi kaki tukang rokok itu. Yang
diajak bicara cuma diam. Dia raba dan goyang-goyangkan betisnya. Huripto tak
menyahut. Dia tetap menyenderkan kepala ke dinding.
“Pak…,” seru Renowo pelan, putus asa. Rona wajahnya dengan cepat
berubah menjadi pucat. Lekas dia menarik anggota tubuhnya dari gerobak rokok
itu. Lantas dia berlari seraya menjerit-jerit. “Ampun Gusti…. Pak Ripto mati!
Bandar jebol. Tapi, Pak Ripto mati. Ooooi…, dengarlah! Bandar curang. Karena
jebol, mereka mengirim dedemit untuk membunuh Pak Ripto,” dia berlari-lari dari
ujung-ke-ujung gang itu. Mengumandangkan kabar gembira dan kemalangan dalam
sekali tarikan napas.
Seorang demi seorang, berdua-dua, atau bertiga-tiga manusia
tumpah ke jalan kecil itu, dipikat gerobak rokok yang menunggu di ujung gang.
Ketua rukun tetangga di lingkungan daerah padat itu menjorokkan kepalanya ke
dalam gerobak. Meraba nadi di kaki Huripto. Tak ada detak. Dia maju lebih
menjorok ke dalam. Menempelkan ujung jarinya ke leher penjudi yang membikin
gempar itu. Pembuluh darah itu juga diam. Dia menyingkapkan baju dari tubuh
tukang rokok yang diam tak bergerak itu. Melekatkan kupingnya beberapa saat ke
dada warganya yang tergeletak layu itu. Ah, jantung Huripto sudah berhenti.
“Inna lillaaah…,” orang itu berbisik. Dia memungut kupiah
Huripto, meletakkan kertas taruhan di dalamnya, dan memberikannya kepada Renowo.
“Apakah dia tahu nomor yang dia pasang mengena?”
“Saya yakin. Ya…, ya, dia tahu dia menang. Pak RT lihat sendiri
tadi kertas nomornya terletak di ubun-ubunnya, di dalam kupiahnya. Biasanya
kertas togel dia selipkan di lipatan kupiah,” kata Renowo.
“Syukurlah. Saya kira dia tak tahan menerima kemenangan ini.
Jantungnya, gulanya….”
Ketua rukun tetangga memutuskan untuk mengeluarkan jasad Huripto
dari gerobak rokok merangkap rumah huniannya itu. Renowo dengan senang hati
menyediakan rumahnya sebagai rumah duka. Segala perangkat togel dengan cepat
disingkirkan dan sekat di dalam rumahnya dijebol untuk memberikan ruang kepada
Huripto dan para pelayat. Jasad penjudi yang gigih itu diletakkan dengan
terhormat di tengah ruang dan ditutupi dengan selendang batik, sebelum
disembahyangkan.
“Renowo,” sapa ketua rukun tetangga di tengah-tengah mereka yang
datang duduk mengerubung. “Bersediakah kamu menguruskan uang almarhum?”
Agen togel itu kelihatan agak gentar. Dia tak pernah melihat
uang sebanyak yang “dijebol” Huripto. Mendengarnya saja belum.
“Saya siap. Tetapi, harus dibantu teman-teman. Uangnya terlalu
banyak. Takut. Zaman sekarang…,” jawabnya.
“Tak masalah, banyak yang mau menolong. Saya juga bersedia.
Tetapi, soalnya mau diapakan uang sebanyak itu?” Ke arah pelayat yang duduk
berkerumun, dia berujar, “Apakah ada di antara saudara-saudara yang pernah
mendengar Huripto berpetuah, bercita-cita, bernazar, berkeinginan, atau pernah
mengatakan, ’Saya akan begini… begitu’ atau semacamnya, apabila dia meninggal?”
Lama tak terdengar suara. Kemudian, seorang berkata agak
ragu-ragu, “Kepada saya Pak Huripto pernah bilang kalau dia punya uang banyak
dia ingin sumbangkan untuk pembangunan masjid di jalan menuju Brebes. Soalnya,
Pak Ripto tidak sudi orang-orang jadi peminta-minta kepada para penumpang bus,
truk, atau yang lain, apalagi dengan cara mempersempit jalan di pantai utara
Jawa itu. Jalan sudah diperlebar kok malah dipersempit lagi atas nama masjid.”
“Ingat. Uang hasil togel memang tak masalah kalau disalurkan
untuk memperlancar lalu lintas. Cuma, apakah uang judi boleh disumbangkan untuk
masjid?! Saya hanya ingin mengingatkan, bukan apa- apa,” kata seorang yang
dikenal sebagai pedagang keliling pakaian jadi.
Renowo memberanikan diri berbicara dan katanya, “Yang penjudi kan
orangnya, bukan uangnya. Apa salahnya uang?”
Tak ada tanggapan. Ketua rukun tetangga yang memimpin pertemuan
juga tak bersuara.
Sementara itu, angka togel Huripto dan jumlah uang yang
dimenangkannya secepat listrik tersebar sampai ke pojok-pojok kota yang jauh.
Sudah tentu banyak yang berangan-angan ketiban nasib serupa dia. Tetapi, banyak
pula yang mau memanfaatkan keberuntungan tukang rokok itu sebagai jalan mudah
untuk memperoleh uang.
Seorang berbaju hijau agak luntur, setelah mengucapkan salam,
langsung masuk ke gelanggang, menempel bahu ketua rukun tetangga. Orang itu
membisikkan sesuatu ke kuping pemimpin pertemuan. Ketua rukun tetangga
kelihatan mesem dibuat-buat. Ada yang tak rela dia lakukan, tapi harus dia
perbuat. Dia merogoh kantong, menempelkan tangannya kepada orang yang baru
masuk itu. Orang itu mengucapkan salam, lantas melengos pergi.
“Apakah dia pernah bercita-cita, misalnya, mau berangkat ke
Mekkah, atau apa?” pemimpin pertemuan melanjutkan.
Hadirin saling memandang.
“Mana mungkin uang judi dibuat naik haji. Saya ngerti, cita-cita
Pakde Huripto naik haji, kalau memang itu niatnya, bisa kesampaian dengan
diganti oleh teman-teman dekatnya. Tapi, bagaimana, ini uang hasil judi…,” dari
pojok seseorang mengutarakan pikiran.
“Saya pernah dengar dia ingin berbuat baik dengan membiayai
mereka yang sudah jadi janda menunaikan ibadah haji,” cetus suara dari dekat
pintu.
“Yang berkaitan dengan haji tak bisa kita putuskan. Apakah ada
yang pernah mendengar cita-cita, keinginan, atawa kehendak Huripto yang lain?”
“Dia sayang pada anak-anak. Semua kita mengetahui itu. Anak
kecil saya sering dia persenin permen, anak-anak remaja dia belikan bola. Dia
juga suka memberikan uang jajan kepada anak-anak yang dia sayangi. Jadi, saya
kira uangnya itu sebagian bisa disumbangkan untuk sekolah, untuk anak-anak.”
“Baik, usul ini saya catat. Akan saya bawa ke kelurahan.”
Tiba-tiba terdengar beberapa orang mengucapkan salam di bendul
pintu. Mereka datang bertiga, mengenakan baju loreng-loreng. Langsung duduk dan
merangsek mendekati ketua rukun tetangga. Sama seperti tamu terdahulu, juru
bicara geng berbaju loreng ini juga membisikkan kata-kata yang kelihatannya
diterima dengan sangat menjijikkan oleh ketua rukun tetangga. Namun, dia
berupaya untuk berpura-pura senyum. Sambil berkusip-kusip dia memindahkan isi
genggamannya kepada tamu itu. Seperti kucing yang diusir dengan makanan, tiga
sekawan itu lantas pergi, lagi-lagi sambil mengucapkan salam.
Setelah orang berbaju loreng itu, muncul pula kelompok berbaju
loreng yang lain dengan warna berbeda. Kemudian muncul pula satu-dua orang
berpakaian seragam berwarna khaki. Yang paling tidak mengenakkan kelihatannya
adalah ketika beberapa orang yang berbadan tegap, berkaus ketat, yang
sebentar-sebentar memegangi sesuatu yang terselip di pinggang mereka, memasuki
gelanggang yang sedang berkabung.
Ketua rukun tetangga mulai gerah dengan tamu-tamu yang sama
sekali tidak bisa menghormati Huripto yang diam terbaring di tengah ruang.
Tiba-tiba pemimpin lingkungan itu berdiri. Matanya melirik ke
sekeliling.
“Saudara-saudara lihat tadi berapa banyak John Towel yang datang
menginterupsi perkabungan ini,” katanya. John Towel adalah julukan bagi mereka
yang hidup dengan menguntit, lantas menowel, dan tanpa malu meminta uang kepada
orang-orang yang baru menang berjudi. “Saya tahu, Renowo besok bisa mengganti
uang yang sudah saya keluarkan. Tapi, kita harus hentikan ini sampai di sini
saja. Manusia macam apa mereka itu semua. Orang yang sudah mati masih mau
diperas. Saya kira perkabungan langsung saja kita sudahi setelah sembahyang
jenazah. Kita tak usah menunggu mobil jenazah yang akan membawa almarhum ke
Brebes, ke kampungnya, untuk dimakamkan. Akan tambah banyak lagi pemeras yang
mengganggu. Mari kita sewa kendaraan. Kita bawa saja jasad Huripto langsung ke
pangkalan mobil jenazah. Dari sana ke Brebes.”
Seperti mau berbicara kepada Huripto yang sudah terbaring diam
untuk selama-lamanya, ketua rukun tetangga itu berkata, “Rip, maafkanlah saya,
karena telah mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh, mengumpat orang-orang
yang saya kira memang pantas dicerca. Orang-orang itu tak pernah tahu berapa
lama kau menunggu sampai nasib sebaik hari ini datang kepadamu. Mereka membuat
kami tergesa-gesa, kelimpungan dalam mengenang menghormatimu. Maafkan.”
Di jalan raya yang membentang di pantai utara Jawa, mobil
jenazah yang membawa Huripto lancar melaju. Lihatlah, di belakangnya puluhan
bahkan ratusan motor yang mengiringi. Mereka semua ingin ketularan nasib baik
dari orang yang sekarang terbaring dengan tenang di dalam keranda yang mereka
kuntiti. Di dalam mobil jenazah, ketua rukun tetangga serta handai tolan
almarhum, yang sejak meninggalkan Jakarta tak putus-putusnya berunding dengan
suara yang sengaja ditahan supaya tidak mengganggu ketenteraman Huripto, masih
belum juga menemukan ilham akan dikemanakan uang dari penjudi yang terbaring
berbedung kafan di dalam keranda yang membujur di depan mereka.
0 comments:
Post a Comment