23 Februari tiba dan pergi. Ini adalah hari yang
telah ditetapkan oleh AS dan para boneka-bonekanya sebagai D-Day, ketika
“bantuan kemanusiaan” seharusnya menerobos masuk ke Venezuela dengan mematahkan
otoritas sang iblis kejam Maduro. Ini bahkan diakui oleh koresponden BBC, yang
menulis bahwa 23 Februari tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan bantuan
kemanusiaan, dan sebaliknya adalah dalih untuk menolak otoritas presiden
Maduro.
Dalam kegilaannya, Guaido (yang dipanggil “Anjing
Putih” oleh rakyat Venezuela) memanggil dirinya “Komandan Angkatan Bersenjata
Tertinggi” (Commander-in-chief) (https://twitter.com/jguaido/status/1099318048601894912).
Apa selanjutnya? Paus? Pemenang Nobel?
Peristiwa dimulai pada 22 Februari dengan konser yang
digelar oleh miliarder AS Richard Branson di jembatan Tienditas, di perbatasan
Venezuela-Kolombia. Ya, ini adalah jembatan yang diklaim Senator AS Marco Rubio
telah diblokade oleh “rejim Maduro”, padahal jembatan ini belum diresmikan
ataupun dibuka untuk lalu lintas umum. Media massa tentunya telah
mengulang-ulang kebohongan ini ad nauseam, dengan hanya CBC yang repot-repot
meretraksi berita mereka. “Konser Kemanusiaan” Branson rencananya ingin menarik
setengah juta penonton, tetapi pada akhirnya konser ini hanya jadi acara
mungil, dengan maksimal 20 ribu orang hadir.
rtis-artis yang tidak pernah sekalipun membantu
kaum miskin dan orang-orang yang dipersekusi di negeri mereka masing-masing
berkumpul untuk membantu rakyat Venezuela yang miskin. Menurut Guaido, ratusan
ribu orang akan mati kalau bantuan kemanusiaan ini, yang diterbangkan oleh
Angkatan Bersenjata AS, tidak tiba.
Pada hari Jumat sudah ada insiden kekerasan yang
dimainkan oleh sirkus media. Dalam benturan bersenjata di Kumarakapay, propinsi
Bolivar, satu atau dua orang adat Pemon mati. Media kapitalis segera melaporkan
“Maduro menembaki konvoi bantuan kemanusiaan, dua mati” atau tajuk-tajuk
serupa. Kebohongan besar. CBC bahkan melaporkan kalau insiden ini melibatkan
tank! Yang sesungguhnya terjadi masih belum jelas, tetapi yang kita tahu adalah
sejumlah orang Pemon dari kota sekitar (80 km dari perbatasan Brasil) mencoba
menghentikan konvoi bus (bukan tank) Tentara Nasional Venezuela yang sedang
dalam perjalanan ke perbatasan Brasil. Dalam benturan ini, dua orang mati, dan
oposisi mengklaim kalau Tentara Nasional yang menembak.
Kemudian Guaido mengklaim kalau konvoi truk
bantuan kemanusiaan telah masuk dari perbatasan Brasil. Ini lalu terbukti tidak
benar. Guaido dan tuannya, yang telah berkumpul di Cucuta, begitu putus asa
untuk menunjukkan keberhasilan, sedikitpun itu, karena sampai saat itu semuanya
tidak sesuai dengan rencana mereka.
Yang berkumpul di Cucuta adalah orang-orang
hebat”: presiden Chile Pinera (yang adalah pengagum sang jenderal Pinochet),
sekjen OAS Almagro, pelanggar HAM Elliot Abrams yang pada 1980an bertanggung
jawab memimpin kampanye anti-komunis AS di Amerika Tengah; bos mafia Kuba dari
Miami Marco Rubio, dan banyak ainn. Mereka semua menumpuk di sana untuk memberi
tekanan, dan bahkan, mungkin saja, untuk kesempatan foto-foto kalau-kalau sang
diktatur Maduro tumbang. Mereka semua kecewa dengan hasil 23 Februari, dan juga
kecewa dengan “artis-artis” yang disewa oleh Branson.
Pada hari Jumat (22/2), mereka menampilkan tokoh
pembelot utama mereka, “Pollo” Carvajal, mantan petinggi militer dan intelijen.
Satu detail kecil yang tidak disebut oleh wawancara New York Times adalah dia
telah bergabung ke kubu oposisi sejak Agustus 2017. Jadi ini bukan pembelotan
sama sekali. Dan kedua, dia telah dituduh oleh DEA (Badan Anti Narkoba AS) dan
Treasury (Badan Keuangan AS) melakukan berbagai kejahatan (penyeludupan
narkoba, kolaborasi dengan FARC, menjadi agen Hezbollah), dan kemungkinan besar
ini adalah motivasinya sekarang dalam menuduh pejabat-pejabat Venezuela
melakukan kejahatan yang sama.
Pada kenyataannya, elemen utama dalam usaha kudeta
ini, yakni pecahnya Angkatan Bersenjata, belum termaterialisasi. Guaido,
kendati mimpi siang bolongnya, bukanlah presiden Venezuela, tetapi hanya perwakilan
DPR kubu oposisi (bahkan belakangan CNN dan BBC memanggilnya demikian).
Begitu putus asanya Guaido, dia sampai nekat
menyebrang perbatasan secara ilegal, dan menghadiri persiapan konser Branson
dimana dia disambut bak seorang pahlawan. Mungkin presiden Kolombia Duque agak
khawatir kalau-kalau Guaido, setelah melihat kerumunan massa yang menyambutnya,
memutuskan untuk memproklamirkan dirinya sebagai presiden Kolombia. Masalahnya,
presiden bonekanya Trump ini sekarang sudah di seberang perbatasan, dan
perbatasan ini telah ditutup, dan dia oleh karenanya telah menjadi “presiden
dalam pengasingan”. Atau mungkin ini adalah cara elegannya untuk melarikan diri
dari rencana yang sudah mulai berantakan ini.
Usaha untuk memasukkan “bantuan kemanusiaan” melalui
perbatasan gagal, dan ini mengecewakan para tuan nyonya terhormat yang telah
berkumpul. Pada pagi harinya, dua tentara Venezuela menerobos pagar perbatasan
dengan menggunakan kendaraan berlapis baja. Mereka mencederai seorang polisi
perempuan dan seorang jurnalis Chile. Mereka melompat keluar dari kendaraan ini
dan lari masuk ke perbatasan Kolombia, yang lalu disambut oleh para politisi
oposisi.
Salah satu politisi oposisi telah dibebaskan dari
penjara, sebagai usaha dari pemerintah Maduro untuk memberi konsesi pada
oposisi, walaupun politisi tersebut telah dihukum karena terlibat dalam
kerusuhan. Ini memberi kita gambaran mengenai usaha terus-menerus dari Maduro
untuk memberi konsesi pada oposisi. Pada akhirnya, dari tiga tentara yang
membelot ini, yang satu bekerja di dapur, dan yang dua lagi adalah
administrasi. Jauh dari kudeta militer besar.
Pada hari H, kita disajikan foto-foto Guaido di
samping sebuah truk yang membawa parsel-parsel USAID. Dia berpose bak pahlawan,
tetapi ketika konvoi truk ini mendekati perbatasan, diam-diam dia menghilang,
dan meninggalkan tugas menerobos pagar perbatasan ke para pengikutnya. Mereka
mencoba menerobos, tetapi cukup dengan beberapa kaleng gas air mata dan peluru
karet massa ini bubar.
Selain Tentara Nasional, ada juga ratusan rakyat
sipil yang menjaga perbatasan (https://twitter.com/marxistJorge/status/1099456652342951936),
yang telah tiba dari berbagai penjuru. Termasuk dalamnya adalah perwakilan dari
Bolivar Zamora Revolutionary Current dari Apure, dengan Brigade Pertahanan
Rakyat Hugo Chavez. (https://www.facebook.com/orlando.zambrano.186/videos/1870548796382604/).
Frustrasi karena tidak ada progres dan tidak mampu
menerobos lini polisi, para pendukung oposisi membakar salah satu truk mereka.
Tampaknya bantuan ini bukan sesuatu yang berharga sama sekali. Sekarang mereka
mencoba menyalahkan Tentara Venezuela sebagai pihak yang membakar truk mereka.
Foto dan video menunjukkan kalau Tentara Venezuela jauh sekali dari truk yang
terbakar ini (https://twitter.com/lubrio/status/1099405809480597511)
dan justru pendukung oposisi yang membakarnya (https://twitter.com/madeleintlSUR/status/1099429931656847360).
Jangan berharap kita dapatkan reportase media yang adil.
Selama sehari penuh, total ada sekitar selusin
Tentara Venezuela yang membelot dan menyebrang ke perbatasan. Menteri Luar
Negeri Kolombia mengkkalim ada 60, tetapi klaim ini patut dipertanyakan.
Perimbangan dari insiden 23 Februari dapat kita
temui di tajuk CNN bahasa Spanyol: “"la entrega no se logró” (Pengantaran
telah Gagal). Pada kenyataan, selama konferensi pers pagi hari, para gangster
yang berkumpul ini sudah mulai ragu dan mengumumkan pertemuan lanjutan untuk
hari Senin, dimana mereka akan memperketat sanksi ekonomi.
Sementara di Caracas, kaum Chavista menggelar demo
besar untuk menolak intervensi imperialis. Ini adalah demo yang sangat besar (https://twitter.com/HOVcampaign/status/1099456011985915909)
yang menunjukkan bahwa ancaman imperialis memprovokasi reaksi balik dari
rakyat, dan bahkan dari orang-orang yang kecewa dan kritis terhadap Maduro.
Mereka semua berhimpun untuk menentang agresi militer AS. (Tonton laporan dari
PBS ini untuk memahami mengapa rakyat Venezuela masih mendukung Maduro: https://www.youtube.com/watch?v=pnU2Ov_4fSk).
Di demo ini, Maduro mengumumkan memutuskan semua relasi diplomatik dengan
Kolombia.
Koresponden New York Times di perbatasan meringkas
insiden 23 Februari dengan kata-kata ini: “Perasaan momentum sudah menghilang
di atas jembatan ini. Semangat demo kemarin hari sudah hilang, dan jembatan ini
lebih terlihat seperti konferensi pers dengan para pemimpin regional yang
frustrasi.” (https://twitter.com/marxistJorge/status/1099479094566273024).
“Frustrasi” adalah kata kuncinya.
Hari ini imperialisme gagal mencapai tujuannya dan
ini adalah kemenangan bagi kita.
0 comments:
Post a Comment