Persoalan Indonesia sepanjang masa selalu terkait dengan
disintegrasi bangsa, pemberontakan terjadi disana-sini, ingin melepaskan diri
dari bumi pertiwi, dan adanya keinginan untuk mengelola kekayaan daerah sendiri
merupakan faktor terjadinya disintegrasi bangsa tersebut. Lalu apa faktor yang
membuat sebagian daerah ingin melakukan disintegrasi? Ada yang salah dengan
negeri ini tentunya, dan kesalahan tersebut tidak pernah di tangani dengan
serius sehingga disintegrasi bangsa terus terjadi hingga kini. Pernahkan para
elite birokrasi berpikir tentang bobroknya desentralisasi daerah yang terus
menerus terjadi karena suatu faktor tertentu? Beberapa dari peristiwa disintegrasi
tersebut secara nyata dan besar-besaran ingin mewujudkan suatu perpecahan
karena beberapa faktor.
Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia, sebuah Negara
kesatuan yang menginginkan akar Nasionalisme menancap kuat di setiap jiwa
individunya, setiap komponen dari bangsanya tidak pernah merasa puas dengan
beberapa kebijakan pemerintah atau mungkin lebih parahnya lagi karena mereka
selalu tidak di perhatikan.
Persoalan disintegrasi bangsa kini menjadi masalah
yang urgent bagi Indonesia. Tetapi masalah tersebut malah
dikesampingkan karena adanya faktor – faktor tertentu seperti Pilkada Serentak
2018 yang menyedot perhatian massa. Ketika masalah Pilkada serentak menjadi
suatu trending topic di Indonesia, tetapi masalah disintegrasi bangsa
malah menjadi momok yang tak berguna, malah hanya menjadi bahan tertawaan
pemerintah.
Sepanjang sejarah perjalanan Republik sejak kemerdekaan, telah
muncul pemberontakan – pemberontakan atas nama memerdekakan daerah, sebut saja
APRA, PRRI/PERMESTA, DI/TII, Integrasi Timor Timur, RMS, GAM, hingga OPM.
Pemberontakan pemberontakan tersebut berlatar belakang berbeda,
namun tujuan pokoknya tetap sama. Pemberontakan – pemberontakan tersebut
mempunyai tujuan pokok, yaitu ingin mensejahterakan daerahnya masing – masing
karena tidak pernah di perhatikan oleh pemerintah Indonesia.
Kehidupan di daerah – daerah yang mengalami pemberontakan
tersebut sangat memprihatinkan kondisinya. Masyarakat disana merasakan
kehidupan yang sama dengan yang dirasakan oleh Negara – Negara terbelakang, sebut
saja seperti Ethiopia ataupun Sudan. Padahal, beberapa elite birokrasi mengakui
bahwa Negara kita sebenarnya sudah mulai mempersiapkan diri menjadi Negara
maju, namun tidak seperti kenyataan yang terlihat di lapangan.
Beberapa daerah seperti Papua misalnya banyak menuai kritik
dari kaum Sosialis karena tidak adanya asas kesejahteraan penduduk disana.
Penduduk Papua yang kebanyakan masih menjunjung tinggi adat dan kebudayaan masa
lalu tidak mengerti harus berbicara apa. Disaat kita bisa protes menyuarakan
aspirasi rakyat di Jawa, mereka yang di Papua hanya bisa diam meratapi nasibnya
dan pasrah akan keadaan. Apalagi mereka kebanyakan di awasi oleh militer TNI
yang berbuat sewenang-wenang disana atas dasar pergerakan OPM yang semakin
menjadi – jadi.
PT. Freeport yang bercokol di Tembagapura yang merupakan
penyumbang pajak terbesar bagi Indonesia juga merupakan polemik tersendiri bagi
Papua. Pengakuan dari gubernur Papua menuturkan bahwa dana pajak daerah yang
harusnya di terima Papua sebesar Rp. 20 Triliun pun masih sangat tersendat –
sendat. Ini membuktikan betapa birokrasi di Papua sangat kacau. Kalau kita
perhatikan angka 20 triliun tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
pajak daerah yang diterima oleh bumi Papua sangat kecil jumlahnya di banding
tingkat produksi PT. Freeport sendiri yang melimpah ruah. Sungguh ironis !!
Beberapa video di Youtube yang pernah saya lihat,
menampilkan kekerasan aparat TNI terhadap oknum OPM yang belum tentu
kebenarannya. Rakyat Papua menjadi semakin ketakutan ketika TNI akhirnya
mempunyai wewenang yang mutlak untuk memusnahkan OPM tersebut. Tetapi apakah
kita pernah berpikir, tindakan tersebut sangat tidak mencerminkan asas bangsa
Indonesia yang harusnya bertindak lemah lembut terhadap sesamanya. Bukan
berarti aparat TNI harus bertindak sewenang-wenangnya.
Alasan OPM untuk memisahkan diri dari RI sangat sederhana
yaitu pemerintahan RI bertindak layaknya seperti Imperialisme Belanda yang
menghisap habis kekayaan bumi Papua. Sangat disayangkan memang, kenapa harus kita
bertindak layaknya Kapitalisme terhadap negeri sendiri?
Bagaimana dengan DI/TII, Kartosuwiryo mempunyai alasan
tersendiri untuk melakukan pemberontakan. Perjanjian Renville yang disetujui
oleh pihak Indonesia yang pada saat itu di bawah perdana menteri Amir
Syarifuddin, salah satu tokoh PKI dengan pihak Belanda, yaitu dengan Van Mook
sangat merugikan RI. Kartosuwiryo tidak pernah setuju dengan persetujuan
tersebut, sama halnya dengan Kodam Siliwangi dan FDR yang juga tidak pernah
puas dengan persetujuan tersebut. Sangat wajar jika pemberontakan tersebut
terjadi, tetapi RI, dalam hal ini Hatta tidak pernah memahami pemberontakan
tersebut.
Bagaimana dengan PRRI/PERMESTA? Tujuan mereka juga sama yaitu
ingin mensejahterakan daerahnya masing-masing. Tetapi pemerintah lagi-lagi
tidak memahami persoalan yang demikian. Bagaimana reaksi rakyat? Sungguh reaksi
rakyat sangatlah awam dalam menanggapi hal tersebut. Banyak yang pro dan banyak
yang kontra, tergantung dengan persuatif dari masing-masing pihak yang berwenang
dan berkuasa.
Ini merupakan faktor kewajaran dari disintegrasi bangsa, dan
pemerintah tidak pernah belajar dari hal tersebut. Sebagai masyarakat kelas
bawah, seharusnya kita menanggapi hal demikian dengan sederhana. Bagaimana
kalau pemerintah memihak terus kepada Jawa dan bagaimana perhatian pemerintah
terhadap daerah lainnya harusnya menjadi suatu permasalahan yang kritis
dihadapi. Tetapi hal tersebut sayangnya hanya dianggap sebagai batu sandungan
dan kecil efeknya terhadap jalannya rezim yang berkuasa.
Ini merupakan salah satu hal yang paling miris yang pernah
saya dengar. Tan Malaka pernah mengonsepkan Negara kita dengan bentuk Soviet
Federasi dan mengonsepkan berbagai kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan
keadaan Indonesia, tetapi konsep tersebut tidak pernah diperhatikan oleh pihak
yang berkuasa karena dianggap bisa memecah belah persatuan Indonesia. Padahal
belum tentu hal tersebut terjadi, kita masih harus menilik kebijakan –
kebijakan tersebut dengan seksama, bukan langsung membuangnya dengan alasan
bertentangan dengan sila ketiga Pancasila.
0 comments:
Post a Comment