Monday, December 11, 2017

Memandang Disintegrasi Bangsa Secara Sederhana dari Kacamata Sang Marxis


Persoalan Indonesia sepanjang masa selalu terkait dengan disintegrasi bangsa, pemberontakan terjadi disana-sini, ingin melepaskan diri dari bumi pertiwi, dan adanya keinginan untuk mengelola kekayaan daerah sendiri merupakan faktor terjadinya disintegrasi bangsa tersebut. Lalu apa faktor yang membuat sebagian daerah ingin melakukan disintegrasi? Ada yang salah dengan negeri ini tentunya, dan kesalahan tersebut tidak pernah di tangani dengan serius sehingga disintegrasi bangsa terus terjadi hingga kini. Pernahkan para elite birokrasi berpikir tentang bobroknya desentralisasi daerah yang terus menerus terjadi karena suatu faktor tertentu? Beberapa dari peristiwa disintegrasi tersebut secara nyata dan besar-besaran ingin mewujudkan suatu perpecahan karena beberapa faktor.
Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia, sebuah Negara kesatuan yang menginginkan akar Nasionalisme menancap kuat di setiap jiwa individunya, setiap komponen dari bangsanya tidak pernah merasa puas dengan beberapa kebijakan pemerintah atau mungkin lebih parahnya lagi karena mereka selalu tidak di perhatikan.

Persoalan disintegrasi bangsa kini menjadi masalah yang urgent bagi Indonesia. Tetapi masalah tersebut malah dikesampingkan karena adanya faktor – faktor tertentu seperti Pilkada Serentak 2018 yang menyedot perhatian massa. Ketika masalah Pilkada serentak menjadi suatu trending topic di Indonesia, tetapi masalah disintegrasi bangsa malah menjadi momok yang tak berguna, malah hanya menjadi bahan tertawaan pemerintah.
Sepanjang sejarah perjalanan Republik sejak kemerdekaan, telah muncul pemberontakan – pemberontakan atas nama memerdekakan daerah, sebut saja APRA, PRRI/PERMESTA, DI/TII, Integrasi Timor Timur, RMS, GAM, hingga OPM. Pemberontakan  pemberontakan tersebut berlatar belakang berbeda, namun tujuan pokoknya tetap sama. Pemberontakan – pemberontakan tersebut mempunyai tujuan pokok, yaitu ingin mensejahterakan daerahnya masing – masing karena tidak pernah di perhatikan oleh pemerintah Indonesia.
Kehidupan di daerah – daerah yang mengalami pemberontakan tersebut sangat memprihatinkan kondisinya. Masyarakat disana merasakan kehidupan yang sama dengan yang dirasakan oleh Negara – Negara terbelakang, sebut saja seperti Ethiopia ataupun Sudan. Padahal, beberapa elite birokrasi mengakui bahwa Negara kita sebenarnya sudah mulai mempersiapkan diri menjadi Negara maju, namun tidak seperti kenyataan yang terlihat di lapangan.
Beberapa daerah seperti Papua misalnya banyak menuai kritik dari kaum Sosialis karena tidak adanya asas kesejahteraan penduduk disana. Penduduk Papua yang kebanyakan masih menjunjung tinggi adat dan kebudayaan masa lalu tidak mengerti harus berbicara apa. Disaat kita bisa protes menyuarakan aspirasi rakyat di Jawa, mereka yang di Papua hanya bisa diam meratapi nasibnya dan pasrah akan keadaan. Apalagi mereka kebanyakan di awasi oleh militer TNI yang berbuat sewenang-wenang disana atas dasar pergerakan OPM yang semakin menjadi – jadi.
PT. Freeport yang bercokol di Tembagapura yang merupakan penyumbang pajak terbesar bagi Indonesia juga merupakan polemik tersendiri bagi Papua. Pengakuan dari gubernur Papua menuturkan bahwa dana pajak daerah yang harusnya di terima Papua sebesar Rp. 20 Triliun pun masih sangat tersendat – sendat. Ini membuktikan betapa birokrasi di Papua sangat kacau. Kalau kita perhatikan angka 20 triliun tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pajak daerah yang diterima oleh bumi Papua sangat kecil jumlahnya di banding tingkat produksi PT. Freeport sendiri yang melimpah ruah. Sungguh ironis !!
Beberapa video di Youtube yang pernah saya lihat, menampilkan kekerasan aparat TNI terhadap oknum OPM yang belum tentu kebenarannya. Rakyat Papua menjadi semakin ketakutan ketika TNI akhirnya mempunyai wewenang yang mutlak untuk memusnahkan OPM tersebut. Tetapi apakah kita pernah berpikir, tindakan tersebut sangat tidak mencerminkan asas bangsa Indonesia yang harusnya bertindak lemah lembut terhadap sesamanya. Bukan berarti aparat TNI harus bertindak sewenang-wenangnya.
Alasan OPM untuk memisahkan diri dari RI sangat sederhana yaitu pemerintahan RI bertindak layaknya seperti Imperialisme Belanda yang menghisap habis kekayaan bumi Papua. Sangat disayangkan memang, kenapa harus kita bertindak layaknya Kapitalisme terhadap negeri sendiri?
Bagaimana dengan DI/TII, Kartosuwiryo mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan pemberontakan. Perjanjian Renville yang disetujui oleh pihak Indonesia yang pada saat itu di bawah perdana menteri Amir Syarifuddin, salah satu tokoh PKI dengan pihak Belanda, yaitu dengan Van Mook sangat merugikan RI. Kartosuwiryo tidak pernah setuju dengan persetujuan tersebut, sama halnya dengan Kodam Siliwangi dan FDR yang juga tidak pernah puas dengan persetujuan tersebut. Sangat wajar jika pemberontakan tersebut terjadi, tetapi RI, dalam hal ini Hatta tidak pernah memahami pemberontakan tersebut.
Bagaimana dengan PRRI/PERMESTA? Tujuan mereka juga sama yaitu ingin mensejahterakan daerahnya masing-masing. Tetapi pemerintah lagi-lagi tidak memahami persoalan yang demikian. Bagaimana reaksi rakyat? Sungguh reaksi rakyat sangatlah awam dalam menanggapi hal tersebut. Banyak yang pro dan banyak yang kontra, tergantung dengan persuatif dari masing-masing pihak yang berwenang dan berkuasa.
Ini merupakan faktor kewajaran dari disintegrasi bangsa, dan pemerintah tidak pernah belajar dari hal tersebut. Sebagai masyarakat kelas bawah, seharusnya kita menanggapi hal demikian dengan sederhana. Bagaimana kalau pemerintah memihak terus kepada Jawa dan bagaimana perhatian pemerintah terhadap daerah lainnya harusnya menjadi suatu permasalahan yang kritis dihadapi. Tetapi hal tersebut sayangnya hanya dianggap sebagai batu sandungan dan kecil efeknya terhadap jalannya rezim yang berkuasa.
Ini merupakan salah satu hal yang paling miris yang pernah saya dengar. Tan Malaka pernah mengonsepkan Negara kita dengan bentuk Soviet Federasi dan mengonsepkan berbagai kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan keadaan Indonesia, tetapi konsep tersebut tidak pernah diperhatikan oleh pihak yang berkuasa karena dianggap bisa memecah belah persatuan Indonesia. Padahal belum tentu hal tersebut terjadi, kita masih harus menilik kebijakan – kebijakan tersebut dengan seksama, bukan langsung membuangnya dengan alasan bertentangan dengan sila ketiga Pancasila.

0 comments:

Post a Comment

 
;