“Ketika Ilmu
Menjadi Sebuah Nilai Yang Kuantitatif”
Ilmu adalah sebuah pengetahuan yang telah di validkan
melalui penelitian ilmiah. Misalnya adalah ketika kita berbicara tentang konsep
keilmuan dan kefilsafatan, maka kita akan mendapati perbedaan. Filsafat adalah
bentuk pengetahuan yang tidak perlu mendapatkan klaim empiris dan ilmiah,
sedangkan ilmu mendapatkan klaim empiris serta ilmiah. Ilmu di ciptakan melalui
serangkaian metode ilmiah yang telah di tentukan yaitu hipotesa, eksperimen,
dan kritik (setidaknya itu menurut saya secara general). Studi tentang keilmuan
dan batas-batasnya adalah Epistemologi.
Semua orang sepakat bahwa ilmu pertama yang muncul di
dunia adalah ilmu agama. Namun disini perlu di perhatikan ketika kita sepakat
bahwa ilmu muncul melalui serangkaian metode ilmiah, maka agama bukan lah di
dalam prospek keilmuan. Yang dimaksud ilmu agama adalah ilmu yang mempelajari
soal agama yang ada atau studi tentang keagamaan dan sejarahnya. Sama halnya
dengan ilmu filsafat yang hanya mempersoalkan studi tentang filsafat dan
sejarahnya. Agama, ilmu, dan filsafat adalah tiga bentuk pengetahuan yang
berbeda. Ketika semua orang sepakat bahwa agama yang menjadi bentuk pengetahuan
manusia yang pertama. Maka saya berpendapat filsafat adalah bentuk pengetahuan
yang pertama di dunia. Agama dan ilmu muncul akibat perkembangan dari filsafat.
Pernyataan vulgar ini memang perlu di terangkan lebih lanjut, tetapi saya
membatasi artikel ini hanya kepada bentuk transformasi ilmu itu sendiri saja.
Hal ini menjadi perhatian saya ketika saya perhatikan
sebuah realita yang ada yaitu ketika para pelajar dan mahasiswa mengejar nilai
tersebut dengan ilmu. Sebenarnya sistem pendidikan yang demikian memunculkan
hal-hal yang tidak di inginkan seperti budaya menyontek atau bahkan muncul
istilah murid yang rajin yang disandingkan dengan murid yang pintar. Apakah
murid yang rajin dapat dikatakan pintar atau sebaliknya? Bagaimana murid yang
belum mengerti ilmu yang di pelajarinya? Juga bentuk pemaksaan kurikulum yang
ada oleh pemerintah, sebenarnya validkah sistem ini? Mungkin inilah bentuk
degradasi pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah.
Jika kita kaitkan dengan perspektif dialektika, kita
akan mendapati bahwa suatu evolusi yang maju harus melewati tahap perubahan
kuantitatif lalu menjadi perubahan kualitatif. Konsep yang demikian harusnya di
terapkan dalam sistem pendidikan pula. Hal yang demikian bisa mengubah mind set
seseorang atas murid yang pintar. Murid yang pintar bukan lah murid yang
mendapatkan nilai besar, melainkan seorang murid yang mempunyai kualitas
pengetahuan yang memang besar. Mind set yang demikian lah yang harus di
kembangkan sehingga kita tidak lagi mendapati suatu bentuk “Transformasi
Ilmu Menjadi Nilai”, kita harus menerapkan konsep “Transformasi Nilai
Menjadi Ilmu”. Konsep yang demikian lah yang bisa mencerdaskan pelajar dan
mahasiswa yang ada. Yang jadi pertanyaan, apa yang dimaksud dari keduanya?
Transformasi Ilmu
Menjadi Nilai
Kita sama-sama mengetahui apa arti ilmu dan
pengetahuan itu. Kita bisa mencari arti lain dari ilmu tersebut. Misalnya
adalah ilmu adalah suatu bentuk kualitatif yang dihasilkan dari suatu basis
material yaitu otak melalui proses transformasi ide menjadi bentuk pengetahuan yang
mempunyai klaim empiris dan metode ilmiah untuk menerapkannya. Dari arti yang
demikian kita bisa mendapati bahwa ilmu memang merupakan lompatan kualitatif
dari ide yang masih abstrak. Ide yang dikeluarkan dari basis material tersebut
masih belum mempunyai bentuk yang nyata karena masih merupakan bayang-bayang
pikiran yang terperangkap. Selanjutnya, ide yang merupakan bentuk kuantitatif
yang abstrak akhirnya bertransformasi menjadi suatu pemikiran atau pengetahuan.
Pengetahuan itu sendiri mengandung pengertian yaitu
ide yang di konkritkan tetapi tidak memiliki klaim empiris dan metode ilmiah.
Pengetahuan yang di bentuk tergantung dari bentuk pengalaman manusia sebagai
input dari segala ide yang abstrak tersebut. Misalnya, jika si manusia tersebut
hidup dalam lingkungan yang memang agamis, maka si manusia tersebut akan
mempunyai pengalaman dengan orang-orang yang agamis sebagai pencipta bentuk
dasar dari ide abstraknya nanti. Pengalaman tersebut yang di rasanya cukup akan
dikeluarkan dalam bentuk ide lalu menjadi sebuah pengetahuan. Saya yakin bahwa
ide itu di dominasi oleh pengalaman si manusia tersebut. Secara otomatis, ide
dan pengetahuan yang dikeluarkannnya berupa ide dan pengetahuan yang agamis.
Pengetahuan yang masih merupakan bentuk dari cara atau
suatu dasar konkrit dari mengetahui apa yang ada. Maksudnya, pengetahuan
sebagai hasil dari lompatan kualitatif ide atau gagasan adalah segala sesuatu
yang telah diketahui lalu di konkritkan. Pengetahuan akan mendapat jalur resmi
ketika ia menjadi suatu filsafat, agama, atau ilmu. Jika pengetahuan
bertransformasi menjadi suatu ilmu, maka pengetahuan yang merupakan cara atau
sesuatu yang telah di ketahui tersebut kemudian mendapat klaim empiris lalu di
uji dengan metode ilmiah sehingga menjadi suatu ilmu. Sedangkan, jika
pengetahuan tersebut bertransformasi menjadi agama, maka pengetahuan tersebut
akan mendapat klaim dogma, norma, dan dogma.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan agama
menyangkut hal Ketuhanan dan moral. Kedua hal tersebut merupakan bentuk aksioma
yang kadang tidak bisa di tentang, hal inilah yang membedakan ilmu dengan
agama. Tetapi, jika pengetahuan tersebut bertransformasi menjadi filsafat, maka
hasilnya adalah suatu keraguan dan pertanyaan yang tiada habisnya. Pertanyaan
tersebut tidak lah harus ilmiah, namun bisa menjadi dasar dari teori-teori
ilmiah pada selanjutnya. Tidak heran ketika kita menyebut filsafat sebagai
batas antara mitos dengan ilmu.
Lompatan evolusi teori yang demikian akan berhenti
ketika kita tidak memvalidkan pengetahuan kita. Maksudnya, transformasi ke
dalam tiga bentuk pengetahuan tersebut butuh perubahan-perubahan kualitatif
agar menjadi suatu negasi yang kualitatif. Lalu kembali ke pertanyaan awal, apa
yang menjadikan sebuah ilmu bertransformasi menjadi nilai yang kuantitatif? Hal
ini merupakan suatu bentuk kemunduran dialektika.
Transformasi tersebut berkaitan dengan kesadaran
material. Kesadaran yang mengubah ilmu yang sedemikian kualitatifnya menjadi
suatu bentuk nilai yang sedemikian kuantitatifnya. Karena pada dasarnya
kesadaran adalah sumber utama munculnya keseluruhan aktivitas manusia selama
hidupnya. Kesadaran yang mengubah hal demikian adalah kesadaran subjektif yang
di miliki tiap individu. Ketika kesadaran subjektif itu muncul, maka bukan
tidak mungkin kita akan menghakimi sebuah ilmu pengetahuan yang di miliki
seseorang dengan nilai-nilai kuantitatif yang berwujud angka atau huruf. Apakah
ini relevan dalam pendidikan? Tentunya segala hal yang berkaitan dengan
kesadaran subjektif akan memunculkan sebuah hasil yang subjektif pula. Ilmu
tersebut akhirnya hanya menjadi ilmu subjektif yang di nilai benar oleh hanya
kesadaran material subjektif itu saja. Tapi bagaimana dengan kesadaran kolektif?
Transformasi
Nilai Menjadi Ilmu
Kita sama-sama mengetahui bahwa segala proses yang
terjadi di alam ini termasuk bagian dinamika masyarakat serta interaksinya
merupakan sebuah proses dialektika yang terus berlangsung. Proses dialektika
itu terus menciptakan perubahan-perubahan yang kualitatif sehingga menimbulkan
suatu kemajuan evolusi. Begitu pun dalam perspektif pendidikan. Ketika seorang
pengajar memberikan penilaian subjektif kepada muridnya dengan nilai hanya
karena dia adalah murid atau mahasiswa yang rajin, kita bisa katakan bahwa ilmu
yang di milikinya di reduksi menjadi sebuah nilai-nilai kuantitatif yang
kosong. Itu merupakan suatu bentuk dari hasil kesadaran subjektif guru tersebut
serta egoisme murid yang mengejar hasil kesadaran subjektif guru tersebut.
Betapa rendahnya harga sebuah ilmu di mata mereka.
Lalu bagaimana seharusnya kita menilai murid
berdasarkan kesadaran objektif yang tidak mereduksi nilai-nilai dialektika yang
ada? Maka kita memerlukan transformasi yang mengubah nilai menjadi sebuah ilmu.
Hal ini tidak bertentangan sama sekali dengan lompatan kuantitatif menjadi
kualitatif sebagai dasar dari pijakan evolusi tersebut. Namun, kebanyakan dari
para pendidik kita tidak mengerti bagaimana dan apa yang dimaksud dengan
lompatan-lompatan dialektika tersebut.
Penilaian yang demikian muncul akibat adanya sifat kritis
yang muncul dari para pendidik ketika melihat para muridnya. Sifat kritis yang
dimaksud adalah berguna untuk mengetahui bagaimana kualitas keilmuan si murid.
Bukan dengan tugas-tugas tertulis yang akhirnya akan memunculkan suatu bentuk
kemunduran dialektika seperti yang telah ktia ketahui, namun dengan dialektika
sederhana itu sendiri. Persoalan sederhananya adalah bagaimana seorang pengajar
bertingkah seperti Socrates dan Plato, yaitu selalu membentuk pertentangan
antara tanya dan jawab. Bentuk dialog yang ternyata efektif dan di pertahankan
ribuan tahun untuk menjawab segala macam persoalan filsafat dan keilmuan yang
ada.
Contohnya adalah ketika beberapa murid sedang
berdiskusi dengan pengajar yang kebetulan adalah seorang pengajar ilmu
Matematika Logika. Untuk mencari penilaian yang kualitatif atas murid-muridnya,
maka pengajar tersebut tidak semerta-merta memberikan tugas yang akhirnya akan
mereduksi ilmu-ilmu mereka menjadi sebuah nilai-nilai yang kuantitatif. Tetapi
pengajar tersebut akan menurunkan derajatnya menjadi seorang murid yang saling
berdiskusi guna mencari solusi atas silogisme yang sedang di ajarkannya. Hal
yang demikian akan memunculkan tanya jawab akibat adanya persoalan-persoalan
yang harus di pecahkan. Pemikiran kritis akan di ciptakan karena kesadaran
objektif yang kolektif telah terbentuk akibat transformasi tersebut.
Nilai-nilai yang kuantitatif yaitu berupa derajat sang pengajar dan mode
dialektika tanya jawab di negasikan menjadi sebuah ilmu yang kualitatif setelah
kesadaran untuk berpikir kritis muncul.
Tentu, pemikiran kritis tersebut tidak muncul begitu
saja. Pemikiran yang kritis tersebut muncul akibat kesadaran untuk mengkritisi
persoalan yang ada. Persoalan itu sendiri ada karena pengajar mau mereduksi
dirinya menjadi murid untuk menciptakan sebuah penilaian untuk muridnya yang
kualitatif. Dengan begitu pengajar tersebut akan mengetahui mana murid yang
berilmu, mana murid yang kurang berilmu. Betapa efektifnya cara yang demikian
dalam pendidikan. Namun, solusi kuno tersebut tidak mendapat perhatian karena
kita masih dalam struktural pendidikan yang di susupi politik. Politisasi
terhadap pendidikan membuka pembodohan baru dan kemunduran evolusi manusia itu
sendiri.
Sepintas, hal ini merupakan yang sangat sepele. Namun,
metode pendidikan yang sepele tersebut membawa suatu perubahan kuantitatif yang
lebih besar lagi, yaitu kemunduran evolusi keilmuan yang ada. Jika kita
mengerti, bahwa suatu proses dialektika dalam Materialisme di mulai dari hal
yang sangat kecil sekalipun. Bagaiman sebuah elektron bergerak bertentangan
dengan proton dan di seimbangkan dalam inti dengan neutron.
Ketiga hal tersebut akhirnya juga menjadi sumber
pertentangan makrokosmos yang menciptakan semua peristiwa sejarah alam semesta.
Pertentangan terjadi karena materi yang ada bukanlah suatu bentuk statis atau
konstan dalam bentuknya. Materi tersebut juga tidak muncul karena persepsi,
melainkan muncul karena materi merupakan hal pertama yang mengubah sejarah,
bukan persepsi. Materi tersebut menciptakan peristiwa sejarah, bukan pula ide
dan persepsi. Ide dan persepsi tersebut muncul setelah kesadaran dari materi
tersebut ada. Begitulah cara kerja Materialisme Dialektika dalam hal-hal yang
sangat ringan.
0 comments:
Post a Comment