Friday, October 7, 2016

​Pemerintahan Rakyat: Opini Tentang Topeng Suci Birokrasi, Borjuasi dan Kaum Agamawan


Hari ini, kita sebagai masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara dipaksa siap menghadapi MEA. MEA dengan dalih kesejahteraan masyarakat Asia Tenggara dengan slogan, "bangga dengan produk lokal" - kata kaum birokrat - dipastikan mampu mengatasi kesenjangan yg terjadi secara ekonomi. Tetapi bagaimana caranya? Kesejahteraan kan tercipta dari semangat kompetisi antar produk dan tenaga kerja yg ada. Ini jelas merupakan penipuan yg fatal.
Rakyat kita dibuat bersiap menghadapi eksploitasi dan persaingan besar-besaran dengan mengadu domba kelas pekerja kita dan negara lainnya. Seperti kata Ted Sprague, kelas pekerja kan menjual kemampuan kerjanya seharga es cendol. Murahnya harga kemampuan kerja disebabkan para pekerja takut akan pengangguran. Indonesia secara tidak sadar menuju pada masa dimana pengangguran kan tercipta dimana-mana.
Kita tinggalkan sejenak masalah MEA. fokus utama dari tulisan ini adalah bagaimana kelas borjuasi, birokrat, dan kaum agamawan menggunakan topeng "pemerintahan rakyat" untuk mengeruk keuntungannya. Kita melihat - terutama kaum birokrat dan borjuasi - sebuah pergerakan menuju pada penghisapan halus terhadap negara-negara sosialis dengan dalih melawan Amerika.

Sekilas, kebijakan tersebut terlihat sangat bersifat internasionalis dan antikapitalisme sehingga dapat menipu kaum kiri kita dengan menganggap Jokowi sebagai seorang marhaenis. Tetapi rupanya, hal tersebut menjadi sebuah 'topeng suci' untuk merebut hegemoni massa. Kerjasama tersebut dibarengi dengan rencana nasionalisasi Freeport dalam waktu dekat. Nasionalisasi tersebut juga bahkan adalah suatu bentuk penipuan. Dimana Freeport akan berpindah tangan dari Imperialis asing ke Borjuasi nasional. Buruh Freeport akan tetap hidup dibawah garis standar kemiskinan, mengingat kelakuan setiap borjuasi mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama menghisap nilai lebih dari kemampuan kerja kaum buruh.
Kaum birokrat yg mengatasnamakan rakyat juga mengisi waktunya dengan hegemoni-hegemoni baru yg seolah pro rakyat seperti penangkapan Setya Novanto. Di satu sisi, kita dibuat buta akan adanya proyek waduk Jatigede dan Hutan Malabar yg tidak terselesaikan. Media kita dibungkam oleh pemerintahan rakyat tersebut. Kita bahkan dibuat lupa akan adanya kasus HAM Salim Kancil yg lenyap begitu saja, perlawanan kaum tani dengan perhutani di Banyuwangi, bahkan reklamasi di Bali. Semua ditutup-tutupi dengan hegemoni 'topeng suci' merakyat melalui konflik di tubuh pemerintahan itu sendiri. Begitu pintarnya birokrat dan kapitalis menipu rakyat.
Belum selesai dengan masalah intern, Jokowi bekerjasama dengan kapitalis Cina (yg bertopengkan Komunisme) untuk membangun beberapa proyek transportasi dan tentunya investasi asing tetap berjalan. Jokowi juga mendekatkan dirinya dengan Rusia dan Korea Utara. Kebijakan hubungan internasional yg seolah-olah marxis ini berhasil menipu rakyat yg telah menganggap dirinya merakyat. Faktanya, dalam wilayah intern RI, kita tak tahu akan fatalnya penerapan liberalisasi kampus, pembungkaman puluhan mahasiswa STT PLN kemarin, pembredelan majalah Lentera, dan program Bela Negara yg terkesan fasis militaristik. Toh, apa bedanya program Bela Negara dengan program Penataran P4 di zaman Orde Baru?
Belum selesai kita mengungkap kebusukan kaum birokrasi dan borjuasi lokal, kita menghadapi kaum fundamentalis Agama yg terkesan sok religius. Banyak dari mereka membanggakan diri sebagai da'i dan ulama namun terkesan seperti penghasut perang antar agama. Salah satu dari mereka adalah pemimpin organisasi FPI yg beberapa waktu lalu berpolemik dengan Dedi Mulyadi hanya karena persoalan kultur - yg katanya - bertentangan dengan agama. Lain halnya dengan persoalan NU yg menetapkan muktamar Islam Nusantara yg katanya mencoreng Islam.
Toh, saya lebih setuju pendapat KH. Mustofa Bisri soal orang-orang yg tidak menyetujui Islam Nusantara berarti orang yg tidak pernah mengaji. Walaupun tidak sepenuhnya saya menyetujui soal Islam Nusantara karena bersifat sangat soft action dalam pergerakan. Saya lebih menyetujui pendapat Roy Murtadho dan Muhammad Al Fayyadl soal mengembangkan progresifitas Islam di Indonesia. Namun, banyaknya kaum ulama yg menentang Komunisme membuat kita berpikir, apakah jangan-jangan mereka tidak ada bedanya dengan JIL yg merupakan antek-antek Kapitalisme bertopengkan agama?
Perlunya wacana membumikan Islam yg sebenarnya membuat kita harus melakukan strategi di dalam blok dengan menyelenggarakan dakwah soal pembelaan terhadap kaum mustadh'afin (tertindas) dan mengutuk ulama yg menentang usaha tersebut karena sifat kapitalistiknya mereka itu. Kita perlu menyadari bahwa Islam hadir sebagai antithese dari masyarakat Kapitalisme Mekkah dan Kristen sendiri hadir sebagai antithese dari Feodalisme Romawi Palestina sehingga kita harus mengembalikan fungsi agama yg sebenarnya, yaitu memperjuangkan pembebasan bagi masyarakat tertindas dan menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Terakhir, kita perlu menyikapi hal ini dengan penuh kesadaran bahwa MEA, kebijakan ekstern Jokowi, dan nasionaliasi Freeport punya maksud terselubung di dalamnya yg akan menguntungkan kaum borjuasi nasional. Pertentangan antar agama yg memecah belah persatuan kelas pekerja juga harus mendapat perhatian khusus mengingat hal tersebut merupakan upaya Imperialisme untuk meninabobokan rakyat agar kita tidak tahu bahwa kita sedang ditindas. Pemerintahan rakyat yg benar ialah pemerintahan yg dipimpin oleh rakyat secara komunal dalam dewan-dewan kerakyatan yg ada, pemerintahan rakyat bukanlah pemerintahan yg tercipta dibawah pimpinan para birokratis yg menyuapi makan kaum kapitalis nasional.

* Tulisan kacau yg dibuat karena penulis merasa linglung dengan keadaan Indonesia pada saat ini

0 comments:

Post a Comment

 
;