Hari ini, kita sebagai masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara
dipaksa siap menghadapi MEA. MEA dengan dalih kesejahteraan masyarakat Asia
Tenggara dengan slogan, "bangga dengan produk lokal" - kata kaum
birokrat - dipastikan mampu mengatasi kesenjangan yg terjadi secara ekonomi.
Tetapi bagaimana caranya? Kesejahteraan kan tercipta dari semangat kompetisi
antar produk dan tenaga kerja yg ada. Ini jelas merupakan penipuan yg fatal.
Rakyat kita dibuat bersiap menghadapi eksploitasi dan
persaingan besar-besaran dengan mengadu domba kelas pekerja kita dan negara
lainnya. Seperti kata Ted Sprague, kelas pekerja kan menjual kemampuan kerjanya
seharga es cendol. Murahnya harga kemampuan kerja disebabkan para pekerja takut
akan pengangguran. Indonesia secara tidak sadar menuju pada masa dimana
pengangguran kan tercipta dimana-mana.
Kita tinggalkan sejenak masalah MEA. fokus utama dari tulisan
ini adalah bagaimana kelas borjuasi, birokrat, dan kaum agamawan menggunakan
topeng "pemerintahan rakyat" untuk mengeruk keuntungannya. Kita
melihat - terutama kaum birokrat dan borjuasi - sebuah pergerakan menuju pada
penghisapan halus terhadap negara-negara sosialis dengan dalih melawan Amerika.
Sekilas, kebijakan tersebut terlihat sangat bersifat
internasionalis dan antikapitalisme sehingga dapat menipu kaum kiri kita dengan
menganggap Jokowi sebagai seorang marhaenis. Tetapi rupanya, hal tersebut
menjadi sebuah 'topeng suci' untuk merebut hegemoni massa. Kerjasama tersebut
dibarengi dengan rencana nasionalisasi Freeport dalam waktu dekat.
Nasionalisasi tersebut juga bahkan adalah suatu bentuk penipuan. Dimana
Freeport akan berpindah tangan dari Imperialis asing ke Borjuasi nasional.
Buruh Freeport akan tetap hidup dibawah garis standar kemiskinan, mengingat
kelakuan setiap borjuasi mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama menghisap nilai
lebih dari kemampuan kerja kaum buruh.
Kaum birokrat yg mengatasnamakan rakyat juga mengisi waktunya
dengan hegemoni-hegemoni baru yg seolah pro rakyat seperti penangkapan Setya
Novanto. Di satu sisi, kita dibuat buta akan adanya proyek waduk Jatigede dan
Hutan Malabar yg tidak terselesaikan. Media kita dibungkam oleh pemerintahan
rakyat tersebut. Kita bahkan dibuat lupa akan adanya kasus HAM Salim Kancil yg
lenyap begitu saja, perlawanan kaum tani dengan perhutani di Banyuwangi, bahkan
reklamasi di Bali. Semua ditutup-tutupi dengan hegemoni 'topeng suci' merakyat
melalui konflik di tubuh pemerintahan itu sendiri. Begitu pintarnya birokrat
dan kapitalis menipu rakyat.
Belum selesai dengan masalah intern, Jokowi bekerjasama dengan
kapitalis Cina (yg bertopengkan Komunisme) untuk membangun beberapa proyek
transportasi dan tentunya investasi asing tetap berjalan. Jokowi juga
mendekatkan dirinya dengan Rusia dan Korea Utara. Kebijakan hubungan
internasional yg seolah-olah marxis ini berhasil menipu rakyat yg telah
menganggap dirinya merakyat. Faktanya, dalam wilayah intern RI, kita tak tahu
akan fatalnya penerapan liberalisasi kampus, pembungkaman puluhan mahasiswa STT
PLN kemarin, pembredelan majalah Lentera, dan program Bela Negara yg terkesan
fasis militaristik. Toh, apa bedanya program Bela Negara dengan program
Penataran P4 di zaman Orde Baru?
Belum selesai kita mengungkap kebusukan kaum birokrasi dan
borjuasi lokal, kita menghadapi kaum fundamentalis Agama yg terkesan sok
religius. Banyak dari mereka membanggakan diri sebagai da'i dan ulama namun
terkesan seperti penghasut perang antar agama. Salah satu dari mereka adalah
pemimpin organisasi FPI yg beberapa waktu lalu berpolemik dengan Dedi Mulyadi
hanya karena persoalan kultur - yg katanya - bertentangan dengan agama. Lain
halnya dengan persoalan NU yg menetapkan muktamar Islam Nusantara yg katanya
mencoreng Islam.
Toh, saya lebih setuju pendapat KH. Mustofa Bisri soal
orang-orang yg tidak menyetujui Islam Nusantara berarti orang yg tidak pernah
mengaji. Walaupun tidak sepenuhnya saya menyetujui soal Islam Nusantara karena
bersifat sangat soft action dalam pergerakan. Saya lebih menyetujui pendapat
Roy Murtadho dan Muhammad Al Fayyadl soal mengembangkan progresifitas Islam di
Indonesia. Namun, banyaknya kaum ulama yg menentang Komunisme membuat kita
berpikir, apakah jangan-jangan mereka tidak ada bedanya dengan JIL yg merupakan
antek-antek Kapitalisme bertopengkan agama?
Perlunya wacana membumikan Islam yg sebenarnya membuat kita
harus melakukan strategi di dalam blok dengan menyelenggarakan dakwah soal
pembelaan terhadap kaum mustadh'afin (tertindas) dan mengutuk ulama yg
menentang usaha tersebut karena sifat kapitalistiknya mereka itu. Kita perlu
menyadari bahwa Islam hadir sebagai antithese dari masyarakat Kapitalisme
Mekkah dan Kristen sendiri hadir sebagai antithese dari Feodalisme Romawi
Palestina sehingga kita harus mengembalikan fungsi agama yg sebenarnya, yaitu
memperjuangkan pembebasan bagi masyarakat tertindas dan menciptakan masyarakat
tanpa kelas.
Terakhir, kita perlu menyikapi hal ini dengan penuh kesadaran
bahwa MEA, kebijakan ekstern Jokowi, dan nasionaliasi Freeport punya maksud
terselubung di dalamnya yg akan menguntungkan kaum borjuasi nasional.
Pertentangan antar agama yg memecah belah persatuan kelas pekerja juga harus
mendapat perhatian khusus mengingat hal tersebut merupakan upaya Imperialisme
untuk meninabobokan rakyat agar kita tidak tahu bahwa kita sedang ditindas.
Pemerintahan rakyat yg benar ialah pemerintahan yg dipimpin oleh rakyat secara
komunal dalam dewan-dewan kerakyatan yg ada, pemerintahan rakyat bukanlah
pemerintahan yg tercipta dibawah pimpinan para birokratis yg menyuapi makan
kaum kapitalis nasional.
* Tulisan kacau yg dibuat karena penulis merasa linglung
dengan keadaan Indonesia pada saat ini
0 comments:
Post a Comment