Wednesday, November 15, 2017

ESSAY TENTANG TAHUN-TAHUN DEPRESI EKONOMI


“Krisis Malaise & Pengaruhnya Pada Hindia Belanda”
Depresi ekonomi adalah suatu sebutan untuk masa dimana pada saat itu terjadi kelesuan finansial yang membuat perekonomian suatu wilayah menjadi hancur. Depresi ekonomi bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti turunnya indeks harga saham hingga melemahnya suatu mata uang sebagai akibat dari kelesuan bisnis dan melemahnya faktor ekonomi lainnya.
Akibat dari depresi ekonomi tersebut bisa beragam, secara garis besarnya, melemahnya ekonomi suatu wilayah akan mengakibatkan terganggunya aktivitas ekonomi di wilayah tersebut, bahkan bisa menghancurkan kehidupan sosial di wilayah tersebut. Maka tidak heran, seperti kata Marx, bahwa sejarah tersebut dikendalikan oleh faktor ekonomi. Terhambatnya produksi dan menurunnya daya konsumsi masyarakat bisa membuat sosialitas masyarakat bisa hancur sama sekali. Akhirnya, seperti yang pernah kita lihat pada depresi ekonomi sebelumnya, PHK besar-besaran, pengangguran, dan hancurnya stabilitas nasional suatu wilayah.

Untuk menghadapi yang demikian, maka diperlukan suatu ketahanan Nasional yang bisa membendung arus efek domino dari krisis tersebut. Namun, dalam sejarahnya ketahanan Nasional yang demikian hampir tidak bisa membendung arus krisis tersebut, bahkan beberapa kali terjadi krisis moneter, maka solusi terbaik untuk mengakhiri krisis tersebut adalah menutup kerugian dengan hutang, seperti yang pernah terjadi pada VOC 200 tahun yang lalu. Hutang tersebut tentunya akan menutupi lubang-lubang krisis yang mengancam stabilitas Nasional, tetapi akan menjadi suatu permasalahan baru yang tidak akan kita sukai. Hal inilah yang dialami oleh Indonesia sebagai akibat tidak langsung dari krisis ekonomi pada akhir rezim Orde Lama dan Orde Baru.
Dalam sejarahnya, tidak ada yang lebih parah dari krisis Malaise yang terjadi pada akhir dekade 30an pada abad 20. Krisis ini sebagai akibat tidak langsung dari kelesuan moneter Amerika Serikat yang berdampak luar biasa terhadap seluruh negara di dunia. Tidak terkecuali Indonesia yang pada waktu itu masih disebut Hindia Belanda. Krisis tersebut merupakan kejadian inflasi terburuk dalam sejarah manusia. Dalam dampak sosial budayanya di Amerika Serikat, krisis tersebut melahirkan budaya generasi yang biasa disebut Baby Booming.
Depresi “Malaise” tersebut dimulai dengan “Selasa Kelam”, yaitu jatuhnya bursa saham Wall of Street, New York pada tanggal 24 Oktober 1929, yang mencapai keparahan klimaks pada tanggal 29 Oktober 1929. Imbas terparah dari jatuhnya bursa saham tersebut adalah perindustrian berat, tetapi meskipun perindustrian berat mendapat tekanan terparah, efek domino tetap terjadi sehingga membuat seluruh sektor perekonomian hancur seketika.
Sebab utama terjadinya Malaise adalah kemiskinan tenaga produksi sebagai akibat tidak langsung dari Perang Dunia I yang terjadi sebelumnya. Yang dimaksudkan dari kemiskinan tenaga produksi adalahnya berkurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam mengelola perindustrian karena sebab sederhananya adalah kebutuhan perang yang sebelumnya meningkat pada tahun-tahun Perang Dunia I. berkurangnya faktor produksi tersebut membuat pemasokan produksi berkurang. Tetapi kenyataan berbanding terbalik dengan teori. Rupanya pemasokan produksi tersebut malah menumpuk, hal tersebut di sebabkan karena adanya produksi besar-besaran yang terjadi sebelumnya sehingga terjadi penumpukan barang-barang yang membuat nilai dari barang tersebut menurun dari tahun ke tahun.
Faktor lain sebagai penyebab dari krisis Malaise adalah efek domino dari sebab pertama. Krisis pasca Perang Dunia I terkait langsung dengan daya konsumsi masyarakat yang semakin menurun dari tahun ke tahunnya. Seperti yang diterangkan sebelumnya, nilai barang yang disimpan akhirnya berkurang sebagai akibat langsung dari menurunnya daya konsumsi. Barang-barang tersebut dinilai menjadi tidak berguna lagi dan akhirnya menjadi kehancuran sendiri bagi para kapital atau pemilik modal utama.
Jika para kapital tersebut hancur karena berkurangnya modal yang harusnya berasal dari nilai barang tersebut dan tidak adanya nilai lebih yang dihasilkan, akhirnya para buruh yang menjadi aspek utama dari perindustrian di PHK secara besar-besaran. Para buruh tersebut akhirnya mengalami masa pengangguran.
Penyebab umum dari Malaise 1929 jelas merupakan akibat tidak langsung dari Perang Dunia I yang melanda dunia sebelumnya. Penyebab khususnya yaitu peristiwa Selasa Hitam tersebut. Penyebab lainnya adalah munculnya Komunisme dan Fasisme sebagai bagian dari kekuatan dunia yang baru.
Komunisme mempunyai teori ekonomi Sosialisme yang di populerkan oleh Karl Marx, teori ekonomi tersebut dijelaskan dengan lengkap dalam Das Kapital. Praktis teori tersebut nyata terlihat pada negara Uni Soviet dan negara-negara lainnya yang pada saat itu menganut ideology Komunisme. Terkuasainya sektor perekonomian oleh negara membuat lesunya investasi asing di negara-negara Komunis tersebut. Akhirnya sektor perindustrian swasta mati dan gulung tikar secara besar-besaran. Teori tersebut secara praktis bisa kita sebut dengan pemerataan ekonomi dengan kontrol penuh dari negara.
Fasisme mempunyai teori lain dalam mempersoalkan penguasaan ekonomi. Walaupun Fasisme sepintas terlihat mempunyai teori ekonomi yang sama dengan Komunisme, perbedaan mendasar dari kedua ideologi tersebut dalam menyoalkan ekonomi adalah Fasisme tidak menekankan pemerataan ekonomi seperti yang dijelaskan dalam teori ekonomi Komunisme, tetapi lebih kepada penguasaan ekonomi oleh negara dan hasilnya pun untuk negara. Hasilnya seperti yang kita ketahui, membangun kediktatoran dalam sektor ekonomi.
Kedua hal tersebut membuat para negara Kapital-Liberal pada saat itu terkena imbas dari teori pengontrolan ekonomi sentral tersebut. Kurangnya penanaman modal investasi asing dan ketiadaan saham swasta membuat perindustrian besar asing mengalami kelesuan yang sangat parah. Hal inilah yang bisa dibilang sebagai akibat tidak langsung dari terjadinya peristiwa Selasa Kelam.
Kedua ideologi tersebut memukul keras para kapital asing yang ingin menguasai sektor perekonomian suatu negara, tetapi kejadian tersebut akhirnya malah menghancurkan perekonomian dunia yang pada saat itu banyak dikuasai oleh pihak swasta karena kedua ideologi yang terbilang baru tersebut, maka baru pertama kali sebuah negara menginterpretasikan sebuah teori penguasaan ekonomi oleh negara.

Pengaruh Krisis Malaise 1929 Terhadap Hindia Belanda
Bagi negara-negara jajahan yang pada saat itu masih menjadi bagian dari kolonisasi negara-negara penjajahnya, kejadian Malaise justru melemahkan negara-negara tersebut. Pada dasarnya, negara-negara jajahan tersebut merupakan penyuplai dari bahan mentah produksi. Pada saat dunia kelebihan produksi barang industri yang mengakibatkan Malaise, maka negara-negara jajahan, tak terkecuali Indonesia mengurangi produksi barang mentahnya secara bertahap. Untuk mengurangi produksi tersebut, maka sektor utama perkebunan mengurangi aktivitas produksinya dengan mengurangi tenaga kerja secara besar-besaran dan diperparah lagi dengan tekanan dari Pemerintah Kolonial yang memaksakan beberapa cara agar dapat mengurangi dampak dari Malaise tersebut.
Pengaruh krisis Malaise terhadap Hindia Belanda pada saat itu bisa kita bagi menurut kategorinya yaitu dampaknya terhadap kehidupan berpolitik di Hindia Belanda, kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan keagamaan di Hindia Belanda. Pengaruh-pengaruh tersebut lebih banyak terjadi sebagai akibat dari efek domino dari dampak ekonomi yang menjadi sektor utama yang terjangkit Malaise.
Dari segi perekonomiannya, maka negara-negara jajahan seperti Hindia Belanda mendapat pengaruh terparah karena mereka adalah pemasok bahan mentah untuk kebutuhan industri. Akibat dari Malaise tersebut adalah pasokan barang mentah tersebut dikurangi dan pemangkasan buruh dilakukan untuk membatasi produksi agar tidak terjadi penumpukan barang yang membuat nilai barang tersebut berkurang secara drastis. Selain itu, karena adanya pengurangan tenaga kerja maka Hindia Belanda mempunyai tingkat pengangguran yang cukup tinggi sehingga hal tersebut mengurangi daya konsumsi masyarakat. Mengurangnya daya konsumsi masyarakat tersebut terjadi karena mengurangnya produktivitas masyarakat sebagai faktor utama dalam sektor perekonomian.
Akibat dari depresi ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930-an menyebabkan perekonomian bangsa indonesia mengalami perubahan secara tiba-tiba. Sebagaimana ada gejala krisis yang akan terjadi di negara-negara industri sebelum kejatuhan Wall Street pada bulan Oktober 1929, maka demikian juga di Indonesia ada indikasi bahwa kemakmuran yang tampak pada akhir tahun 1920-an tidak akan bertahan lama. Harga beberapa produk Indonesia telah mengalami penurunan dan pasar untuk ekspor gula menciut karena produksi gula bit meluas dimana-mana terutama di Inggris dan Jepang. Namun, tidak ada yang cukup siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah Oktober 1929 pada saat jatuhnya Wall Street (Ricklefs, 2008: 399).
Selain itu, sebenarnya jika kita katakan Hindia Belanda atau Indonesia tidak terkena dampak langsung depresi ekonomi tersebut itu benar. Karena rata-rata negara yang terkena dampak Malaise adalah negara-negara industri, sedangkan latar belakang Indonesia pada saat itu adalah negara agraris. Tetapi dampak itu terasa karena adanya pengurangan pasokan bahan mentah industri pada saat itu. Selain itu adanya kebinyakan pembatasan produksi gula juga memukul perekonomian Indonesia yang pada saat tu berorientasi pada perkebunan gula, kopra, dan beberapa komoditi lainnya yang sejenis.
Saat indeks saham Wall Street benar-benar jatuh, akhirnya negara-negara jajahan terperosok ke lubang kesengsaraan yang amat dalam. Kesengsaraan tersebut dirasakan oleh seluruh lapisan elemen masyarakat di Hindia Belanda hingga akhirnya Jepang datang pada tahun 1942. Gaya hidup mewah yang biasa di terapkan oleh para penduduk Batavia kulit putih pun akhirnya tidak lagi menjadi gaya hidup yang seharusnya pada saat Malaise.
Dari segi aspek perpolitikan, krisis Malaise mempunyai dampak yang lebih besar lagi. Sebagai akibat dari krisis Malaise, maka pemerintahan kolonial membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk para penduduk pribumi untuk mengekspresikan bentuk politiknya. hal ini dijadikan alasan terkuat bagi para tokoh pergerakan nasional untuk menggugat pemerintah kolonial. Bangkitnya kesadaran perpolitikan sebagai akibat dari krisis Malaise ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi kebangsaan. Lahirnya organisasi kebangsaan tersebut ternyata mengubah arah kebijakan pemerintahan kolonial. Masyarakat Hindia Belanda yang terkena dampak Malaise akhirnya sadar akan nilai dan dan kekuatan sendiri untuk bercita-cita bebas dan lepas dari Pemerintahan Kolonial.
Jika kita berbicara dari aspek perpolitikan juga tidak lepas dari pergerakan kebangsaan yang terjadi akibat krisis Malaise. Para kaum intelek sekelas Soekarno, Tan Malaka, Hatta, dan Syahrir sebagai orang yang sadar akan kelemahan Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda itu sendiri. Krisis Malaise membawa dampak yang serius terhadap kelangsungan politik dari Kerajaan Belanda itu sendiri dalam penguasaannya terhadap Hindia Belanda. Bisa jadi, krisis Malaise menjadi salah satu faktor runtuhnya Hindia Belanda selain dari penguasaan Jerman terhadap Belanda dan juga politik gurita Jepang.
Dari segi aspek sosial, maka Indonesia sebagai negara jajahan saat itu sangat menderita berat. Rakyat terpaksa menganggur, bukan hanya penduduk pribumi, tetapi orang-orang Eropa yang tinggal di beberapa kota besar seperti Batavia dan Bandung pun merasakan dampaknya. Banyak orang-orang Eropa yang sudah terbiasa dengan hidup Hedonis terpaksa harus mengencangkan ikat pinggang mengurangi konsumsi Hedonis.
Sebagai contoh, kita bisa melihat masyarakat Eropa yang berada di Batavia. Ketika gaya hidup masyarakat dipengaruhi oleh faktor ekonomi maka kita akan mendefenisikan gaya hidup masyarakat Batavia kala itu menyesuaikan kondisinya dengan kebijakan pemerintah kolonial yang sedang di berlakukan, salah satunya yaitu kebijakan devaluasi. Ketika kebijakan devaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial berujung kegagalan, maka masyarakat Batavia harus menyesuaikan keadaan mereka dengan kondisi ekonomi yang sedang terjadi pada saat itu.
Kebijakan devaluasi tersebut pada kenyataannya menemui kegagalan karena dalam kenyataannya tidak mungkin pemerintah menurunkan biaya dan pengeluaran sesuai dengan menurunnya hasil produksi dan pemasukan (pernyataan ini didasarkan pada pendapat Sumitro Djojohadikusumo dalam bukunya Kredit Rakyat Di Masa Depresi). Perkembangan proses produksi yang sangat cepat dengan hasil yang bertambah besar serta upah yang sangat rendah, memerlukan penyesuaian terhadap hak-hak penduduk.
Tetapi krisis Malaise akhirnya dijadikan alasan untuk mengembangkan perindustrian di Indonesia, terutama yang masih berhubungan dengan perkebunan. Pada kala itu, ketika krisis Malaise berangsur-angsur menurun, maka perindustrian di Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan produksi perkebunan dan pemakaian alat produksi di periode 1930 hingga 1940. Apalagi setelah adanya pendudukan Jepang, Jepang mulai melakukan perbaikan ekonomi untuk keperluan perangnya.
Tetapi akhirnya kita mengetahui bahwa pendudukan Jepang pun menyengsarakan rakyat. Dengan berbagai kebijakannya yang terkesan memaksakan yaitu Romusha dan berbagai kebijakan lainnya. Hal ini tentu berdampak sama dengan apa yang di hasilkan oleh krisis Malaise.

0 comments:

Post a Comment

 
;