Sumber: google |
yo, masa sekarang adalah masa
dimana semua hal harus di-syar'i-kan. Ada hijab syar'i, bank syari'ah, hidup
ala syari'ah Islami, sampai pakaian pun dilabelkan syar'i. Slogan terbaru masa
kini ialah "biarpun syar'i, tetapi tetap kekinian dan modis". Jadi,
mungkin nanti acara miss Indonesia pun akan berlabel syar'i. Ya, kita takut
kiamat menjelang sehingga semua jadi serba syar'i. Atas ketentuan apa kita
syar'i? Tentunya atas ketentuan agama, bukan atas ketentuan Tuhan! Memangnya
agama bukan dari Tuhan? Syar'i masa kini ialah hasil dari kolaborasi teori
ijtihad para ulama kekinian plus sunnah Rasullullah yg kekolot-kolotan. Inilah
sunnah level globalisasi bro!
Tak mau kalah bersaing dengan
sekularisasi dan sekularisme ala western, yg eastern terus berupaya menciptakan
moral dan norma kekinian hingga muncul lah statement, "untuk menghindari
pengaruh barat, kita harus kembali ke Islam yg syar'i dan kaffah" atau
statement, "we need khilafah, not democracy". Syar'i pun menjadi
label brand yg sangat menjual di masa kini.
Saya bukannya mengomentari umat
Islam yg menjadi syar'i. Manusia yg hidup sesuai tuntutan syar'i memang bagus,
tetapi jika tuntutan tersebut berkembang karena modus ekonomi politik
bagaimana? Kita tidak mungkin lupa bahwa MUI memperjualbelikan sertifikat
syar'i - halal dan haramnya - untuk mendapatkan keuntungan, hingga pakaian pun
dilabeli yg demikian. Saya jadi teringat kata-kata Tan Malaka dalam Madilognya
yg menyebutkan jika kita menghindari babi dan anjing karena najisnya, mau tidak
mau kita harus menghindari segala hal yg berkaitan dengan keduanya. Tetapi kan
tidak mungkin? Kalau begitu, kita akan menghindari bersalaman dengan orang yg
dituduh kafir dong karena tangannya telah dijilat anjing? Atau mungkin kita
akan menghindari rumput orang-orang kafir karena telah diinjak babi? Esok hari,
rumput dan rumah pun akan dilabeli dengan kata syar'i.
Bukan hanya itu, sistem
pemerintahan pun akan dilabeli syar'i. Hey, tapi kita ini negara berasaskan
Pancasila dan mempunya sistem Demokrasi Liberal? Ya, akibat Demokrasi itulah
akhirnya muncul kata-kata 'we need khilafah'. Akibat Demokrasi pula, para
penggiat Islam yg ke-syar'i-an mempropagandakan ''jangan pilih Ahok". Saya
berkata begitu bukan karena saya memilih Ahok, tapi saya sangat menyayangkan
bahwa minoritas dibuat susah untuk hidup di negara ini karena syar'i kekinian
itu.
Belum lagi, propaganda syar'i
dengan menyatakan " kami adalah Jaringan Indonesia tanpa JIL" dengan
statement bahwa JIL sudah melepas jubah keislaman mereka. Saya juga berkata
begini bukan karena membela JIL, namun karena saya menyayangkan kurangnya
dialog yg akademik mengenai hal ini sehingga antara fundamentalis dengan
liberal selalu saling gontok hanya karena permasalahan ini syar'i apa gk. Toh,
yg progresif dan membela kaum tertindas pun akhirnya dikatakan menyimpang
karena mereka dituduh Komunis dan subversif dengan dalil-dalil ke-syar'i-an,
seperti hadits nabi yg berkata bahwa kita haru sabar ketika mendapatkan
pemimpin yg zhalim.
Memangnya ada Islam kaffah?
Coba cek, adakah Alqur'an membahas
secara khusus mengenai seluruh aspek kehidupan manusia? kata "as
siyasah" - yg berarti politik - saja tidak ada dalam Alqur'an. Kita
memahami bahwa Alqur'an hanyalah undang-undang dasar dogmatik yg hanya berisi
ketentuan umum saja. Sedangkan, ketentuan khusus hanya dijelaskan dalam
berbagai hadits, qiyas, dan ijtihad para ulama. Inilah mengapa ketiganya bisa
dikatakan sebagai Anggaran Rumah Tangga yg tiap tahun mungkin bisa berubah
interpretasi dan isinya agar sesuai dengan ketentuan zamannya.
Kalo betul ada Islam kaffah, maka
kita akan menolak hampir seluruh aspek kehidupan yg telah kita jalani, seperti
makan memakai garpu dan sendok, memakai baju kekinian, sekolah bukan di
pesantren, atau mungkin menolak Pancasila. Lagipula, kata Habib Rizieq,
Pancasilanya Bung Karno yg tidak syar'i itu dikatakan tidak benar karena
Ketuhanannya diletakkan di pantat. Kalo betul Islam itu dogmatik, maka kita
tidak akan mengenal teori Durkheim, Renant, Marx, Frankfurt School, atau
Liberalisme ala Adam Smith.
Kalau tidak ada mereka, mau pakai
apa kita untuk analisa kehidupan? Alqur'an dan sunnah kan tidak pernah
menjelaskan secara eksplisit soal mengenai rincian ekonomi Kapitalisme maupun
Sosialisme. Kalaupun ada, itu kan hasil ijtihad para ulama yg melakukan
cocokologi ayat atau hadits dengan konteks yg ada. Misalnya soal memberatkan
timbangan dikatakan sebagai definis mencari nilai surplus dalam konteks
kekinian, atau hadits mengenai riba dikatakan sebagai penghisapan oleh kaum
modal, belum lagi soal ayat yg menjelaskan soal quasar - kata Harun Yahya -
sebagai bukti ilmiah Alqur'an. Itu semua kan hasil cocokologi yg dipaksakan.
Saya mengerti bahwa Alqur'an
diturunkan dengan bahasa yg sesuai konteks zamannya. Tetapi bukankah itu
menyiratkan bahwa Islam pada akhirnya merupakan produk budaya pada zamannya?
Saya lebih setuju pendapat Syeikh Siti Jenar bahwa Alqur'an yg sesungguhnya
ialah apa yg telah diciptakan Tuhan. Sehingga untuk menanggapi bagaimana
kehidupan yg syar'i, maka ia harus menganalisa konteks sekarang. Bukankah yg
halal ialah yg banyak manfaatnya dan menghindari mudharatnya? Tak perlu lah ada
sertifikat halal-haram yg syar'i ketika ia tidak menjadi polemik. Saya percaya
bahwa kalimat do'a makan telah cukup untuk menghilangkan racun dalam makanan
tersebut. Tak perlu ada monopoli yg membuat kata syar'i menjadi label brand yg
menarik.
Wassalam
0 comments:
Post a Comment