50 tahun yg lalu, kita-kaum revolusioner kelas pekerja-diguncang
oleh suatu peristiwa reaksioner terbesar sepanjang sejarah dunia (bagaimana
tidak besar, korbannya bahkan lebih banyak dari korban Perang Vietnam) yaitu
pemusnahan kelas pekerja revolusioner oleh kekuatan Kapitalis yg dibonceng oleh
rezim militer. Kita patut merenungi kejadian yg telah melemahkan kekuatan kita
sehingga kita tidak lebih dari kerikil kecil yg mudah ditumpas, bahkan hingga
kini hegemoni yg tercipta telah memainkan peranan yg besar dalam meninabobokan
kekuatan revolusioner kita. Sebuah peristiwa sekali pukul akibat kudeta G30S-begitulah
para intelektual borjuis menyebutnya-akhirnya melahirkan lompatan dialektis.
Bukanlah lompatan kuantitas menuju lompatan kualitas, malahan sebaliknya.
Ini akibat tidak terlaksananya penuntasan revolusi oleh vanguard party kita
akibat terlalu puas dibawah panji Nasakom. Bagaimana bisa kaum revolusioner
menikmati berlindung dibawah kekuatan revisionis dari borjuasi nasional?
Kawan Aidit, Nyoto, dan Lukman, saya akui sebagai trio yg
sanggup mengembalikan kekuatan partai hingga mampu meraih massa yg hampir
setara dengan massa kaum Islamis dan Nasionalis. Namun, trio kawan kita ini
tenggelam pula dalam kenikmatan parlementaris dan akhirnya tanpa sadar
mengulangi hal yg sama dengan apa yg dilakukan kawan Musso sebelumnya. Revolusi
tertunda karena adanya campur tangan kaum borjuasi nasional yg mengaku sebagai
pembela rakyat tertindas. Hingga akhirnya tahun 1965, baik kaum borjuis
nasional maupun PKI dan sayap-sayap organisasinya lenyap dalam kudeta merangkak
dari rezim Orde Baru.
Alhasil, negara kita masuk dalam perangkap Neoliberalisme dan
Keynesian (yg dikira intelektual ekonomi borjuis sebagai Sosialis yg
setengah-setengah). Tetapi setidaknya kelas pekerja merasa nyaman dalam rezim
kemiliteran yg berjalan 32 tahun itu, walaupun pada akhirnya mereka yg dijebak
hegemoni kapitalis itu terseret dalam arus krisis moneter.
Tetapi bukan itu yg menjadi fokus kita pada artikel ini,
melainkan adalah bagaimana kita merenungi kejadian 50 tahun yg lalu. Baik
intelektual proletar maupun borjuis (dalam kerangka hak asasi) mengakui bahwa
apa yg terjadi pada waktu itu sudah kelewat fatal. Apa bedanya pak Harto dengan
rezim komunis Khmer? Ternyata pula moralitas hak asasi hanya milik kaum militer
ketika mereka menyatakan bahwa PKI sebagai sampah busuk yg keji karena berani
melenyapkan ketujuh jenderal tercinta kita. Moralitas hak asasi mereka toh
hanya untuk kaum minoritas. Coba bandingkan dengan penilaian kita, bahwa apa yg
dilakukan mereka sungguh diluar dari kejahatan kemanusiaan.
Hanya pemikiran iblis yg bisa membantai orang tak berdosa
sebanyak itu. Ketika Harun Yahya berbicara tentang pembantaian Pol Pot dan
Stalin, mengapa pula ia tidak melihat apa yg dilakukan bapak pembangunan kita,
pembantaian di Nicaragua, dan bahkan termasuk pembantaian yg dilakukan oleh
orang sok revolusioner model rezim militer lainnya? Ini yg dimaksud saya
sebagai bentuk moralitas hak asasi yg timpang sebelah dari intelektual borjuis.
Jelasnya, saya setuju dengan pendapat Ted Sprague yg
menyatakan bahwa jika kaum borjuis berbicara soal hak asasi mereka, maka kelas
pekerja memang tidak benar mempunyai kepedulian atau HAM, tetapi jika moralitas
itu karena kelas pekerja yg tertindas sudah pasti kelas pekerja adalah kumpulan
manusia yg paling bermoral dan mempunyai keluhungan hak asasi. Kejadian 50
tahun yg lalu membuktikan pendapat kawan Ted tersebut. Agaknya kita setuju
bahwa pendapat kawan Ted sungguh objektif dibandingkan dengan pendapat Ali Moertopo
dan Ustadz Alfian Tanjung sekalipun!
Ternyata jika kita membicarakan hal tersebut, peran agamawan
tidak bisa dilepaskan dalam kejadian tersebut. Ustadz Roy Murthado berpendapat
bahwa sudah seharusnya kaum agamawan lebih bermoral daripada oknum yg membantai
para jenderal tersebut. Tetapi kenyataannya, ditangan pemuda Anshor dan banser
lah (tentunya dengan mengatasnamakan jihad), kaum proletar dan tani tewas
secara mengenaskan. Bahkan tidak hanya BTI dan SOBSI, para wanita Gerwani pun
dibunuh secara tidak bermoral. Dan faktanya, hal ini dilakukan oleh orang yg
mengerti keagamaan dan banyak belajar di pesantren. Inikah yg dinamakan jihad?
Melenyapkan para pembela kaum tertindas dan lalu mendirikan kekuasan militer di
bumi kita! Jika benar, mereka itu tidak lebih dari kaum kafir laknat!
Namun, kita patut mengapresiasi para kaum Nahdiyyin moderat
seperti Gusdur dan kawan Nurcholis karena keduanya dengan tegas meminta maaf
atas kejadian tersebut. Lagi-lagi reaksi berdatangan dari kalangan orbais yg
melihat keduanya sebagai antek-antek komunis. Sayangnya, melihat fenomena
tersebut, kita bisa menjudge secara kasar bahwa kaum agamawan kita sebagian
besar ialah tukang fitnah! Mereka sanggup memberi label "kafir"
kepada para aktivis HAM karena membela para korban pembantaian 65', kita saja
tidak berani karena itu adalah wewenang Tuhan! Semoga mereka diampuni!
Tidak cukup disitu, setelah muncul Front Perusak Islam (FPI),
suasana makin riuh. Mereka yg mengaku membela Islam dengan style ala Arab
bermain barbar dan vandalis. Bahkan mahasiswa yg menonton film senyap secara
tenang saja mereka bubarkan dengan pentungan dan klewang. Lagi-lagi teriakan
jihad menentang Komunisme dikumandangkan dan mereka merasa maha benar untuk
melakukan itu. Dan sekali lagi para aktivis HAM dibredel mereka. Bukan hanya
FPI, militer pun bermain dengan menyewa para preman untuk membunuh Salim
Kancil, Akseyna, dan para ibu-ibu revolusioner dari Rembang. Tangan mereka yg
menguasai modal berlumuran darah suci dari para pejuang keadilan. Mereka adalah
Bonapartis baru yg ketakutan dengan bangkitnya kesadaran kelas yg diramalkan
oleh Marx.
Sudah seharusnya kita mengingat kembali betapa kerasnya mereka
memukul kita hingga 3 juta nyawa melayang. Sedangkan jika kita yg melawan,
mereka tidak segan memukuli kita hingga tewas. Mereka-kaum pemilik modal
bertopeng militer dan birokrat yg mempunyai parameter HAM sendiri-sanggup
mencap kita sebagai pelanggar HAM. Seharusnya mereka sadar bahwa dengan watak
sosial yg demikian, mereka lah pengekang kebebasan yg sebenarnya. Mereka lah
para penentang HAM yg sebenarnya. Faktanya, mereka membungkam munir,
menelanjangi Marsinah, dan melenyapkan suara Widjhie Thukul. Yg melawan
dianggap tidak beragama, dan mereka yg menggunakan agama sebagai alat hegemoni
serta politik menjadi kaum suci yg mrngkhotbahkan surga tanpa tau esensi surga
yg sebenarnya. Demi Allah, surga dibawah telapak kaki ibu yg mereka durhakai
sendiri!!
Untuk itu, kami-generasi muda pembela kelas proletariat-tidak
akan pernah membungkam mulut kami. Munir yg kalian bunuh hanya berjumlah satu
orang, sedangkan kami-para munir-berkembang lebih dari sejuta untuk menentang
kalian yg menindas kami. Jika tidak cukup dengan tuntutan reforma agraria dan
khutbah pemimpin serikat buruh yg ekonomis, kami-melalui partai-bisa
menyuarakan revolusi demi menuntaskan cita-cita mereka yg kalian bunuh sejak 50
tahun yg lalu. Kami menolak lupa dan merawat ingatan kami atas apa yg kalian
lakukan sejak 50 tahun yg lalu!
0 comments:
Post a Comment