Keramaian macam apa lagi yang engkau tawarkan,
keramaian hati, cinta, kegelapan, atau bahkan keramaian suasana aksi? Tidak,
ini adalah keramaian hubungan komunikasi yang dilakukan antar sesama manusia
yang saling memerlukan. Ya, keramaian perdagangan ala Kapitalisme, mereka
menukar barang dengan uang dan kita menerima uang dengan memberi barang. Disini
hukum pertukaran terjadi sangat marak. Mulai dari pukul 8 pagi hingga sekarang,
pukul 11 siang.
Mereka rela mengantri demi membeli buku, pernak-pernik
Jepang, poster anime dan stiker-stiker bergambar tokoh manga. Mereka rela
menukarkan berbagai lembar uang mereka dengan barang-barang tersebut. O iya,
hampir lupa, disini hukum penawaran dan permintaan terjadi sangat jelas. Jika
kita membuat akumulasinya, maka permintaan sekarang lebih tinggi dari
penawaran. Aneh memang, mereka meminta barang yang mereka butuhkan dan akhirnya
mungkin tidak mempunyai nilai guna yang besar, bahkan komoditi yang mereka beli
tidak mengandung nilai tukar pula!
Oke, tinggalkan masalah egoisitas manusia ini dalam
hukum jual beli yang riskan. Mereka juga menciptakan komunikasi-komunikasi yang
tidak manusiawi, bagaimana bisa? Iya, karena mereka melakukan interaksi sosial
karena adanya material yang menyangkut diri mereka. Bisa dibilang, mereka Bukan
melakukan hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi mereka melakukan
hubungan material. Hubungan Material tercipta karena adanya interaksi antara
material komoditi dengan komoditi lainnya dalam bentuk pertukaran, itu yang
terjadi ketika mereka memberikan uang kepada kita dan kita memberikan barang
dagangan kepada mereka. Mereka yang menjadi konsumen menilai barang dagangan
secara tidak manusiawi, karena harga yang mereka beri hanya berdasarkan ego
mereka dan kebutuhan mereka yang mungkin tidak mendesak (kecuali dalam membeli
makanan, misalnya). Sedangkan si penjual menilai barang dagangan dari sisi historisnya,
si penjual adalah sahabat-sahabatku yang juga melakukan produksi serta
distribusi juga.
Menilai barang dagangan dari sisi historis berarti
menetapkan harga berdasarkan biaya-biaya produksi yang mencakup biaya bahan
baku, alat produksi, serta proses produksi barang tersebut. Nilai lebih yang
diperoleh si penjual yang mempunyai 2 sifat ekonomi (produktif dan
distributive) berdasarkan asumsi kebutuhan yang ada. Misalnya, si penjual,
menjual barang dagangannya Rp.3000,- dengan asumsi nilai lebih Rp.500,- per
buah. Nilai Rp.500,- tersebut merupakan bentuk nilai lebih yang ditetapkan
bukan sebagai laba, melainkan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dengan asumsi
untuk membeli makanan sebesar Rp.250,-, sewa kost sebesar Rp. 150,-, ongkos
dari kost ke pasar sebesar Rp.50,- dan yang terakhir adalah biaya perawatan
alat produksi sebesar Rp.50,-. Sedangkan nilai yang tidak termasuk nilai lebih
sebesar Rp.2500,- merupakan biaya produksi barang dagangan tersebut. Begitulah
kira-kira menilai barang dagangan dari sisi historis yang dilakukan oleh banyak
penjual yang mempunyai 2 sifat ekonomi.
Penjual juga terkadang harus mempertahankan harganya
demi mendapatkan nilai lebih yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, namun pembeli
tidak menghiraukan hal tersebut karena mereka membutuhkan barang dagangan
secara tidak medesak. Inilah proses Kapitalisme secara sederhananya yang
terjadi dalam hubungan material tersebut. Produksi yang dilakukan si penjual
belum tentu merupakan kebutuhan mendesak si pembeli dan juga belum tentu kebutuhan
pokok si pembeli. Jika si penjual terus melakukan proses produksi, maka akan
terjadi krisis over produksi. Barang dagangan yang tidak terjual akhirnya
menumpuk di gudang menciptakan kerugian-kerugian yang tidak terduga.
Jadi, menilai barang dari sisi historisnya belum tentu
menghasilkan suatu nilai yang humanis. Namun, bukan berarti jenis penilaian itu
salah, karena jika kita menilai barang dari sisi historisnya, kita tidak hanya
mendapatkan nilai guna komoditi tersebut, kita akan mendapatkan nilai tukarnya
secara akumulatif. Inilah keuntungan bagi si penjual yang berusaha humanis
dalam melakukan hubungan material. Namun, sehumanis-humanisnya hubungan
material, tidak lebih humanis dari hubungan manusia itu sendiri. Sebelum kita
melangkah lebih jauh untuk mengetahui bagaimana bentuk hubungan manusia dalam
ekonomi seharusnya, kita perlu mengetahui sifat dan keadaan si pembeli dalam
hubungan material terlebih dahulu.
Si penjual jelas mempunyai alasan mengapa barang
produksi tersebut di jual. Dalam alam Kapitalisme, si penjual menjual barang
dagangan karena harus menutupi biaya produksi dan nilai lebih dengan uang yang
ia peroleh. Pemenuhan kebutuhan tersebut berdasarkan asumsi permintaan dan
penawaran yang dikuasai penuh oleh alat tukar uang. Lalu bagaimana dengan keadaan si pembeli?
Si pembeli melakukan hubungan material dengan si
penjual karena 2 alasan, yaitu karena kebutuhan yang mendesak dan karena
desakan penawaran si penjual. Kedua alasan tersebut menjadi faktor utama
mengapa si pembeli tertarik untuk berinteraksi dengan si penjual, walaupun
secara material. Walaupun kita mengetahui ada satu alasan lagi yang khusus di
miliki si pembeli sehingga pembeli mau melakukan interaksi, yaitu adanya sifat
distributif yang dimiliki si pembeli. Jadi, bisa disimpulkan bahwa si pembeli
mempunyai 2 sifat dasar ekonomi yaitu konsumtif dan distributif. Sifat
distributif tersebut juga dimiliki oleh si penjual.
Si pembeli yang bersifat konsumtif pasti menilai
barang dagangan si penjual bukan dari sisi historisnya, melainkan dari sisi
kegunaannya. Sifat konsumtif tersebutlah yang membuat si pembeli akhirnya
menukarkan uang yang ia miliki dengan barang dagangan si penjual. Berdasarkan
hal itu, kita bisa menyimpulkan bahwa si pembeli memang membutuhkan barang
dagangan tersebut untuk digunakan. Dalam hal ini, nilai guna barang dagangan
tersebut muncul berdasarkan kebutuhan. Hal ini berkaitan dengan hukum
permintaan. Di alam Kapitalisme, jika permintaan lebih besar dari penawaran,
maka yang terjadi adalah nilai tukar yang digunakan akan melonjak naik.
Artinya, jika si pembeli membeli barang dagangan berdasarkan kebutuhan yang
mendesak, maka yang terjadi ialah si penjual akan berusaha menaikkan harga
dengan asumsi nilai lebih yang berubah fungsi menjadi dua, yaitu fungsi kebutuhan
dan fungsi laba. Hal ini akan menghasilkan keuntungan bagi si penjual dan
kerugian bagi si pembeli. Inilah yang dimaksud dengan bentuk pemerasan secara
halus dalam hubungan material.
Jika si pembeli tidak terlalu membutuhkan barang
dagangan tersebut, maka si penjual akan mengalami kerugian, mengapa? Barang
dagangan yang di produksi si penjual terkadang tidak memiliki nilai guna yang
berarti, nilai guna tersebut tidak dihitung secara cermat oleh si penjual
karena tidak melihat kondisi kebutuhan si pembeli. Barang dagangan yang
mempunyai nilai guna yang tidak berarti tersebut akhirnya terkena hukum
penawaran. Kita kembali meninjau satu lagi hukum dalam Kapitalisme yaitu hukum
penawaran yang berbunyi: Jika penawaran lebih tinggi dari permintaan maka yang
terjadi adalah si penjual akan menurunkan harganya. Hal tersebut dilakukan agar
barang dagangan tersebut mau di beli walau nilai gunanya kecil. Terkadang, si
penjual akan menurunkan harga hingga tidak mendapatkan nilai lebih sama sekali,
sehingga nilai lebih akan diperoleh dari pemotongan biaya produksi. Jika hal
ini dilakukan terus menerus, maka kemungkinan ada dua kondisi yang tercipta
yaitu menurunnya produksi secara berkala dan krisis over produksi yang
dipaksakan.
Mari kita analisis bagaimana keadaan si pembeli dan
barang dagangannya yang terkena hukum penawaran. Si pembeli yang terkena hukum
penawaran akan menilai barang tersebut sebagai sesuatu yang hampir sia-sia. Ia
mungkin akan memutar otaknya untuk mencari cara agar barang dagangan tersebut
mempunyai nilai guna yang besar. Terkadang, si pembeli juga akan merasa rugi
jika tidak cermat untuk menempatkan barang dagangannya sesuai nilai guna
tersebut. Namun, si pembeli akan untung jika ia memainkan fungsi distributif
sehingga si pembeli akan bertransformasi menjadi penjual barang dagangan
tersebut dengan asumsi perhitungan
kondisi yang cermat. Inilah yang dapat menguntungkan si pembeli pada akhirnya.
Maka kita mendapatkan fungsi distributif yang dimiliki si pembeli ketika si
pembeli terkena hukum penawaran.
Si pembeli yang memiliki fungsi distributif maka akan
mentransformasikan dirinya menjadi penjual ketika kondisinya memungkinkan. Si
penjual yang memiliki biaya produksi yang sangat rendah karena mendapatkan
barang dagangan tersebut secara langsung dari si penjual sebelumnya yang rugi
karena hukum penawaran tanpa di produksi terlebih dahulu oleh si pembeli yang
bertransformasi ini. Keuntungannya akan menjadi besar ketika si penjual yang
baru ini menjual barang dagangannya dengan cermat kondisi. Dalam hubungan
material, maka nilai lebih yang tercipta dari proses ini akan jauh lebih besar
dan memiliki fungsi laba. Fungsi kebutuhan akan hilang seiring melonjaknya
penawaran yang dilakukan oleh penjual sebelumnya. Sedangkan dalam pemenuhan
kebutuhan si penjual baru atau penjual kedua tersebut, si penjual baru akan
semakin memotong biaya produksi dan pemotongan tersebut akan dirubah menjadi
nilai lebih dengan fungsi kebutuhan. Keuntungan demi keuntungan akan mengalir
ke si penjual kedua, untuk mempertahankan keuntungan tersebut, maka si penjual
kedua seyogyanya akan membeli alat produksi baru dengan tenaga kerja baru atau
dengan memperlakukan si penjual pertama sebagai tenaga kerja yang diperas
sebagai penggerak proses produksi barang dagangannya.
Kesimpulannya, hubungan material tersebut akan semakin
membuat manusia teralienasi akibat adanya alat tukar yang tidak memiliki alat
guna tersebut. Alienasi disini terjadi karena adanya pengejaran keuntungan
dengan memperbanyak nilai lebih yang mempunyai fungsi laba. Laba tersebut jelas
diperoleh dengan cara pemerasan tenaga kerja antara si pembeli atau bahkan si
penjual. Sedangkan kita mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk
mempertahankan fungsi kebutuhan dalam nilai lebih karena dalam alam
Kapitalisme, fungsi laba dapat meningkat berdasarkan akumulasi hubungan
material dan juga dapat menurun karena krisis over produksi. Sedangkan fungsi
kebutuhan akan terus menurun karena adanya pemotongan biaya produksi atau
bahkan karena hukum penawaran yang semakin marak. Kesimpulan terbesarnya ialah
krisis over produksi menurunkan fungsi kebutuhan dalam nilai lebih dan
menghancurkan hubungan material itu sendiri. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Jawabannya ialah kita harus melakukan hubungan non
material, interaksi ekonomi yang sangat manusiawi. Hubungan yang tercipta
karena adanya sifat saling membutuhkan, bukan karena hukum permintaan atau
penawaran ala Kapitalisme. Namun bagaimana kita menciptakan hubungan yang
humanis ini? Kita harus meruntuhkan Kapitalisme secara serentak diseluruh
dunia. Menghancurkan Kapitalisme perdagangan berarti menghilangkan uang.
Menghilangkan alat tukar manusiawi ini berarti menghilangkan keterasingan dalam
pekerjaan secara keseluruhan. Pada akhirnya, manusia akan berinteraksi karena
adanya saling ketergantungan dalam hal pemenuhan kebutuhan moral dan material
serta manusia akan bekerja sesuai kemampuan dan pemenuhan kebutuhan yang tidak
berlebihan sehingga tidak menciptakan kontradiksi nilai lebih.
Sistem barter mungkin merupakan sistem yang digunakan
pertama kali oleh manusia sebagai sistem pertukaran barang yang berbeda nilai
gunanya namun sama nilai tukarnya. Nilai tukar yang didapat dalam sistem barter
merupakan nilai tukar yang tercipta dari sisi historisnya. Sisi historis suatu
barang dalam sistem barter seluruhnya merupakan proses produksi. Berbeda dengan
alam Kapitalisme yang mempunyai 2 sifat historis dari setiap barang dagangannya
yaitu proses produksi dan proses distribusi. Jika keseluruhan barang yang nilai
tukarnya tercipta dari keseluruhan proses produksinya, maka nilai tukar
tersebut tidak perlu di refleksikan menjadi uang sebagai alat tukarnya,
melainkan langsung barang ditukar dengan barang. Hal ini lebih humanis
ketimbang harus menggunakan uang untuk memperoleh sebuah barang karena adanya
sifat distribusi yang disebut dengan hubungan material.
Sisi humanis dari sistem barter didapat dari adanya
interaksi sosial karena pemenuhan kebutuhan yang berbeda dari masing-masing
individu. Karena pemenuhan kebutuhan yang berbeda tersebut, manusia akan saling
berketergantungan satu dengan yang lainnya. Kalau sudah seperti itu, maka
manusia akan kembali menjadi makhluk sosial lagi dalam hubungan ekonominya.
Inilah yang harus kita ciptakan agar manusia tidak menuhankan uang sebagai alat
tukar yang mengalienasi pekerjaan kita, melainkan harus memanusiakan hubungan
material yang menciptakan kesadaran untuk hidup sebagai makhluk sosial. Sungguh
humanis sistem yang sedang kita bangun ini.
0 comments:
Post a Comment