Setyawati adalah nama ibuku. Dia
wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita
yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan
pengujian yang paling kritis sekalipun.
Hal pertama yang kuingat dari
diri Ibu adalah kalau malam dia suka memakai gaun sutra berwarna putih. Aku
pernah menanyakan kenapa dia suka memakainya dan kata Ibu itu agar aku lebih
mudah menemukannya di dalam kegelapan. Kalau siang, warna gaunnya lebih beraneka
ragam, tapi biasanya bermotif bunga. Di dekatnya selalu tercium wangi melati,
kadang memang sedikit tercampur bau kue atau masakan di dapur, tapi wangi
melatinya masih tercium.
Ibuku selalu bisa bersikap manis
bahkan ketika sedang marah. Kalau ada dia, rasanya semuanya bisa diurus dengan
baik. Semua orang sayang padanya. Bahkan, kupikir bunga-bunga di kebun itu
mengangguk-angguk bukan hanya karena tertiup angin, tapi juga karena ingin
menyapa Ibu.
Ibu sangat sayang padaku meski
aku hanya jarang-jarang saja berada di dekatnya. Aku sangat sering pergi.
Kadang aku pergi dan kembali
hanya untuk sebuah alasan sederhana. Kadang bahkan tak perlu alasan sama
sekali. Dan aku senang melakukannya. Tapi Ibu tidak.
Tiap kali aku muncul di depan pintu, kata
pertama bukan “selamat datang” atau paling tidak “hai sayang”, tapi “berapa
lama kau akan tinggal?” dan kalau jawabanku adalah “besok aku harus kembali”
wajahnya jadi muram seakan- akan aku sedang pamit perang melawan seribu orang
raksasa.
Orang menganggap ibuku wanita
yang sangat beruntung padahal sebenarnya dia orang yang malang. Orang-orang
yang Ibu cintai selalu meninggalkan Ibu sendirian. Ayah selalu sibuk dengan
pekerjaannya, Senin ke Jepang, Rabu ke Singapura, Kamis ke Swiss, dan minggu
berikutnya entah ke mana lagi. Kalau Ibu protes, paling-paling Ayah akan pulang
dengan wajah tidak berdosa sambil membawa sebuket bunga, kalung permata, dan
ajakan makan malam berdua. Begitu saja Ibu langsung tersipu-sipu. Ayah memang
pandai merayu. Aku tak pernah tahu bagaimana dia berpamitan pada Ibu keesokan
harinya sebelum dia menghilang di balik pintu.
Walaupun begitu, Ibu boleh
bangga karena Ayah sangat mencintainya. Bagi Ayah, itu adalah rahasia
terbesarnya, tapi aku tahu karena aku laki-laki dan juga putra Ibu.
Pernah suatu ketika, di antara
sedikit waktu luang Ayah, dia menceritakan bagaimana dulu dia harus berjuang
keras untuk mendapatkan cinta Ibu.
Ibu adalah gadis paling manis
yang pernah dikenal Ayah, sedangkan Ayah adalah laki-laki paling brengsek yang
pernah diketahui Ibu. Vila keluarga mereka di Kaliurang berdekatan, tapi
keluarga keduanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu dibesarkan dalam
keluarga bangsawan yang penuh martabat dan tata krama, sedangkan keluarga Ayah
merupakan gambaran paling ideal untuk penganut paham materialisme dan pemikiran
liberal: punya segalanya, tapi jelas tidak bahagia. Tapi, sudah merupakan hukum
Tuhan kalau kutub positif magnet selalu bertemu dengan kutub negatifnya.
Sejak melihat Ibu pertama kali,
Ayah tak pernah membiarkan Ibu lepas dari pengawasannya. Dia terus berkeliaran
di sekitar Ibu sampai Ibu menyadari keberadaannya. Tapi waktu itu Ibu masih
sangat muda sehingga terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ayah mencintainya.
Berkat kerja keras dan didukung
kepintarannya dalam mempengaruhi orang, Ayah berhasil membujuk orangtua Ibu
untuk menikahkannya dengan Ibu. Ayah sama sekali tak merasa perlu membujuk Ibu
karena dia tahu Ibu itu sangat penurut dan menganut paham: cintailah apa yang
kau miliki.
Suatu ketika kutemukan buku
harian tua di salah satu sudut loteng yang digunakan sebagai gudang. Buku
bersampul kulit itu milik Ayah, ditulis ketika aku mungkin masih berupa sel-sel
yang tercecer di dalam tanah. Di dalamnya tertulis kalimat yang sudah cukup
menggambarkan seperti apa cinta Ayah pada Ibu. Kalimat itu adalah “Aku sangat
mencintainya sampai rasanya ingin memakannya”.
Ibu adalah contoh istri yang
luar biasa. Dia mengabdi sepenuhnya pada suami. Mencintainya, merawatnya, dan
sebisa mungkin tidak melakukan apa yang tidak disukai Ayah. Ibu sangat setia
pada Ayah, mungkin seperti Setyawati dalam cerita pewayangan yang rela
jari-jarinya dipotong demi menolong suaminya.
Setelah melahirkan aku, Ibu
tidak pernah bisa benar-benar sehat seperti sebelumnya, padahal Ibu ingin punya
banyak anak supaya rumah jadi ramai. Meski begitu, Ibu punya anak yang lain,
Ayah, dia jelas lebih merepotkan dari anak mana pun juga dan bayi yang tidak
pernah menjadi besar.
Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban
setidaknya menelepon Ibu untuk laporan harian sebelum tidur dan harus
meluangkan waktu senggangku untuk pulang.
berada di rumah sangat menyenangkan. Ada Ibu
dan segala bentuk perhatiannya dan kalau aku cukup beruntung, ada Ayah yang
bisa aku ajak menonton pertandingan bola.
Tapi ada terlalu banyak daya
tarik yang ada di luar rumah sehingga aku tidak bisa berlama-lama berada di
rumah. Meskipun begitu, tetap saja aku merindukan Ibu dan menyimpannya sebagai
alasan untuk pulang di bulan berikutnya.
Suatu kali aku pulang. Ada kabar
gembira yang harus kusampaikan pada Ibu.
“Bu, aku sedang jatuh cinta,”
kataku. “Hebat sekali, bukan?”
Ibu memandangku lama, kelihatan
sangat heran, tapi kemudian tersenyum. Senyum paling indah yang pernah kulihat.
“Oya? Benarkah? Ayo ceritakan pada Ibu.”
Lalu aku pun bercerita. Tentang
seorang gadis yang berasal dari desa yang namanya tak tercantum di peta.
Tentang bidadari kecil yang sangat manis. Tentang mahasiswi paling pintar di
kampus. Tentang wanita angkuh yang pernah menampar wajahku.
Ibu sangat heran. “Dia
menamparmu?”
“Ya, aku berdebat dengannya di
sebuah forum diskusi. Dia melawan dengan gigih. Sewaktu acara usai, aku mencoba
mengajaknya kencan dan dia menamparku.”
Ibu tertawa. “Kamu pasti jadi
marah sekali.”
“Tentu saja. Setelah hari itu
aku membuntutinya ke mana pun dia pergi. Dia marah, jengkel, dan kadang
ketakutan. Lucu sekali.”
“Kenapa kamu mengganggunya?
Terang-terang kamu yang salah. Bukankah seharusnya kamu minta maaf padanya?”
“Ibu bercanda. Masa gadis
seperti itu harus dibiarkan saja? Karena dia sudah membuatku susah, maka dia
harus dihukum. Bagaimanapun dia harus jadi milikku.”
“Ya ampun, kau persis ayahmu.”
Aku tersipu malu. “Ah, aku lebih
suka mirip Ibu.”
“Tidak, Nak, kau persis ayahmu.”
Beberapa bulan kemudian aku
telah berhasil menjadikan gadis itu pacarku. Ketika liburan semester tiba, aku
membujuknya agar mau menghabiskan liburan di rumahku. Aku sangat ingin
mengenalkannya pada Ibu. Kebetulan Ayah baru saja pulang dari Kanada dan kurasa
sedang punya keinginan yang luar biasa untuk berada di rumah bersama Ibu.
Oya, pacarku itu bernama
Setyawati. Tahu itu Ayah tertawa. “Itu adalah nama yang khusus diberikan pada
wanita yang hebat,” katanya. Saat itu Ayah sedang melirik Ibu, tapi pacarku
tersipu-sipu.
Selama seminggu itu Setyawati
mendominasi ibuku. Mereka berkeliaran berdua sepanjang hari, dari mulai memetik
buah di kebun, membuat kue-kue kecil aneka rupa yang nama-namanya sangat aneh,
keluar masuk toko mencoba segala jenis gaun, sampai membicarakan sesuatu yang
tak pernah bisa kumengerti meskipun sudah kucoba.
Aku dan Ayah mengawasi mereka
berdua sambil tertawa cekikikan. Lucu sekali melihat bagaimana dua orang itu
berkeliaran di sekeliling kami seperti angin ribut dan amat sangat repot
mengerjakan ini dan itu untuk kami.
“Apakah kau menyadarinya?” tanya
Ayah. “Kita ini memang ayah dan anak.”
Itu memang benar, pikirku, tapi
tak perlu mengatakan sesuatu yang sudah jelas, kan?
Setelah pacarku pulang, aku
menemui Ibu. Kukatakan kalau aku ingin menikahi Setyawati.
“Jangan menikahinya, Nak,” kata
Ibu.
Aku mengerti. Kukira Ibu
menyukainya. “Kenapa, Bu?”
“Jangan. Jangan menikahinya.”
“Bu, dia memang miskin, tapi dia
sangat baik.”
“Aku tahu, tapi kau tak boleh
menikahinya, Nak.”
“Kenapa, Bu? Aku mencintainya.
Dia manis seperti Ibu.”
“Dan kau seperti ayahmu.”
“Aku tak mengerti.”
“Kalau kau menikahinya, kau akan
membuatnya menderita seperti yang ayahmu lakukan pada Ibu.”
Aku tak pernah tahu kalau Ayah
bisa membuat Ibu menderita. Hanya saja kalau Ayah tidak pulang, aku sering
melihat Ibu duduk termenung di dekat jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku,
tapi tampaknya lembarannya tak berganti. Aku curiga dia memang tidak sedang
membaca. Pikirannya mungkin terbang pada Ayah. Tapi sebelum ini aku tak pernah
memikirkan hal itu dengan serius meski aku melihatnya.
“Tidak, Bu, aku tidak seperti
Ayah. Aku akan membuatnya bahagia. Ibu akan melihatnya nanti dan Ibu akan
bangga.”
Seperti yang aku inginkan,
memang pada akhirnya aku menikahi Setyawati. Bukankah sudah seharusnya begitu?
Setyawati persis seperti yang
aku harapkan dari seorang istri. Manis, menyenangkan, dan mengurus segala
keperluanku dengan baik. Dia menyediakan apa yang aku butuhkan: makanan yang
lezat, rumah yang nyaman, dan cinta. Aku sangat mencintai Setyawati dan sangat
kusadari bahwa hidupku pasti tak akan sesempurna ini tanpa dirinya.
Aku bekerja di perusahaan Ayah,
mewakili Ayah dalam beberapa hal. Ternyata bekerja itu sangat menyenangkan,
membaca laporan, memimpin rapat, memikirkan strategi baru, menandatangani
banyak sekali dokumen dan kertas kerja, setelah itu uang datang seperti hujan.
Aku sangat suka pekerjaanku,
termasuk setiap sentimeter kantorku. Bekerja memberiku kegairahan yang sama
seperti saat aku bersama Setyawati. Banyak sekali kemajuan yang satu per satu
dapat aku raih. Itu adalah suatu prestasi dan tentu saja berarti uang. Aku
senang karena dengannya aku dapat membelikan Setyawati barang-barang paling
bagus, perhiasan, gaun, dan apa saja yang terlintas di benakku atau apa saja
yang dianjurkan sekretarisku yang menurutnya akan diterima oleh seorang wanita
dengan senang hati.
Aku yakin Setyawati sangat
bangga padaku. Tiap kali aku pulang, aku melihat pijar di matanya. Seperti
biasa dia sangat baik hingga tak akan mau menyentuh makan malam sebelum aku
pulang.
Ketika aku terlalu sibuk untuk
makan bersamanya, aku merasa menyesal dan untuk menebus kesalahan itu kusuruh
sekretarisku mengirimkan padanya rangkaian bunga mawar putih dan sebuah kartu
berisi ucapan maaf. Setyawati akan mengeluh dan marah, tapi cuma sebentar
karena aku punya cara paling manjur untuk membujuknya, yaitu dengan meminta
maaf dan ditambah sedikit keluhan capek atau sakit kepala. Dia akan tergopoh-
gopoh mengurusku dan lupa sama sekali dengan kemarahannya.
Tahun demi tahun berlalu,
kurasakan waktu berjalan dengan begitu cepat sehingga aku hampir selalu
kekurangan waktu untuk segala hal. Setyawati telah menjadi lebih memahamiku
sehingga makin lama makin jarang mengeluh. Dia memang mirip Ibu. Ekspresi
wajahnya serupa Ibu ketika menyambut aku di muka pintu. Dan aku sangat
mencintainya.
Suatu hari aku pulang, berharap
menemukan Setyawati yang cantik sedang menungguku di ruang keluarga sambil
merajut. Tapi Setyawati tidak ada di mana-mana. Di atas bantalnya kutemukan
selembar surat.
Untuk suamiku tercinta,
telah kau berikan segalanya padaku, uang,
kemewahan, kedudukan yang terhormat, semuanya. Kau juga telah begitu baik
padaku. Tapi kau melupakan satu hal, bahwa aku sangat membutuhkanmu di
sampingku, sesuatu yang kurasa hampir setiap saat kau lupakan. Aku telah
mencoba bertahan, aku benar-benar telah mencobanya, tapi aku menyadari aku
bukan wanita luar biasa yang sanggup diabaikan setiap waktu. Karena itu aku
memilih pergi. Maafkan aku. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tahu aku akan
sangat menderita jika terus bersamamu. Kumohon, demi kebaikan kita berdua,
uruslah surat cerai secepatnya. Kalau kau lakukan itu, aku akan sangat
berterima kasih.
Dariku, Setyawati.
idak mungkin. Kenapa? Bukankah
semuanya baik-baik saja? Aku tak mengerti, tapi surat itu ada di sana dan
Setyawati telah benar-benar pergi.
Aku menelepon Ibu.
“Nak,” katanya. “Sekarang kau
mengerti, bukan? Kau seperti ayahmu.”
Lalu kutanyakan padanya apa yang
ingin aku tahu. “Apakah Ibu juga akan pergi? Meninggalkan Ayah?”
Jawabnya, “Nak, Setyawati yang
ini berbeda dengan Setyawati-mu. Dia punya sayap yang kuat untuk terbang,
sedangkan Ibu, Nak, Ibu tak punya kekuatan dan keberanian untuk pergi.
Sayap-sayap Ibu telah patah. Nak, sudah sejak lama. Lama sekali.”
Aku sangat ingin menangis dan
meminta maaf pada Setyawati. Dan juga pada Ibu.
0 comments:
Post a Comment