Tuesday, November 21, 2017

Kritik Hubungan Material Dalam Perdagangan Mikro


Keramaian macam apa lagi yang engkau tawarkan, keramaian hati, cinta, kegelapan, atau bahkan keramaian suasana aksi? Tidak, ini adalah keramaian hubungan komunikasi yang dilakukan antar sesama manusia yang saling memerlukan. Ya, keramaian perdagangan ala Kapitalisme, mereka menukar barang dengan uang dan kita menerima uang dengan memberi barang. Disini hukum pertukaran terjadi sangat marak. Mulai dari pukul 8 pagi hingga sekarang, pukul 11 siang.
Mereka rela mengantri demi membeli buku, pernak-pernik Jepang, poster anime dan stiker-stiker bergambar tokoh manga. Mereka rela menukarkan berbagai lembar uang mereka dengan barang-barang tersebut. O iya, hampir lupa, disini hukum penawaran dan permintaan terjadi sangat jelas. Jika kita membuat akumulasinya, maka permintaan sekarang lebih tinggi dari penawaran. Aneh memang, mereka meminta barang yang mereka butuhkan dan akhirnya mungkin tidak mempunyai nilai guna yang besar, bahkan komoditi yang mereka beli tidak mengandung nilai tukar pula!

Oke, tinggalkan masalah egoisitas manusia ini dalam hukum jual beli yang riskan. Mereka juga menciptakan komunikasi-komunikasi yang tidak manusiawi, bagaimana bisa? Iya, karena mereka melakukan interaksi sosial karena adanya material yang menyangkut diri mereka. Bisa dibilang, mereka Bukan melakukan hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi mereka melakukan hubungan material. Hubungan Material tercipta karena adanya interaksi antara material komoditi dengan komoditi lainnya dalam bentuk pertukaran, itu yang terjadi ketika mereka memberikan uang kepada kita dan kita memberikan barang dagangan kepada mereka. Mereka yang menjadi konsumen menilai barang dagangan secara tidak manusiawi, karena harga yang mereka beri hanya berdasarkan ego mereka dan kebutuhan mereka yang mungkin tidak mendesak (kecuali dalam membeli makanan, misalnya). Sedangkan si penjual menilai barang dagangan dari sisi historisnya, si penjual adalah sahabat-sahabatku yang juga melakukan produksi serta distribusi juga.
Menilai barang dagangan dari sisi historis berarti menetapkan harga berdasarkan biaya-biaya produksi yang mencakup biaya bahan baku, alat produksi, serta proses produksi barang tersebut. Nilai lebih yang diperoleh si penjual yang mempunyai 2 sifat ekonomi (produktif dan distributive) berdasarkan asumsi kebutuhan yang ada. Misalnya, si penjual, menjual barang dagangannya Rp.3000,- dengan asumsi nilai lebih Rp.500,- per buah. Nilai Rp.500,- tersebut merupakan bentuk nilai lebih yang ditetapkan bukan sebagai laba, melainkan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dengan asumsi untuk membeli makanan sebesar Rp.250,-, sewa kost sebesar Rp. 150,-, ongkos dari kost ke pasar sebesar Rp.50,- dan yang terakhir adalah biaya perawatan alat produksi sebesar Rp.50,-. Sedangkan nilai yang tidak termasuk nilai lebih sebesar Rp.2500,- merupakan biaya produksi barang dagangan tersebut. Begitulah kira-kira menilai barang dagangan dari sisi historis yang dilakukan oleh banyak penjual yang mempunyai 2 sifat ekonomi.
Penjual juga terkadang harus mempertahankan harganya demi mendapatkan nilai lebih yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, namun pembeli tidak menghiraukan hal tersebut karena mereka membutuhkan barang dagangan secara tidak medesak. Inilah proses Kapitalisme secara sederhananya yang terjadi dalam hubungan material tersebut. Produksi yang dilakukan si penjual belum tentu merupakan kebutuhan mendesak si pembeli dan juga belum tentu kebutuhan pokok si pembeli. Jika si penjual terus melakukan proses produksi, maka akan terjadi krisis over produksi. Barang dagangan yang tidak terjual akhirnya menumpuk di gudang menciptakan kerugian-kerugian yang tidak terduga.
Jadi, menilai barang dari sisi historisnya belum tentu menghasilkan suatu nilai yang humanis. Namun, bukan berarti jenis penilaian itu salah, karena jika kita menilai barang dari sisi historisnya, kita tidak hanya mendapatkan nilai guna komoditi tersebut, kita akan mendapatkan nilai tukarnya secara akumulatif. Inilah keuntungan bagi si penjual yang berusaha humanis dalam melakukan hubungan material. Namun, sehumanis-humanisnya hubungan material, tidak lebih humanis dari hubungan manusia itu sendiri. Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengetahui bagaimana bentuk hubungan manusia dalam ekonomi seharusnya, kita perlu mengetahui sifat dan keadaan si pembeli dalam hubungan material terlebih dahulu.
Si penjual jelas mempunyai alasan mengapa barang produksi tersebut di jual. Dalam alam Kapitalisme, si penjual menjual barang dagangan karena harus menutupi biaya produksi dan nilai lebih dengan uang yang ia peroleh. Pemenuhan kebutuhan tersebut berdasarkan asumsi permintaan dan penawaran yang dikuasai penuh oleh alat tukar uang. Lalu bagaimana  dengan keadaan si pembeli?
Si pembeli melakukan hubungan material dengan si penjual karena 2 alasan, yaitu karena kebutuhan yang mendesak dan karena desakan penawaran si penjual. Kedua alasan tersebut menjadi faktor utama mengapa si pembeli tertarik untuk berinteraksi dengan si penjual, walaupun secara material. Walaupun kita mengetahui ada satu alasan lagi yang khusus di miliki si pembeli sehingga pembeli mau melakukan interaksi, yaitu adanya sifat distributif yang dimiliki si pembeli. Jadi, bisa disimpulkan bahwa si pembeli mempunyai 2 sifat dasar ekonomi yaitu konsumtif dan distributif. Sifat distributif tersebut juga dimiliki oleh si penjual.
Si pembeli yang bersifat konsumtif pasti menilai barang dagangan si penjual bukan dari sisi historisnya, melainkan dari sisi kegunaannya. Sifat konsumtif tersebutlah yang membuat si pembeli akhirnya menukarkan uang yang ia miliki dengan barang dagangan si penjual. Berdasarkan hal itu, kita bisa menyimpulkan bahwa si pembeli memang membutuhkan barang dagangan tersebut untuk digunakan. Dalam hal ini, nilai guna barang dagangan tersebut muncul berdasarkan kebutuhan. Hal ini berkaitan dengan hukum permintaan. Di alam Kapitalisme, jika permintaan lebih besar dari penawaran, maka yang terjadi adalah nilai tukar yang digunakan akan melonjak naik. Artinya, jika si pembeli membeli barang dagangan berdasarkan kebutuhan yang mendesak, maka yang terjadi ialah si penjual akan berusaha menaikkan harga dengan asumsi nilai lebih yang berubah fungsi menjadi dua, yaitu fungsi kebutuhan dan fungsi laba. Hal ini akan menghasilkan keuntungan bagi si penjual dan kerugian bagi si pembeli. Inilah yang dimaksud dengan bentuk pemerasan secara halus dalam hubungan material.
Jika si pembeli tidak terlalu membutuhkan barang dagangan tersebut, maka si penjual akan mengalami kerugian, mengapa? Barang dagangan yang di produksi si penjual terkadang tidak memiliki nilai guna yang berarti, nilai guna tersebut tidak dihitung secara cermat oleh si penjual karena tidak melihat kondisi kebutuhan si pembeli. Barang dagangan yang mempunyai nilai guna yang tidak berarti tersebut akhirnya terkena hukum penawaran. Kita kembali meninjau satu lagi hukum dalam Kapitalisme yaitu hukum penawaran yang berbunyi: Jika penawaran lebih tinggi dari permintaan maka yang terjadi adalah si penjual akan menurunkan harganya. Hal tersebut dilakukan agar barang dagangan tersebut mau di beli walau nilai gunanya kecil. Terkadang, si penjual akan menurunkan harga hingga tidak mendapatkan nilai lebih sama sekali, sehingga nilai lebih akan diperoleh dari pemotongan biaya produksi. Jika hal ini dilakukan terus menerus, maka kemungkinan ada dua kondisi yang tercipta yaitu menurunnya produksi secara berkala dan krisis over produksi yang dipaksakan.
Mari kita analisis bagaimana keadaan si pembeli dan barang dagangannya yang terkena hukum penawaran. Si pembeli yang terkena hukum penawaran akan menilai barang tersebut sebagai sesuatu yang hampir sia-sia. Ia mungkin akan memutar otaknya untuk mencari cara agar barang dagangan tersebut mempunyai nilai guna yang besar. Terkadang, si pembeli juga akan merasa rugi jika tidak cermat untuk menempatkan barang dagangannya sesuai nilai guna tersebut. Namun, si pembeli akan untung jika ia memainkan fungsi distributif sehingga si pembeli akan bertransformasi menjadi penjual barang dagangan tersebut  dengan asumsi perhitungan kondisi yang cermat. Inilah yang dapat menguntungkan si pembeli pada akhirnya. Maka kita mendapatkan fungsi distributif yang dimiliki si pembeli ketika si pembeli terkena hukum penawaran.
Si pembeli yang memiliki fungsi distributif maka akan mentransformasikan dirinya menjadi penjual ketika kondisinya memungkinkan. Si penjual yang memiliki biaya produksi yang sangat rendah karena mendapatkan barang dagangan tersebut secara langsung dari si penjual sebelumnya yang rugi karena hukum penawaran tanpa di produksi terlebih dahulu oleh si pembeli yang bertransformasi ini. Keuntungannya akan menjadi besar ketika si penjual yang baru ini menjual barang dagangannya dengan cermat kondisi. Dalam hubungan material, maka nilai lebih yang tercipta dari proses ini akan jauh lebih besar dan memiliki fungsi laba. Fungsi kebutuhan akan hilang seiring melonjaknya penawaran yang dilakukan oleh penjual sebelumnya. Sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan si penjual baru atau penjual kedua tersebut, si penjual baru akan semakin memotong biaya produksi dan pemotongan tersebut akan dirubah menjadi nilai lebih dengan fungsi kebutuhan. Keuntungan demi keuntungan akan mengalir ke si penjual kedua, untuk mempertahankan keuntungan tersebut, maka si penjual kedua seyogyanya akan membeli alat produksi baru dengan tenaga kerja baru atau dengan memperlakukan si penjual pertama sebagai tenaga kerja yang diperas sebagai penggerak proses produksi barang dagangannya.
Kesimpulannya, hubungan material tersebut akan semakin membuat manusia teralienasi akibat adanya alat tukar yang tidak memiliki alat guna tersebut. Alienasi disini terjadi karena adanya pengejaran keuntungan dengan memperbanyak nilai lebih yang mempunyai fungsi laba. Laba tersebut jelas diperoleh dengan cara pemerasan tenaga kerja antara si pembeli atau bahkan si penjual. Sedangkan kita mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk mempertahankan fungsi kebutuhan dalam nilai lebih karena dalam alam Kapitalisme, fungsi laba dapat meningkat berdasarkan akumulasi hubungan material dan juga dapat menurun karena krisis over produksi. Sedangkan fungsi kebutuhan akan terus menurun karena adanya pemotongan biaya produksi atau bahkan karena hukum penawaran yang semakin marak. Kesimpulan terbesarnya ialah krisis over produksi menurunkan fungsi kebutuhan dalam nilai lebih dan menghancurkan hubungan material itu sendiri. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Jawabannya ialah kita harus melakukan hubungan non material, interaksi ekonomi yang sangat manusiawi. Hubungan yang tercipta karena adanya sifat saling membutuhkan, bukan karena hukum permintaan atau penawaran ala Kapitalisme. Namun bagaimana kita menciptakan hubungan yang humanis ini? Kita harus meruntuhkan Kapitalisme secara serentak diseluruh dunia. Menghancurkan Kapitalisme perdagangan berarti menghilangkan uang. Menghilangkan alat tukar manusiawi ini berarti menghilangkan keterasingan dalam pekerjaan secara keseluruhan. Pada akhirnya, manusia akan berinteraksi karena adanya saling ketergantungan dalam hal pemenuhan kebutuhan moral dan material serta manusia akan bekerja sesuai kemampuan dan pemenuhan kebutuhan yang tidak berlebihan sehingga tidak menciptakan kontradiksi nilai lebih.
Sistem barter mungkin merupakan sistem yang digunakan pertama kali oleh manusia sebagai sistem pertukaran barang yang berbeda nilai gunanya namun sama nilai tukarnya. Nilai tukar yang didapat dalam sistem barter merupakan nilai tukar yang tercipta dari sisi historisnya. Sisi historis suatu barang dalam sistem barter seluruhnya merupakan proses produksi. Berbeda dengan alam Kapitalisme yang mempunyai 2 sifat historis dari setiap barang dagangannya yaitu proses produksi dan proses distribusi. Jika keseluruhan barang yang nilai tukarnya tercipta dari keseluruhan proses produksinya, maka nilai tukar tersebut tidak perlu di refleksikan menjadi uang sebagai alat tukarnya, melainkan langsung barang ditukar dengan barang. Hal ini lebih humanis ketimbang harus menggunakan uang untuk memperoleh sebuah barang karena adanya sifat distribusi yang disebut dengan hubungan material.
Sisi humanis dari sistem barter didapat dari adanya interaksi sosial karena pemenuhan kebutuhan yang berbeda dari masing-masing individu. Karena pemenuhan kebutuhan yang berbeda tersebut, manusia akan saling berketergantungan satu dengan yang lainnya. Kalau sudah seperti itu, maka manusia akan kembali menjadi makhluk sosial lagi dalam hubungan ekonominya. Inilah yang harus kita ciptakan agar manusia tidak menuhankan uang sebagai alat tukar yang mengalienasi pekerjaan kita, melainkan harus memanusiakan hubungan material yang menciptakan kesadaran untuk hidup sebagai makhluk sosial. Sungguh humanis sistem yang sedang kita bangun ini.

0 comments:

Post a Comment

 
;