Thursday, November 9, 2017

Reaksi Atas Maraknya Elite Populis Dalam Gerakan Kiri


Wacana yang saya tulis ini berasal dari hasil diskusi saya bersama kawan saya yang bernama Josman Simarmata terkait dengan munculnya gerakan populis di Bandung. Dalam diskusi tersebut, Saya sependapat dengan kawan Josman terkait dengan gerakan populis yang menempatkan tujuan sebagai subjek sebagai gerakan yang sejati. Tetapi menurut saya, pernyataan tersebut tidak menyentuh akar permasalahan, mengapa populisme bisa menjadi pisau bermata dua? Jika dipakai untuk kebaikan akan menghasilkan hal baik dan jika dipakai untuk keburukan akan menghasilkan hal yang buruk pula.
Gerakan populis yang selama ini kita kenal mempunyai makna yang dangkal, yaitu gerakan yang mempunyai tujuan untuk bagaimana caranya meraih simpati rakyat untuk tujuan tertentu. Tentunya gerakan populis tidak selalu berarti gerakan yang memanfaatkan simpati masyarakat untuk menjadi popular. Pada kenyataannya, kata ‘populis’ sendiri sudah tereduksi maknanya sejak lama. Muhammad Al Fayyadl pada akhirnya membagi arti dari populisme itu sendiri menjadi dua, yaitu populisme yang selama ini kita kenal sebagai pola berpolitik berdasarkan popularitas dan populisme yang berarti gerakan kerakyatan[1][1]. Dalam kata lain, Populisme dalam arti sesungguhnya ialah gerakan yang menjadikan rakyat sebagai subjeknya. Tapi apakah benar Populisme itu gerakan yang menempatkan rakyat menjadi subjek utama? Ernesto Laclau menyebutkan bahwa ‘rakyat’ dalam populisme belum benar-benar spesifik dan mempunyai arti khusus yang membuat kita berpendapat bahwa populisme sebagai bentuk gerakan progresif. Tetapi, baik kaum liberal maupun progresif sangat mencurigai populisme karena tidak jelasnya arti dari gerakan tersebut.

Selanjutnya, Laclau membuat konsep menarik terkait konsep rakyat dalam populisme, seperti yang ditulis oleh al Fayyadl:
“… Di sini Laclau mengajukan suatu konsepsi yang menarik, bahwa “subjek” itu belum ada, dengan kata lain, ia menunggu untuk diciptakan. Populisme memiliki subjeknya pada populus, pada rakyat yang menjadi syarat material (dan kategoris) bagi keberadaannya, namun populus itu sendiri belum ada. Ia butuh diciptakan. Maka, pertanyaan besar yang mengganggu populisme adalah: “Bagaimana mengkonstruksi ‘rakyat’? (How to construct ‘the people’?). Dengan kata lain, bagaimana mengkonstruksi “rakyat” yang spesifik (‘the’ people), rakyat yang tidak sekadar rakyat, rakyat yang memiliki, dapat kita katakan, agenda-agenda kerakyatan yang jelas dan mampu menundukkan elite populis tersebut ke dalam tekanan untuk mewujudkan agenda-agenda tersebut.”[2][2]
Dalam beberapa penjelasan lain, populisme dikenali melalui ciri yang khas melekat ketika konsep tersebut menjadi praksis dalam strategi dan ideologi politik. Sebagai strategi politik, populisme berarti gerakan yang melegitimasikan dirinya sendiri sebagai bagian dari lapisan rakyat, sehinga antara gerakan dengan rakyat tersebut tidak terpisahkan satu sama lainnya. Sedangan sebagai ideologi, populisme mempunyai arti yang sama dengan gerakan kiri, yaitu menentang rezim status quo beserta seluruh kebijakannya yang dinilai anti rakyat[3][3]
Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, populisme adalah gerakan kerakyatan yang belum mempunyai konsep rakyat yang jelas. Abstraknya pengertian populisme tersebut (terutama mengenai konsep rakyat) membuat populisme mudah untuk dipelintir oleh segelintir orang. Misalnya gerakan dari Jokowi yang mengambil hati rakyat dengan membuat pencitraan dimana-mana. Populisme Jokowi pada akhirnya bergeser menjadi elite populis yang menempatkan rakyat dalam posisi yang sekunder (atau lebih parahnya lagi, rakyat menjadi objek dari elite populis tersebut). Kedua, populisme adalah gerakan anti status quo rezim yang berkuasa. Kita bisa mengambil contoh gerakan Narodnik yang berkembang di Rusia pada akhir abad 19 dan terorisme kiri ala Baader-Meinhoff.
Kembali dalam diskusi saya bersama kawan Josman. Dari pengertian diatas, saya berani menyimpulkan bahwa gerakan populis di Bandung sangatlah berbahaya. Gerakan populis di Bandung mengambil coraknya, yaitu strategi politik dalam merebut hati rakyat sehingga gerakan tersebut bisa bertransformasi menjadi gerakan elite populis. Sekilas memang dua kata tersebut sangat bertentangan, hal itu lumrah karena populis sendiri berasal dari bahasa Romania: populus yang berarti rakyat dan elite sendiri dalam bahasa Inggris berarti barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus. Dalam perkembangannya, kata elite bergeser maknanya menjadi kelompok sosial yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Secara terminologi, elite populis berarti kelompok sosial yang mempengeruhi masyarakat untuk memenuhi tujuan politiknya[4][4]. Kita bisa merujuk pembagian tipe elite menurut Vilfredo Pareto, yaitu elite spekulator yang merupakan para manipulator atau pembaharu, serta elite rentier yang merupakan para konservatif dan penguasa. Merujuk dari pembagian tipe elite tersebut, elite populis selalu memainkan peran spekulator dalam circulation of elite.
Menurut saya, Elite populis sendiri mempunyai beberapa tujuan dalam memainkan perannya sebagai elite rentier, yaitu mengambil hati rakyat agar rakyat bersimpati kepada kelompok elite tersebut, mempengaruhi pergerakan rakyat agar rakyat memenuhi kepentingan kelompok elite tersebut, serta menguasai popularitas di kalangan rakyat sehingga kelompok elite tersebut dapat memperoleh prestige yang dihormati oleh rakyat. Tujuan-tujuan ini saya dapat dari realita yang terjadi di Indonesia, khususnya Bandung. Dalam geopolitik Indonesia, kita mengenal Jokowi dan Prabowo yang memainkan wacana populisme pada pemilu 2014 yang lalu. Sedangkan di Bandung, saya mengalaminya sendiri ketika saya dan aliansi Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (SORAK) menerjunkan diri untuk bergabung bersama rakyat di Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir (samping Stasiun Bandung) dalam melawan PT. KAI yang telah menggusur mereka. Dalam gerakan aliansi tersebut, adanya elite populis membuat perjuangan terkesan kompromis, saling mengandalkan, dan tidak terkoordinasi dengan baik. 
Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa populisme seperti pisau bermata dua. Jika pisau tersebut digunakan untuk membunuh demi sebuah heroisme sehingga mengenai sasaran yang salah, maka si pengguna pisau tersebut bersifat elite populis. Sebaliknya, jika pisau tersebut digunakan untuk memburu para pencuri nilai lebih yang telah menyengsarakan rakyat pekerja, maka si pengguna pisau tersebut bersifat revolusioner.


[1][1] Muhammad Al Fayyadl dalam artikel Gerakan Kiri, Populisme, dan Elite Populis yang ditulis pada 19 April 2014.
[2][2] Ibid.
[3][3] Lihat Varieties of Populism: An Analysis of The Programmatic Character of Six European Parties karya Jasper de Raadt, David Hollanders, dan Andre Krouwel. Lihat juga Reza Gunadha dalam artikelnya di Indoprogress: Bahaya Politik Populis di Indonesia yang ditulis pada 30 Oktober 2012.
[4][4] Lihat http://himacita.or.id/2016/04/18/konsep-elit-menurut-anthony-giddens/

0 comments:

Post a Comment

 
;