Friday, November 30, 2018

We Were Happy


Berhenti. Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di taman pinus ini dan kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku percaya bahwa kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya. Kita pernah tertawa bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan bahagia. Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya tawa dan senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan dengan cahayanya yang hangat.
Tapi, untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu menjadi air mata yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras. Kala Tuhan memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini dengan api yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata. Aku dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras berteriak. Aku pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa hujan akan turun selamanya.
Tentu saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling terakhir dan menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di mataku lebih deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk menikmati rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi. Satu hal yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong, berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan berlari lagi.

0 comments:

Post a Comment

 
;