Tuesday, April 2, 2013

Tiga...Nol...Tiga...Tiga...



Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib penjudi togel yang satu ini. Dan siapakah yang bisa menuturkan dengan saksama perasaan petaruh yang selalu menelengkan kupiahnya ini, yang selama lebih empat puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dari nasibnya pada keberuntungan yang dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yang bisa bertahan terhadap kekecewaan seteguh Huripto, yang selama hidupnya mengotak-atik angka, tapi tak sekali pun tebakannya yang mengena.
Dia mulai berangan- angan jadi kaya dengan menebak toto sepak bola awal 1960-an. Ketika padang rumput di bagian barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, karena imajinasi yang melambung belum menggoda Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga hampir saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yang dijadikan penduduk kota sebagai ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi benar-benar menggoda hidup Huripto.

Kata-kata tak kuasa melukiskan kegigihan penjudi kita ini. Dia tak pernah menyesal bahwa sebagian dari keuntungan yang dia petik dari gerobak rokoknya telah terbang ke kantong bandar judi. Huripto selalu berpandangan positif. Dia beranggapan uangnya yang lenyap ditarik bandar merupakan sumbangan yang akan memperbesar kebahagiaan teman-temannya yang beruntung.
Jalan pikiran dan ketulusan hati seperti itu terutama muncul ketika saban minggu dia membeli lembar-lembar Undian Harapan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial. Dia bukannya tak tahu, sebagaimana yang dikatakan berbagai laporan koran, bahwa uang undian itu bukannya mengalir untuk membantu penduduk miskin, tapi ditilap oleh para pejabat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan. Sekalipun dia seorang penjudi berat, hatinya tetaplah muak mengingat tingkah laku pejabat yang korup. Hanya saja dengan gampang dia bisa berdamai dengan kekesalannya. Yang penting buatnya kesempatan bertaruh selalu terbuka. Menang atau kalah soal belakangan. Dan yang paling utama adalah bahwa dengan secarik kertas taruhan, dia bisa berangan-angan. Dia punya kredo sendiri: Alangkah suntuknya dunia ini kalau berangan-angan saja orang tak bisa.
Angan-angan membuat hatinya sejuk tenteram. Dia merasa regangan sarafnya menjadi kendur. Teman-teman sebayanya sudah banyak yang meninggal disambar stroke, kena serangan jantung, gula, atau pneumonia. Dan dia yakin ketenteraman yang ditawarkan oleh angan-angan yang dipersembahkan kertas judilah yang membuat pembuluh darah jantungnya tetap lentur walaupun tubuhnya gemuk gempal. Sementara gula darahnya, sekalipun lebih tinggi dari ambang batas normal, jadi terkendali. Berkat apalagi kalau bukan angan-angan yang membuai.
Keluhuran hatinya tiada terkira terhadap teman-temannya. Dia berpantang berjudi dengan teman sendiri. Lawan-lawannya dalam perjudian haruslah pihak yang tidak dia kenal, mereka yang ingin membangun kekuasaan dengan uang. Baginya tak ada lagi pekerjaan yang lebih hina daripada hidup di atas nasib buruk handai tolannya sendiri.
Di tepi jalan, sepelemparan batu dari jalan tol yang melayang di atas gerobak rokoknya, Huripto kelihatan mengipas-ngipas wajahnya dengan karton bekas pembungkus rokok, menyedot kreteknya dalam-dalam, dan meningkahi kepulan asapnya dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang membawa nikmat yang sedang menguasai perasaannya. Nyata sekali terlihat dari kakinya yang terus dia goyang-goyangkan. Sebentar-sebentar dia menghela napas.
Beberapa saat kemudian, dia menghentikan kibasan karton di tangannya itu. Menatap tajam coretan-coretan angka yang dia buat di situ beberapa jam yang lalu. Seluruh permukaan karton itu berjejalan dengan angka tiga. Tiga! Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, berpendar angka nol. Karton itu seperti menampilkan satu sketsa yang acak-acakan, yang melukiskan sekawanan besar burung terbang menutup langit, dengan balon-balon awan tercecer di sana-sini.
Dia menyedot kreteknya lagi. Mengencangkan letak kupiahnya supaya tegak lurus, bukan miring sebagaimana biasanya orang yang kalah berjudi. Pengecer rokok merangkap penjudi yang tekun itu lantas bangkit dan meninggalkan gerobaknya menuju ke gang yang terbentang di belakang. Sesiang seperti itu, tentu belum ada yang berkerumun mengisi togel. Kedatangan Huripto menjadi penglaris bagi agen togel yang menyempil, berkedok pedagang minuman, di perut gang itu.
Huripto mematikan rokoknya, menginjaknya kuat-kuat sampai lumat. Dia ambil bolpen dan dengan mantap dia memasang 3033. Seluruh kekayaan dalam bentuk uang tunai yang dimiliki penjudi bujangan yang sudah bangkotan itu, dia tumpahkan untuk nomor itu. Dia tidak khawatir kalau akan kalah lagi karena stok rokok dan barang dagangan yang lain masih cukup. Dia juga menutup taisen maupun kemungkinan keluarnya “angka setan” dari nomor itu. Dan dia kepung angka itu dengan memasang semua kemungkinan yang bisa muncul dari angka yang dia simpulkan dari tanda-tanda alam yang dia baca tadi pagi. Selepas subuh, entah datang dari mana, seekor angsa tiba-tiba menjadi pengunjung pertama di gerobak rokoknya. Dan yang muncul sebagai pembeli paling awal adalah tiga anak kecil yang baru dididik orangtua mereka untuk berbelanja senilai Rp 3.000. Sementara di jalan tol yang membentang di atas, tiga truk yang bertabrakan tadi malam masih belum juga disingkirkan. Dia ingat betul, menurut primbon hwa-hwe, angka 3, yang bersimbol angsa, juga berarti kematian, kekosongan. Maka tafsir perjudian menasihatinya untuk jangan mengabaikan 0.
Biasanya dia luangkan waktu barang sebentar untuk memperbincangkan angka-angka taruhan dengan penjual kertas togel atau para petaruh yang lain. Tetapi, hari ini mulutnya tersumbat. Dia langsung meninggalkan meja togel dan kembali ke gerobaknya. Agen togel terperangah. Tak pernah dia melihat orang memasang sebesar taruhan Huripto yang menjadi penglarisnya siang itu. Dia mengikuti pelanggan yang selalu bernasib buruk itu dengan mata setengah melotot sampai lenyap di ujung gang.
Bertambah tinggi matahari, bagai semut, satu demi satu para penjudi muncul dan berkerumun di meja togel yang terletak di gang sempit itu. Semua melirik, menatap, memelototi, menafsir rupa-rupa kode yang terhampar di meja.
Penjual togel berupaya membuka pembicaraan dengan menyampaikan keheranannya bagaimana Huripto telah memasang taruhan yang begitu besar. Sejak meja togel dia gelar di situ, tak pernah ada orang yang bertaruh sebanyak itu. Tetapi, cerita pemancing percakapan itu tak bersambut. Huripto sama dengan nasib yang apes. Menjadi pemasok rezeki bandar nomor satu. Seumur hidup tebakannya ngawur. Begitu mereka tahu Huripto memasang 3033, maka tak seorang pun yang mau meletakkan taruhan pada 3, dalam variasi angka yang bagaimanapun.
Menjelang pengumuman nomor sore hari, Huripto menunggu pembeli sambil rebah-rebahan mendengarkan radio dua band. Dia tak perlu datang ke agen hanya untuk mengetahui nomor yang keluar. Cukup menyetel stasiun radio tertentu. Sebagai seorang penjudi yang tekun, maka jarum penunjuk pemancar radionya tak pernah bergeser dari stasiun radio itu. Angan-angannya melayang ke Brebes, ke kampung halamannya. Lebaran tahun kemarin dia tidak mudik. Panen bawang berhasil, tapi harganya anjlok habis-habisan, sampai-sampai para petani membuang hasil panen ke jalan raya untuk menunjukkan rasa kesal terhadap pemerintah yang tidak punya perhatian terhadap petani. Tahun ini dia sudah mantap akan menjenguk kampung halamannya. Sekadar mengenang masa kecil karena seluruh sanak famili dalam garis keturunannya sudah tiada.
Melawan gerah, dia kibas-kibaskan karton bekas pembungkus rokok yang penuh coretan angka. Begitulah selalu. Angin buatannya sendiri itu meninabobokan matanya hingga terpejam. Dia tak pernah menyetel jam weker untuk membangunkannya beberapa menit menjelang pengumuman togel. Saking sudah terbiasanya, bawah sadarnyalah yang akan menyentakkan matanya, persis beberapa menit sebelum semua pecandu togel bagai lebah berkerubung memasang kuping menyimak radio.
Renowo, agen togel di gang sempit itu, mendadak melompat keluar dari ruang depan rumahnya. Dibantingkannya tinjunya ke daun meja yang bertabur kode. Cepat seperti tupai, dia meloncat ke jalan.
“Tiga-nol-tiga-tiga! Tiga-kosong-tiga-tiga…! Jebol dia! Bandar jebooool…. Pakde Ripto menjebol bandar. Jeboool! Jeboool…!” dia melompat-lompat seperti bocah sambil berteriak-teriak di jalan sempit itu dan berlari-lari kecil menuju ke mulut gang di mana gerobak Huripto bertengger. Orang-orang yang bertempat tinggal di kiri-kanan gang pada menjulurkan kepala dari jendela dan pintu rumah, ingin melihat apa yang terjadi dengan agen togel itu.
“Selamat Pakde. Edan tenan (Sungguh gila).”
Renowo menyodorkan kepalanya lewat pintu gerobak. “Jebol, Pak. Panjenengan luar biasa!” katanya lagi, girang bukan main. Di dalam gerobak, kepala Huripto tetap bersender ke dinding. Kupiahnya terjungkal ke depan, menutupi jidatnya. Ada sesuatu, seperti ujung pojok kertas menyembul dari bawah kupiah itu. Sudut mulutnya tampak menahan cairan yang mau muncrat. Perlahan, radio yang terletak dekat ketiaknya terus memainkan lagu-lagu dangdut. Kakinya lurus melonjor.
Perasaan suka cita agen togel yang kesurupan itu jadi tertahan ketika dia sadar bahwa orang yang dia sapa, yang mestinya gembira bukan main karena telah memenangi taruhan dalam jumlah yang belum pernah dia dengar, cuma tergolek kaku.
“Pak…, Pak Ripto…,” dia memegangi kaki tukang rokok itu. Yang diajak bicara cuma diam. Dia raba dan goyang-goyangkan betisnya. Huripto tak menyahut. Dia tetap menyenderkan kepala ke dinding.
“Pak…,” seru Renowo pelan, putus asa. Rona wajahnya dengan cepat berubah menjadi pucat. Lekas dia menarik anggota tubuhnya dari gerobak rokok itu. Lantas dia berlari seraya menjerit-jerit. “Ampun Gusti…. Pak Ripto mati! Bandar jebol. Tapi, Pak Ripto mati. Ooooi…, dengarlah! Bandar curang. Karena jebol, mereka mengirim dedemit untuk membunuh Pak Ripto,” dia berlari-lari dari ujung-ke-ujung gang itu. Mengumandangkan kabar gembira dan kemalangan dalam sekali tarikan napas.
Seorang demi seorang, berdua-dua, atau bertiga-tiga manusia tumpah ke jalan kecil itu, dipikat gerobak rokok yang menunggu di ujung gang. Ketua rukun tetangga di lingkungan daerah padat itu menjorokkan kepalanya ke dalam gerobak. Meraba nadi di kaki Huripto. Tak ada detak. Dia maju lebih menjorok ke dalam. Menempelkan ujung jarinya ke leher penjudi yang membikin gempar itu. Pembuluh darah itu juga diam. Dia menyingkapkan baju dari tubuh tukang rokok yang diam tak bergerak itu. Melekatkan kupingnya beberapa saat ke dada warganya yang tergeletak layu itu. Ah, jantung Huripto sudah berhenti.
“Inna lillaaah…,” orang itu berbisik. Dia memungut kupiah Huripto, meletakkan kertas taruhan di dalamnya, dan memberikannya kepada Renowo.
“Apakah dia tahu nomor yang dia pasang mengena?”
“Saya yakin. Ya…, ya, dia tahu dia menang. Pak RT lihat sendiri tadi kertas nomornya terletak di ubun-ubunnya, di dalam kupiahnya. Biasanya kertas togel dia selipkan di lipatan kupiah,” kata Renowo.
“Syukurlah. Saya kira dia tak tahan menerima kemenangan ini. Jantungnya, gulanya….”
Ketua rukun tetangga memutuskan untuk mengeluarkan jasad Huripto dari gerobak rokok merangkap rumah huniannya itu. Renowo dengan senang hati menyediakan rumahnya sebagai rumah duka. Segala perangkat togel dengan cepat disingkirkan dan sekat di dalam rumahnya dijebol untuk memberikan ruang kepada Huripto dan para pelayat. Jasad penjudi yang gigih itu diletakkan dengan terhormat di tengah ruang dan ditutupi dengan selendang batik, sebelum disembahyangkan.
“Renowo,” sapa ketua rukun tetangga di tengah-tengah mereka yang datang duduk mengerubung. “Bersediakah kamu menguruskan uang almarhum?”
Agen togel itu kelihatan agak gentar. Dia tak pernah melihat uang sebanyak yang “dijebol” Huripto. Mendengarnya saja belum.
“Saya siap. Tetapi, harus dibantu teman-teman. Uangnya terlalu banyak. Takut. Zaman sekarang…,” jawabnya.
“Tak masalah, banyak yang mau menolong. Saya juga bersedia. Tetapi, soalnya mau diapakan uang sebanyak itu?” Ke arah pelayat yang duduk berkerumun, dia berujar, “Apakah ada di antara saudara-saudara yang pernah mendengar Huripto berpetuah, bercita-cita, bernazar, berkeinginan, atau pernah mengatakan, ’Saya akan begini… begitu’ atau semacamnya, apabila dia meninggal?”
Lama tak terdengar suara. Kemudian, seorang berkata agak ragu-ragu, “Kepada saya Pak Huripto pernah bilang kalau dia punya uang banyak dia ingin sumbangkan untuk pembangunan masjid di jalan menuju Brebes. Soalnya, Pak Ripto tidak sudi orang-orang jadi peminta-minta kepada para penumpang bus, truk, atau yang lain, apalagi dengan cara mempersempit jalan di pantai utara Jawa itu. Jalan sudah diperlebar kok malah dipersempit lagi atas nama masjid.”
“Ingat. Uang hasil togel memang tak masalah kalau disalurkan untuk memperlancar lalu lintas. Cuma, apakah uang judi boleh disumbangkan untuk masjid?! Saya hanya ingin mengingatkan, bukan apa- apa,” kata seorang yang dikenal sebagai pedagang keliling pakaian jadi.
Renowo memberanikan diri berbicara dan katanya, “Yang penjudi kan orangnya, bukan uangnya. Apa salahnya uang?”
Tak ada tanggapan. Ketua rukun tetangga yang memimpin pertemuan juga tak bersuara.
Sementara itu, angka togel Huripto dan jumlah uang yang dimenangkannya secepat listrik tersebar sampai ke pojok-pojok kota yang jauh. Sudah tentu banyak yang berangan-angan ketiban nasib serupa dia. Tetapi, banyak pula yang mau memanfaatkan keberuntungan tukang rokok itu sebagai jalan mudah untuk memperoleh uang.
Seorang berbaju hijau agak luntur, setelah mengucapkan salam, langsung masuk ke gelanggang, menempel bahu ketua rukun tetangga. Orang itu membisikkan sesuatu ke kuping pemimpin pertemuan. Ketua rukun tetangga kelihatan mesem dibuat-buat. Ada yang tak rela dia lakukan, tapi harus dia perbuat. Dia merogoh kantong, menempelkan tangannya kepada orang yang baru masuk itu. Orang itu mengucapkan salam, lantas melengos pergi.
“Apakah dia pernah bercita-cita, misalnya, mau berangkat ke Mekkah, atau apa?” pemimpin pertemuan melanjutkan.
Hadirin saling memandang.
“Mana mungkin uang judi dibuat naik haji. Saya ngerti, cita-cita Pakde Huripto naik haji, kalau memang itu niatnya, bisa kesampaian dengan diganti oleh teman-teman dekatnya. Tapi, bagaimana, ini uang hasil judi…,” dari pojok seseorang mengutarakan pikiran.
“Saya pernah dengar dia ingin berbuat baik dengan membiayai mereka yang sudah jadi janda menunaikan ibadah haji,” cetus suara dari dekat pintu.
“Yang berkaitan dengan haji tak bisa kita putuskan. Apakah ada yang pernah mendengar cita-cita, keinginan, atawa kehendak Huripto yang lain?”
“Dia sayang pada anak-anak. Semua kita mengetahui itu. Anak kecil saya sering dia persenin permen, anak-anak remaja dia belikan bola. Dia juga suka memberikan uang jajan kepada anak-anak yang dia sayangi. Jadi, saya kira uangnya itu sebagian bisa disumbangkan untuk sekolah, untuk anak-anak.”
“Baik, usul ini saya catat. Akan saya bawa ke kelurahan.”
Tiba-tiba terdengar beberapa orang mengucapkan salam di bendul pintu. Mereka datang bertiga, mengenakan baju loreng-loreng. Langsung duduk dan merangsek mendekati ketua rukun tetangga. Sama seperti tamu terdahulu, juru bicara geng berbaju loreng ini juga membisikkan kata-kata yang kelihatannya diterima dengan sangat menjijikkan oleh ketua rukun tetangga. Namun, dia berupaya untuk berpura-pura senyum. Sambil berkusip-kusip dia memindahkan isi genggamannya kepada tamu itu. Seperti kucing yang diusir dengan makanan, tiga sekawan itu lantas pergi, lagi-lagi sambil mengucapkan salam.
Setelah orang berbaju loreng itu, muncul pula kelompok berbaju loreng yang lain dengan warna berbeda. Kemudian muncul pula satu-dua orang berpakaian seragam berwarna khaki. Yang paling tidak mengenakkan kelihatannya adalah ketika beberapa orang yang berbadan tegap, berkaus ketat, yang sebentar-sebentar memegangi sesuatu yang terselip di pinggang mereka, memasuki gelanggang yang sedang berkabung.
Ketua rukun tetangga mulai gerah dengan tamu-tamu yang sama sekali tidak bisa menghormati Huripto yang diam terbaring di tengah ruang.
Tiba-tiba pemimpin lingkungan itu berdiri. Matanya melirik ke sekeliling.
“Saudara-saudara lihat tadi berapa banyak John Towel yang datang menginterupsi perkabungan ini,” katanya. John Towel adalah julukan bagi mereka yang hidup dengan menguntit, lantas menowel, dan tanpa malu meminta uang kepada orang-orang yang baru menang berjudi. “Saya tahu, Renowo besok bisa mengganti uang yang sudah saya keluarkan. Tapi, kita harus hentikan ini sampai di sini saja. Manusia macam apa mereka itu semua. Orang yang sudah mati masih mau diperas. Saya kira perkabungan langsung saja kita sudahi setelah sembahyang jenazah. Kita tak usah menunggu mobil jenazah yang akan membawa almarhum ke Brebes, ke kampungnya, untuk dimakamkan. Akan tambah banyak lagi pemeras yang mengganggu. Mari kita sewa kendaraan. Kita bawa saja jasad Huripto langsung ke pangkalan mobil jenazah. Dari sana ke Brebes.”
Seperti mau berbicara kepada Huripto yang sudah terbaring diam untuk selama-lamanya, ketua rukun tetangga itu berkata, “Rip, maafkanlah saya, karena telah mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh, mengumpat orang-orang yang saya kira memang pantas dicerca. Orang-orang itu tak pernah tahu berapa lama kau menunggu sampai nasib sebaik hari ini datang kepadamu. Mereka membuat kami tergesa-gesa, kelimpungan dalam mengenang menghormatimu. Maafkan.”
Di jalan raya yang membentang di pantai utara Jawa, mobil jenazah yang membawa Huripto lancar melaju. Lihatlah, di belakangnya puluhan bahkan ratusan motor yang mengiringi. Mereka semua ingin ketularan nasib baik dari orang yang sekarang terbaring dengan tenang di dalam keranda yang mereka kuntiti. Di dalam mobil jenazah, ketua rukun tetangga serta handai tolan almarhum, yang sejak meninggalkan Jakarta tak putus-putusnya berunding dengan suara yang sengaja ditahan supaya tidak mengganggu ketenteraman Huripto, masih belum juga menemukan ilham akan dikemanakan uang dari penjudi yang terbaring berbedung kafan di dalam keranda yang membujur di depan mereka.

0 comments:

Post a Comment

 
;