Hujan semakin deras. Derap langkahku terhenti oleh badai yang
berkecamuk di dalam dada. Tubuhku kuyup oleh kenangan yang menghunjam sepagian
ini. Mengapa aku merasa sepatah ini karena kamu yang taklagi kumiliki? Dan
jawaban itu masih sebuah misteri yang takterpecahkan.
Aku selalu percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk kita. Meski
detik sudah bergerak menjauh, spasi menjadi pemisah antara dua perasaan yang
(dulu) pernah saling memiliki namun jeda pun hadir untuk memporaporandakannya.
Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang menahu perihal takdir.
Dan itu pula yang menghantam dadaku saat angin berbisik perihal
pilihanmu dan itu bukan aku. Menjadi pihak yang memendam tidak pernah bergerak
dengan baik untukku. Pun dengan lidahku yang begitu kelu kala menyapa namamu,
dan tidak lebih dari sekadar sujud di sepertiga malamku.
Ya, abor. Dadaku remuk. Harapanku patah berkeping-keping. Jatuh berserakan
di atas kenangan yang bahkan masih hangat. Sampai suatu titik, ternyata aku
harus benar-benar menyerah. Padahal aku begitu yakin di perjalanan pencarian
baru ini, mungkin kamulah jawabannya.
Tuhan telah menjawab, dan bukan kamu ternyata perempuan yang
dijanjikanNya.
0 comments:
Post a Comment