Wednesday, March 9, 2016

​Syar'i: Label Brand Menarik Untuk Menghindari Dosa

Sumber: google

yo, masa sekarang adalah masa dimana semua hal harus di-syar'i-kan. Ada hijab syar'i, bank syari'ah, hidup ala syari'ah Islami, sampai pakaian pun dilabelkan syar'i. Slogan terbaru masa kini ialah "biarpun syar'i, tetapi tetap kekinian dan modis". Jadi, mungkin nanti acara miss Indonesia pun akan berlabel syar'i. Ya, kita takut kiamat menjelang sehingga semua jadi serba syar'i. Atas ketentuan apa kita syar'i? Tentunya atas ketentuan agama, bukan atas ketentuan Tuhan! Memangnya agama bukan dari Tuhan? Syar'i masa kini ialah hasil dari kolaborasi teori ijtihad para ulama kekinian plus sunnah Rasullullah yg kekolot-kolotan. Inilah sunnah level globalisasi bro!
Tak mau kalah bersaing dengan sekularisasi dan sekularisme ala western, yg eastern terus berupaya menciptakan moral dan norma kekinian hingga muncul lah statement, "untuk menghindari pengaruh barat, kita harus kembali ke Islam yg syar'i dan kaffah" atau statement, "we need khilafah, not democracy". Syar'i pun menjadi label brand yg sangat menjual di masa kini.
Saya bukannya mengomentari umat Islam yg menjadi syar'i. Manusia yg hidup sesuai tuntutan syar'i memang bagus, tetapi jika tuntutan tersebut berkembang karena modus ekonomi politik bagaimana? Kita tidak mungkin lupa bahwa MUI memperjualbelikan sertifikat syar'i - halal dan haramnya - untuk mendapatkan keuntungan, hingga pakaian pun dilabeli yg demikian. Saya jadi teringat kata-kata Tan Malaka dalam Madilognya yg menyebutkan jika kita menghindari babi dan anjing karena najisnya, mau tidak mau kita harus menghindari segala hal yg berkaitan dengan keduanya. Tetapi kan tidak mungkin? Kalau begitu, kita akan menghindari bersalaman dengan orang yg dituduh kafir dong karena tangannya telah dijilat anjing? Atau mungkin kita akan menghindari rumput orang-orang kafir karena telah diinjak babi? Esok hari, rumput dan rumah pun akan dilabeli dengan kata syar'i.
Bukan hanya itu, sistem pemerintahan pun akan dilabeli syar'i. Hey, tapi kita ini negara berasaskan Pancasila dan mempunya sistem Demokrasi Liberal? Ya, akibat Demokrasi itulah akhirnya muncul kata-kata 'we need khilafah'. Akibat Demokrasi pula, para penggiat Islam yg ke-syar'i-an mempropagandakan ''jangan pilih Ahok". Saya berkata begitu bukan karena saya memilih Ahok, tapi saya sangat menyayangkan bahwa minoritas dibuat susah untuk hidup di negara ini karena syar'i kekinian itu.
Belum lagi, propaganda syar'i dengan menyatakan " kami adalah Jaringan Indonesia tanpa JIL" dengan statement bahwa JIL sudah melepas jubah keislaman mereka. Saya juga berkata begini bukan karena membela JIL, namun karena saya menyayangkan kurangnya dialog yg akademik mengenai hal ini sehingga antara fundamentalis dengan liberal selalu saling gontok hanya karena permasalahan ini syar'i apa gk. Toh, yg progresif dan membela kaum tertindas pun akhirnya dikatakan menyimpang karena mereka dituduh Komunis dan subversif dengan dalil-dalil ke-syar'i-an, seperti hadits nabi yg berkata bahwa kita haru sabar ketika mendapatkan pemimpin yg zhalim.
Memangnya ada Islam kaffah?
Coba cek, adakah Alqur'an membahas secara khusus mengenai seluruh aspek kehidupan manusia? kata "as siyasah" - yg berarti politik - saja tidak ada dalam Alqur'an. Kita memahami bahwa Alqur'an hanyalah undang-undang dasar dogmatik yg hanya berisi ketentuan umum saja. Sedangkan, ketentuan khusus hanya dijelaskan dalam berbagai hadits, qiyas, dan ijtihad para ulama. Inilah mengapa ketiganya bisa dikatakan sebagai Anggaran Rumah Tangga yg tiap tahun mungkin bisa berubah interpretasi dan isinya agar sesuai dengan ketentuan zamannya. 
Kalo betul ada Islam kaffah, maka kita akan menolak hampir seluruh aspek kehidupan yg telah kita jalani, seperti makan memakai garpu dan sendok, memakai baju kekinian, sekolah bukan di pesantren, atau mungkin menolak Pancasila. Lagipula, kata Habib Rizieq, Pancasilanya Bung Karno yg tidak syar'i itu dikatakan tidak benar karena Ketuhanannya diletakkan di pantat. Kalo betul Islam itu dogmatik, maka kita tidak akan mengenal teori Durkheim, Renant, Marx, Frankfurt School, atau Liberalisme ala Adam Smith.
Kalau tidak ada mereka, mau pakai apa kita untuk analisa kehidupan? Alqur'an dan sunnah kan tidak pernah menjelaskan secara eksplisit soal mengenai rincian ekonomi Kapitalisme maupun Sosialisme. Kalaupun ada, itu kan hasil ijtihad para ulama yg melakukan cocokologi ayat atau hadits dengan konteks yg ada. Misalnya soal memberatkan timbangan dikatakan sebagai definis mencari nilai surplus dalam konteks kekinian, atau hadits mengenai riba dikatakan sebagai penghisapan oleh kaum modal, belum lagi soal ayat yg menjelaskan soal quasar - kata Harun Yahya - sebagai bukti ilmiah Alqur'an. Itu semua kan hasil cocokologi yg dipaksakan.
Saya mengerti bahwa Alqur'an diturunkan dengan bahasa yg sesuai konteks zamannya. Tetapi bukankah itu menyiratkan bahwa Islam pada akhirnya merupakan produk budaya pada zamannya? Saya lebih setuju pendapat Syeikh Siti Jenar bahwa Alqur'an yg sesungguhnya ialah apa yg telah diciptakan Tuhan. Sehingga untuk menanggapi bagaimana kehidupan yg syar'i, maka ia harus menganalisa konteks sekarang. Bukankah yg halal ialah yg banyak manfaatnya dan menghindari mudharatnya? Tak perlu lah ada sertifikat halal-haram yg syar'i ketika ia tidak menjadi polemik. Saya percaya bahwa kalimat do'a makan telah cukup untuk menghilangkan racun dalam makanan tersebut. Tak perlu ada monopoli yg membuat kata syar'i menjadi label brand yg menarik.
Wassalam

0 comments:

Post a Comment

 
;