Friday, May 11, 2018

Transformasi Ilmu Menjadi Nilai


“Ketika Ilmu Menjadi Sebuah Nilai Yang Kuantitatif”
Ilmu adalah sebuah pengetahuan yang telah di validkan melalui penelitian ilmiah. Misalnya adalah ketika kita berbicara tentang konsep keilmuan dan kefilsafatan, maka kita akan mendapati perbedaan. Filsafat adalah bentuk pengetahuan yang tidak perlu mendapatkan klaim empiris dan ilmiah, sedangkan ilmu mendapatkan klaim empiris serta ilmiah. Ilmu di ciptakan melalui serangkaian metode ilmiah yang telah di tentukan yaitu hipotesa, eksperimen, dan kritik (setidaknya itu menurut saya secara general). Studi tentang keilmuan dan batas-batasnya adalah Epistemologi.

Semua orang sepakat bahwa ilmu pertama yang muncul di dunia adalah ilmu agama. Namun disini perlu di perhatikan ketika kita sepakat bahwa ilmu muncul melalui serangkaian metode ilmiah, maka agama bukan lah di dalam prospek keilmuan. Yang dimaksud ilmu agama adalah ilmu yang mempelajari soal agama yang ada atau studi tentang keagamaan dan sejarahnya. Sama halnya dengan ilmu filsafat yang hanya mempersoalkan studi tentang filsafat dan sejarahnya. Agama, ilmu, dan filsafat adalah tiga bentuk pengetahuan yang berbeda. Ketika semua orang sepakat bahwa agama yang menjadi bentuk pengetahuan manusia yang pertama. Maka saya berpendapat filsafat adalah bentuk pengetahuan yang pertama di dunia. Agama dan ilmu muncul akibat perkembangan dari filsafat. Pernyataan vulgar ini memang perlu di terangkan lebih lanjut, tetapi saya membatasi artikel ini hanya kepada bentuk transformasi ilmu itu sendiri saja.
Hal ini menjadi perhatian saya ketika saya perhatikan sebuah realita yang ada yaitu ketika para pelajar dan mahasiswa mengejar nilai tersebut dengan ilmu. Sebenarnya sistem pendidikan yang demikian memunculkan hal-hal yang tidak di inginkan seperti budaya menyontek atau bahkan muncul istilah murid yang rajin yang disandingkan dengan murid yang pintar. Apakah murid yang rajin dapat dikatakan pintar atau sebaliknya? Bagaimana murid yang belum mengerti ilmu yang di pelajarinya? Juga bentuk pemaksaan kurikulum yang ada oleh pemerintah, sebenarnya validkah sistem ini? Mungkin inilah bentuk degradasi pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah.
Jika kita kaitkan dengan perspektif dialektika, kita akan mendapati bahwa suatu evolusi yang maju harus melewati tahap perubahan kuantitatif lalu menjadi perubahan kualitatif. Konsep yang demikian harusnya di terapkan dalam sistem pendidikan pula. Hal yang demikian bisa mengubah mind set seseorang atas murid yang pintar. Murid yang pintar bukan lah murid yang mendapatkan nilai besar, melainkan seorang murid yang mempunyai kualitas pengetahuan yang memang besar. Mind set yang demikian lah yang harus di kembangkan sehingga kita tidak lagi mendapati suatu bentuk “Transformasi Ilmu Menjadi Nilai”, kita harus menerapkan konsep “Transformasi Nilai Menjadi Ilmu”. Konsep yang demikian lah yang bisa mencerdaskan pelajar dan mahasiswa yang ada. Yang jadi pertanyaan, apa yang dimaksud dari keduanya?

Transformasi Ilmu Menjadi Nilai
Kita sama-sama mengetahui apa arti ilmu dan pengetahuan itu. Kita bisa mencari arti lain dari ilmu tersebut. Misalnya adalah ilmu adalah suatu bentuk kualitatif yang dihasilkan dari suatu basis material yaitu otak melalui proses transformasi ide menjadi bentuk pengetahuan yang mempunyai klaim empiris dan metode ilmiah untuk menerapkannya. Dari arti yang demikian kita bisa mendapati bahwa ilmu memang merupakan lompatan kualitatif dari ide yang masih abstrak. Ide yang dikeluarkan dari basis material tersebut masih belum mempunyai bentuk yang nyata karena masih merupakan bayang-bayang pikiran yang terperangkap. Selanjutnya, ide yang merupakan bentuk kuantitatif yang abstrak akhirnya bertransformasi menjadi suatu pemikiran atau pengetahuan.
Pengetahuan itu sendiri mengandung pengertian yaitu ide yang di konkritkan tetapi tidak memiliki klaim empiris dan metode ilmiah. Pengetahuan yang di bentuk tergantung dari bentuk pengalaman manusia sebagai input dari segala ide yang abstrak tersebut. Misalnya, jika si manusia tersebut hidup dalam lingkungan yang memang agamis, maka si manusia tersebut akan mempunyai pengalaman dengan orang-orang yang agamis sebagai pencipta bentuk dasar dari ide abstraknya nanti. Pengalaman tersebut yang di rasanya cukup akan dikeluarkan dalam bentuk ide lalu menjadi sebuah pengetahuan. Saya yakin bahwa ide itu di dominasi oleh pengalaman si manusia tersebut. Secara otomatis, ide dan pengetahuan yang dikeluarkannnya berupa ide dan pengetahuan yang agamis.
Pengetahuan yang masih merupakan bentuk dari cara atau suatu dasar konkrit dari mengetahui apa yang ada. Maksudnya, pengetahuan sebagai hasil dari lompatan kualitatif ide atau gagasan adalah segala sesuatu yang telah diketahui lalu di konkritkan. Pengetahuan akan mendapat jalur resmi ketika ia menjadi suatu filsafat, agama, atau ilmu. Jika pengetahuan bertransformasi menjadi suatu ilmu, maka pengetahuan yang merupakan cara atau sesuatu yang telah di ketahui tersebut kemudian mendapat klaim empiris lalu di uji dengan metode ilmiah sehingga menjadi suatu ilmu. Sedangkan, jika pengetahuan tersebut bertransformasi menjadi agama, maka pengetahuan tersebut akan mendapat klaim dogma, norma, dan dogma.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan agama menyangkut hal Ketuhanan dan moral. Kedua hal tersebut merupakan bentuk aksioma yang kadang tidak bisa di tentang, hal inilah yang membedakan ilmu dengan agama. Tetapi, jika pengetahuan tersebut bertransformasi menjadi filsafat, maka hasilnya adalah suatu keraguan dan pertanyaan yang tiada habisnya. Pertanyaan tersebut tidak lah harus ilmiah, namun bisa menjadi dasar dari teori-teori ilmiah pada selanjutnya. Tidak heran ketika kita menyebut filsafat sebagai batas antara mitos dengan ilmu.
Lompatan evolusi teori yang demikian akan berhenti ketika kita tidak memvalidkan pengetahuan kita. Maksudnya, transformasi ke dalam tiga bentuk pengetahuan tersebut butuh perubahan-perubahan kualitatif agar menjadi suatu negasi yang kualitatif. Lalu kembali ke pertanyaan awal, apa yang menjadikan sebuah ilmu bertransformasi menjadi nilai yang kuantitatif? Hal ini merupakan suatu bentuk kemunduran dialektika.
Transformasi tersebut berkaitan dengan kesadaran material. Kesadaran yang mengubah ilmu yang sedemikian kualitatifnya menjadi suatu bentuk nilai yang sedemikian kuantitatifnya. Karena pada dasarnya kesadaran adalah sumber utama munculnya keseluruhan aktivitas manusia selama hidupnya. Kesadaran yang mengubah hal demikian adalah kesadaran subjektif yang di miliki tiap individu. Ketika kesadaran subjektif itu muncul, maka bukan tidak mungkin kita akan menghakimi sebuah ilmu pengetahuan yang di miliki seseorang dengan nilai-nilai kuantitatif yang berwujud angka atau huruf. Apakah ini relevan dalam pendidikan? Tentunya segala hal yang berkaitan dengan kesadaran subjektif akan memunculkan sebuah hasil yang subjektif pula. Ilmu tersebut akhirnya hanya menjadi ilmu subjektif yang di nilai benar oleh hanya kesadaran material subjektif itu saja. Tapi bagaimana dengan kesadaran kolektif?

 Transformasi Nilai Menjadi Ilmu
Kita sama-sama mengetahui bahwa segala proses yang terjadi di alam ini termasuk bagian dinamika masyarakat serta interaksinya merupakan sebuah proses dialektika yang terus berlangsung. Proses dialektika itu terus menciptakan perubahan-perubahan yang kualitatif sehingga menimbulkan suatu kemajuan evolusi. Begitu pun dalam perspektif pendidikan. Ketika seorang pengajar memberikan penilaian subjektif kepada muridnya dengan nilai hanya karena dia adalah murid atau mahasiswa yang rajin, kita bisa katakan bahwa ilmu yang di milikinya di reduksi menjadi sebuah nilai-nilai kuantitatif yang kosong. Itu merupakan suatu bentuk dari hasil kesadaran subjektif guru tersebut serta egoisme murid yang mengejar hasil kesadaran subjektif guru tersebut. Betapa rendahnya harga sebuah ilmu di mata mereka.
Lalu bagaimana seharusnya kita menilai murid berdasarkan kesadaran objektif yang tidak mereduksi nilai-nilai dialektika yang ada? Maka kita memerlukan transformasi yang mengubah nilai menjadi sebuah ilmu. Hal ini tidak bertentangan sama sekali dengan lompatan kuantitatif menjadi kualitatif sebagai dasar dari pijakan evolusi tersebut. Namun, kebanyakan dari para pendidik kita tidak mengerti bagaimana dan apa yang dimaksud dengan lompatan-lompatan dialektika tersebut.
Penilaian yang demikian muncul akibat adanya sifat kritis yang muncul dari para pendidik ketika melihat para muridnya. Sifat kritis yang dimaksud adalah berguna untuk mengetahui bagaimana kualitas keilmuan si murid. Bukan dengan tugas-tugas tertulis yang akhirnya akan memunculkan suatu bentuk kemunduran dialektika seperti yang telah ktia ketahui, namun dengan dialektika sederhana itu sendiri. Persoalan sederhananya adalah bagaimana seorang pengajar bertingkah seperti Socrates dan Plato, yaitu selalu membentuk pertentangan antara tanya dan jawab. Bentuk dialog yang ternyata efektif dan di pertahankan ribuan tahun untuk menjawab segala macam persoalan filsafat dan keilmuan yang ada.
Contohnya adalah ketika beberapa murid sedang berdiskusi dengan pengajar yang kebetulan adalah seorang pengajar ilmu Matematika Logika. Untuk mencari penilaian yang kualitatif atas murid-muridnya, maka pengajar tersebut tidak semerta-merta memberikan tugas yang akhirnya akan mereduksi ilmu-ilmu mereka menjadi sebuah nilai-nilai yang kuantitatif. Tetapi pengajar tersebut akan menurunkan derajatnya menjadi seorang murid yang saling berdiskusi guna mencari solusi atas silogisme yang sedang di ajarkannya. Hal yang demikian akan memunculkan tanya jawab akibat adanya persoalan-persoalan yang harus di pecahkan. Pemikiran kritis akan di ciptakan karena kesadaran objektif yang kolektif telah terbentuk akibat transformasi tersebut. Nilai-nilai yang kuantitatif yaitu berupa derajat sang pengajar dan mode dialektika tanya jawab di negasikan menjadi sebuah ilmu yang kualitatif setelah kesadaran untuk berpikir kritis muncul.
Tentu, pemikiran kritis tersebut tidak muncul begitu saja. Pemikiran yang kritis tersebut muncul akibat kesadaran untuk mengkritisi persoalan yang ada. Persoalan itu sendiri ada karena pengajar mau mereduksi dirinya menjadi murid untuk menciptakan sebuah penilaian untuk muridnya yang kualitatif. Dengan begitu pengajar tersebut akan mengetahui mana murid yang berilmu, mana murid yang kurang berilmu. Betapa efektifnya cara yang demikian dalam pendidikan. Namun, solusi kuno tersebut tidak mendapat perhatian karena kita masih dalam struktural pendidikan yang di susupi politik. Politisasi terhadap pendidikan membuka pembodohan baru dan kemunduran evolusi manusia itu sendiri.
Sepintas, hal ini merupakan yang sangat sepele. Namun, metode pendidikan yang sepele tersebut membawa suatu perubahan kuantitatif yang lebih besar lagi, yaitu kemunduran evolusi keilmuan yang ada. Jika kita mengerti, bahwa suatu proses dialektika dalam Materialisme di mulai dari hal yang sangat kecil sekalipun. Bagaiman sebuah elektron bergerak bertentangan dengan proton dan di seimbangkan dalam inti dengan neutron.
Ketiga hal tersebut akhirnya juga menjadi sumber pertentangan makrokosmos yang menciptakan semua peristiwa sejarah alam semesta. Pertentangan terjadi karena materi yang ada bukanlah suatu bentuk statis atau konstan dalam bentuknya. Materi tersebut juga tidak muncul karena persepsi, melainkan muncul karena materi merupakan hal pertama yang mengubah sejarah, bukan persepsi. Materi tersebut menciptakan peristiwa sejarah, bukan pula ide dan persepsi. Ide dan persepsi tersebut muncul setelah kesadaran dari materi tersebut ada. Begitulah cara kerja Materialisme Dialektika dalam hal-hal yang sangat ringan.

0 comments:

Post a Comment

 
;