Kalau pada suatu hari ia jumpai ayahnya sudah dalam keadaan
gantung diri, maka ia akan langsung bersyukur. Kalau pada suatu hari ia pergoki
ibunya sedang bermesraan dengan entah siapa di gudang belakang rumah, tentu ia
juga akan bersyukur. Sudah sewajarnya jika ayahnya harus mengambil keputusan
gantung diri. Rasanya, hanya jalan itulah yang paling memungkinkan, mengingat
istrinya sendiri semakin nekat mengumbar keinginan. Dulu, ia sempat menduga,
kejadian di gudang belakang rumah tak akan terulang, dan sebagai laki-laki,
ayahnya akan dengan mudah melupakan. Rupa-rupanya kejadian di gudang belakang
rumah itu terus terulang, bahkan seperti meminta dengan sengaja bahwa ayahnya
bisa melihat dengan mata kepala sendiri.
Bagaimana, ayah?” ia pernah bertanya.
“Tak apa-apa. Sebaiknya begitulah.”
“Sudah seharusnya?”
“Ya. Tak perlu dicari
sebab dan alasannya. Yang pasti sudah terjadi. Entah dengan lelaki siapa pun,
aku tak peduli.”
“Ayah tak cemburu? Sebagai laki-laki ayah tak menuntut, tak merasa
kalah?”
“Pertanyaanmu bagus. Tetapi, memang, sudah sebaiknya.”
Ia tercekat, mengulum ludah. Memandang hamparan ladang tembakau,
selintas masih dilihatnya para pemetik tembakau mengenakan mantel anti-air
hujan. Ayahnya meluruskan kaki di meja beranda.
Ia memutuskan diri untuk berkuda, meninggalkan ayahnya.
Begitu hampir setiap hari, waktu berjalan dingin. Di daerah S,
ayahnya dikenal sebagai juragan, orang kaya yang memiliki ladang tembakau cukup
luas. Hampir semua pekerja yang merawat ladang tembakau itu adalah warga daerah
S sendiri, yang merasa cocok bekerja untuk ayahnya. Orang-orang yang bekerja
pada ayahnya hanya ingin mengabdi, ayahnya sendiri tipe orang yang bisa
menghargai siapa pun. Itulah yang membuat warga daerah S selalu tunduk, bahkan
ada yang tak segan berjalan munduk-munduk, berjalan sangat sopan dan hati-hati
jika di depan ayahnya.
Pada setiap sore, ayahnya akan selalu menghibur diri,
menginginkan kegundahannya bisa bebas dengan berkuda. Sengaja ayahnya berkuda
sendirian, mengelilingi keluasan ladang tembakau. Sengaja ayahnya menghirup
udara sesegar dan sebanyak mungkin, tak mau merasa tertekan. Kalau pada suatu
sore sang ayah berpapasan dengan sang anak yang kebetulan juga sedang berkuda,
maka sang anak akan menyambutnya dengan biasa-biasa saja.
Ternyata, benarlah, antara ayah dan anak tak perlu menganggap
ada yang istimewa, ayah dan anak cukup hanya bertegur sapa ringan, tak perlu
menampakkan kasih sayang berlebihan. Bahkan, kalau tegur sapa itu sudah
dilakukan berkali-kali, terhitung berkali-kali dalam satu minggu, misalnya,
bukankah yang kemudian muncul justru rasa bosan? Karenanya, ia memutuskan, jika
bertegur sapa cukup jika dinilai penting, dan terlebih lagi kalau memang mau,
jika berkehendak. Jika tak berkehendak, apalah yang bisa dipaksakan?
Berkuda dan mengelilingi ladang tembakau yang luas. Dua hal
itulah yang memberikan jaminan kebebasan. Siapa pun yang menempuhnya pasti
merasa lapang dada. Kawasan tanah dataran tinggi mampu memberikan kenyamanan,
terutama bagi orang yang memilih hidup untuk frustrasi, seperti ayahnya.
Kadang-kadang, ia sengaja memandang ayahnya dari kejauhan,
melihat kemungkinan bahwa ayahnya akan mengisi waktu luang sebagai alasan
frustrasi. Hal wajar yang selayaknya diterima laki-laki, tak perlu memberontak,
lebih baik dibikin abadi. Kadang-kadang, dari kejauhan itulah ia melihat
ayahnya berkuda dengan tatapan mata kosong, seperti seorang pangeran yang tak
lagi punya wibawa. Kuda yang ditungganginya lumayan gagah, namun kekosongan
matanya bisa sebagai bukti bahwa sang ayah adalah laki-laki yang harus rela
menghancurkan kelelakiannya. Entah sudah berapa kali putaran dalam sekali jalan
ia melihat ayahnya mengelilingi ladang tembakau, entah berapa waktu lagi yang
dibutuhkan ayahnya untuk sekadar menghibur diri.
Hari berpilin, berubah, berganti. Pagi, siang, sore, malam,
seperti piranha beku yang tak sanggup menjelaskan makna. Waktu menjadi bernilai
kosong.
Ayahnya masih berkuda.
Rumah seperti terkuburkan, serta-merta. Kalau ada yang sedikit
istimewa dalam ruang tamu hanyalah sebiji foto keluarga yang bertengger di
dinding. Ia, ayah, dan ibunya, tersenyum. Tak masam. Kejenakaan yang tersisa,
kebahagiaan yang memancar dari senyuman. Sampai kapan pun, ketiga orang dalam
foto itu akan terus tersenyum. Siapa pun yang memandangnya akan ikut merasakan
bahagia. Foto yang akan bergoyang ringan ketika ditiup angin dari arah ladang
tembakau, melewati beranda, melewati jendela, ngungun di ketiga wajah yang
tersenyum. Ia sendiri hanya mengenakan celana pendek, buntek, sementara ayah
dan ibunya mengenakan busana Jawa, sempurna dengan belangkon.
Ia kerap membayangkan, ibunya akan bergumul dengan entah siapa,
tepat di depan mata kepalanya sendiri. Atau, ia akan melihat bersama-sama
dengan ayahnya? Pasti, dengan perasaan ikhlas. Wajarlah. Sampai suatu
kesempatan, dalam rutinitas hari-hari yang memuncak beku, ia jumpai ayahnya
yang gantung diri, tepat di tengah ruang tamu, menghadap foto keluarga yang
tersenyum. Tak mesti menjulurkan lidah, tak mesti membelalakkan mata, ayahnya
mati. Ia memastikan ibunya akan biasa-biasa saja melihatnya, justru dengan
ringan akan menurunkan mayat suaminya dari tali gantungan, pun menguburkannya
sendiri.
Ia tahu, ketika ia melihat ayahnya dalam keadaan gantung diri,
ibunya masih bergumul dengan entah siapa di gudang belakang rumah, dekat
kandang kuda. Kerap ia tergoda, sekali waktu ingin membakar tumpukan jerami
yang ada di pinggir-pinggir dinding papan kayu, di luar gudang. Biarlah ibunya
mati saat tengah bergumul. Namun, hal itu urung ia lakukan. Ia menggagalkannya
sendiri. Ia memang akan terus merasakan suasana rumah semakin membusuk, tanpa
ada alasan dan jawaban atas pertanyaan.
Ia justru sangat bersyukur ayahnya memilih gantung diri dengan
semangat yang penuh tawa. Ia kasihan melihat ayahnya menghibur diri dengan
berkuda, mengelilingi ladang tembakau, setiap sore.
0 comments:
Post a Comment