Pagi ini, kamu melabuhkan lagi senyummu bersama langit merah yang
perlahan menampar wajahku dengan dingin dan lembut. Aku tahu, jarak di antara
kita begitu dekat tapi juga jauh; jarak di mana kamu takkan menemukan aku.
Serupa jejalanan lengang di tengah malam yang dibasahi oleh hujan deras,
seperti itulah kamu di dalam dadaku.
Kamu membasahinya begitu deras dengan kehangatan, tapi tetap saja
perasaanku kosong. Pagi ini, aku yang sengaja melupakan tidur demi menikmati
tiap kata-kata yang ingin kukirimkan padamu melalui surat kertas yang kulipat
menjadi pesawat kecil. Pesawat itu hendak kuterbangkan dan mendarat di atas
sampan tempatmu mendayung di atas lautan.
Melihat langit pagi ini, aku teringat warna pipimu saat memalu
kala dulu pernah tidak sengaja kukatakan bahwa malaikat itu bukan makhluk tak
kasatmata yang takbisa dilihat siapa pun. Kamu berlalu dan meninggalkan
pertanyaan di benakku. Apakah saat itu kamu tersenyum dengan ketidasengajaanku
atau kamu justru membencinya?
Karena mulai detik itu, aku membentang jarak padamu seperti yang
kukatakan tadi. Aku mulai belajar bagaimana caranya untuk menunggu, sekalipun
itu selamanya. Karena mencintaimu, aku tidak mengenal detik dan tanggal.
Perasaan itu gugur dan mewujud kata-kata yang kutuliskan padamu hari ini.
Perihal batas yang menjadi dinding di antara kita.
Bagiku, pagi ialah permulaan; seperti kamu yang takpernah tahu
kapan permulaan dari kata ‘kita’ itu datang, karena aku memang takjua mencipta
langkah menujumu. Detik ini, aku masih ingin menikmati senyummu dari kejauhan.
Berdoa semoga ingin tak berubah menjadi angan.
Dan kamu; embun pagi.
Lalu aku hanya perlu bertanya, apa kabar hari ini? Semoga pagimu
begitu menyegarkan. Jikalau nanti pesawatku sampai, semoga kamu mau
membalasnya.
0 comments:
Post a Comment