Saturday, October 1, 2016

​G 30 S 50th : Renungan Proletariat dan Peran Agama


50 tahun yg lalu, kita-kaum revolusioner kelas pekerja-diguncang oleh suatu peristiwa reaksioner terbesar sepanjang sejarah dunia (bagaimana tidak besar, korbannya bahkan lebih banyak dari korban Perang Vietnam) yaitu pemusnahan kelas pekerja revolusioner oleh kekuatan Kapitalis yg dibonceng oleh rezim militer. Kita patut merenungi kejadian yg telah melemahkan kekuatan kita sehingga kita tidak lebih dari kerikil kecil yg mudah ditumpas, bahkan hingga kini hegemoni yg tercipta telah memainkan peranan yg besar dalam meninabobokan kekuatan revolusioner kita. Sebuah peristiwa sekali pukul akibat kudeta G30S-begitulah para intelektual borjuis menyebutnya-akhirnya melahirkan lompatan dialektis.
Bukanlah lompatan kuantitas menuju lompatan kualitas, malahan sebaliknya. Ini akibat tidak terlaksananya penuntasan revolusi oleh vanguard party kita akibat terlalu puas dibawah panji Nasakom. Bagaimana bisa kaum revolusioner menikmati berlindung dibawah kekuatan revisionis dari borjuasi nasional?

Kawan Aidit, Nyoto, dan Lukman, saya akui sebagai trio yg sanggup mengembalikan kekuatan partai hingga mampu meraih massa yg hampir setara dengan massa kaum Islamis dan Nasionalis. Namun, trio kawan kita ini tenggelam pula dalam kenikmatan parlementaris dan akhirnya tanpa sadar mengulangi hal yg sama dengan apa yg dilakukan kawan Musso sebelumnya. Revolusi tertunda karena adanya campur tangan kaum borjuasi nasional yg mengaku sebagai pembela rakyat tertindas. Hingga akhirnya tahun 1965, baik kaum borjuis nasional maupun PKI dan sayap-sayap organisasinya lenyap dalam kudeta merangkak dari rezim Orde Baru.
Alhasil, negara kita masuk dalam perangkap Neoliberalisme dan Keynesian (yg dikira intelektual ekonomi borjuis sebagai Sosialis yg setengah-setengah). Tetapi setidaknya kelas pekerja merasa nyaman dalam rezim kemiliteran yg berjalan 32 tahun itu, walaupun pada akhirnya mereka yg dijebak hegemoni kapitalis itu terseret dalam arus krisis moneter.
Tetapi bukan itu yg menjadi fokus kita pada artikel ini, melainkan adalah bagaimana kita merenungi kejadian 50 tahun yg lalu. Baik intelektual proletar maupun borjuis (dalam kerangka hak asasi) mengakui bahwa apa yg terjadi pada waktu itu sudah kelewat fatal. Apa bedanya pak Harto dengan rezim komunis Khmer? Ternyata pula moralitas hak asasi hanya milik kaum militer ketika mereka menyatakan bahwa PKI sebagai sampah busuk yg keji karena berani melenyapkan ketujuh jenderal tercinta kita. Moralitas hak asasi mereka toh hanya untuk kaum minoritas. Coba bandingkan dengan penilaian kita, bahwa apa yg dilakukan mereka sungguh diluar dari kejahatan kemanusiaan.
Hanya pemikiran iblis yg bisa membantai orang tak berdosa sebanyak itu. Ketika Harun Yahya berbicara tentang pembantaian Pol Pot dan Stalin, mengapa pula ia tidak melihat apa yg dilakukan bapak pembangunan kita, pembantaian di Nicaragua, dan bahkan termasuk pembantaian yg dilakukan oleh orang sok revolusioner model rezim militer lainnya? Ini yg dimaksud saya sebagai bentuk moralitas hak asasi yg timpang sebelah dari intelektual borjuis.
Jelasnya, saya setuju dengan pendapat Ted Sprague yg menyatakan bahwa jika kaum borjuis berbicara soal hak asasi mereka, maka kelas pekerja memang tidak benar mempunyai kepedulian atau HAM, tetapi jika moralitas itu karena kelas pekerja yg tertindas sudah pasti kelas pekerja adalah kumpulan manusia yg paling bermoral dan mempunyai keluhungan hak asasi. Kejadian 50 tahun yg lalu membuktikan pendapat kawan Ted tersebut. Agaknya kita setuju bahwa pendapat kawan Ted sungguh objektif dibandingkan dengan pendapat Ali Moertopo dan Ustadz Alfian Tanjung sekalipun!
Ternyata jika kita membicarakan hal tersebut, peran agamawan tidak bisa dilepaskan dalam kejadian tersebut. Ustadz Roy Murthado berpendapat bahwa sudah seharusnya kaum agamawan lebih bermoral daripada oknum yg membantai para jenderal tersebut. Tetapi kenyataannya, ditangan pemuda Anshor dan banser lah (tentunya dengan mengatasnamakan jihad), kaum proletar dan tani tewas secara mengenaskan. Bahkan tidak hanya BTI dan SOBSI, para wanita Gerwani pun dibunuh secara tidak bermoral. Dan faktanya, hal ini dilakukan oleh orang yg mengerti keagamaan dan banyak belajar di pesantren. Inikah yg dinamakan jihad? Melenyapkan para pembela kaum tertindas dan lalu mendirikan kekuasan militer di bumi kita! Jika benar, mereka itu tidak lebih dari kaum kafir laknat!
Namun, kita patut mengapresiasi para kaum Nahdiyyin moderat seperti Gusdur dan kawan Nurcholis karena keduanya dengan tegas meminta maaf atas kejadian tersebut. Lagi-lagi reaksi berdatangan dari kalangan orbais yg melihat keduanya sebagai antek-antek komunis. Sayangnya, melihat fenomena tersebut, kita bisa menjudge secara kasar bahwa kaum agamawan kita sebagian besar ialah tukang fitnah! Mereka sanggup memberi label "kafir" kepada para aktivis HAM karena membela para korban pembantaian 65', kita saja tidak berani karena itu adalah wewenang Tuhan! Semoga mereka diampuni!
Tidak cukup disitu, setelah muncul Front Perusak Islam (FPI), suasana makin riuh. Mereka yg mengaku membela Islam dengan style ala Arab bermain barbar dan vandalis. Bahkan mahasiswa yg menonton film senyap secara tenang saja mereka bubarkan dengan pentungan dan klewang. Lagi-lagi teriakan jihad menentang Komunisme dikumandangkan dan mereka merasa maha benar untuk melakukan itu. Dan sekali lagi para aktivis HAM dibredel mereka. Bukan hanya FPI, militer pun bermain dengan menyewa para preman untuk membunuh Salim Kancil, Akseyna, dan para ibu-ibu revolusioner dari Rembang. Tangan mereka yg menguasai modal berlumuran darah suci dari para pejuang keadilan. Mereka adalah Bonapartis baru yg ketakutan dengan bangkitnya kesadaran kelas yg diramalkan oleh Marx.
Sudah seharusnya kita mengingat kembali betapa kerasnya mereka memukul kita hingga 3 juta nyawa melayang. Sedangkan jika kita yg melawan, mereka tidak segan memukuli kita hingga tewas. Mereka-kaum pemilik modal bertopeng militer dan birokrat yg mempunyai parameter HAM sendiri-sanggup mencap kita sebagai pelanggar HAM. Seharusnya mereka sadar bahwa dengan watak sosial yg demikian, mereka lah pengekang kebebasan yg sebenarnya. Mereka lah para penentang HAM yg sebenarnya. Faktanya, mereka membungkam munir, menelanjangi Marsinah, dan melenyapkan suara Widjhie Thukul. Yg melawan dianggap tidak beragama, dan mereka yg menggunakan agama sebagai alat hegemoni serta politik menjadi kaum suci yg mrngkhotbahkan surga tanpa tau esensi surga yg sebenarnya. Demi Allah, surga dibawah telapak kaki ibu yg mereka durhakai sendiri!!
Untuk itu, kami-generasi muda pembela kelas proletariat-tidak akan pernah membungkam mulut kami. Munir yg kalian bunuh hanya berjumlah satu orang, sedangkan kami-para munir-berkembang lebih dari sejuta untuk menentang kalian yg menindas kami. Jika tidak cukup dengan tuntutan reforma agraria dan khutbah pemimpin serikat buruh yg ekonomis, kami-melalui partai-bisa menyuarakan revolusi demi menuntaskan cita-cita mereka yg kalian bunuh sejak 50 tahun yg lalu. Kami menolak lupa dan merawat ingatan kami atas apa yg kalian lakukan sejak 50 tahun yg lalu!

0 comments:

Post a Comment

 
;