Di dermaga sepi ini, aku menantimu tanpa detik dan
tanggal. Bertahan di sana sampai kaudatang—meskipun hanya serupa kabut, hati
hanya berharap, suaramu segera menyelusup di telingaku. Percayalah, selain
penantianmu yang sepi itu, aku pun tengah melangkah mendekatimu, meski belum
kutemukan arah yang tepat. Sebab kau berada jauh dari gapai, selalu dan selalu
membuatku berandai; jika kubisikkan seutas rindu, akankah kau mengeja namaku?
Namamu hanya bagian dari semat doa—kala rindu kian
tenggelam. Kau risau tentang jarak—mungkin kau lupa tentang kepantasan, dinding
tak tampak di antara kita. Tunggu, maksudku aku. Yang selalu merasa tak pantas.
Kau selalu saja begitu. Tanpa kau sadari, segala yang ada dalam pikiranmu itu
melambatkan penantian; meremehkan kerinduan. Meski sesungguhnya tidak ada satu
dinding pun yang mampu meleburkan tungguku. Sebab aku tahu, rindu adalah jalan
terbaik untuk menemukanmu. Rindu menguatkanku, sebagaimana kau seharusnya
dikuatkan rindu.
Satu hal yang harus kau ketahui, di sepasang matamu
aku pernah menyematkan rindu. Yang kini tersapu dan memantulkan ketakutan. Iya,
ketakutan perihal ketidak pantasan. Selalu bertanya, apakah aku lelaki yang
tepat untukmu? Barangkali, kita sudah terlalu lama berjauhan dan tak berhasil
menyemat pertemuan. Kau kerap menunggu, sementara aku kerap melangkah tanpa kau
beri arah. Sehingga setiap pertanda selalu kaujadikan alasan untuk menggambar
batas.
Padahal kita, sebaik-baiknya cinta, selalu ada tanpa
perlu lagi kau merasa tak pantas. Bila kita ialah sepasang yang hilang arah,
kita butuh dari sekadar peta untuk bersama. Aku tahu betul di mana aku harus
berdiri—di sampingmu, aku butuh sekadar senyuman sebagai tanda. Dan bergulirnya
detik, senyum itu takpernah berlabuh di mataku. Semuanya mengabut, lalu tiada.
Kau tahu, tentu, perasaan seorang perempuan yang
terlalu malu; terlalu lama menyesap rindu. Sepi dan sendu, sekaligus riuh
bergemuruh. Dan selengkung senyum itu, sesungguhnya telah lama kutautkan di
punggungmu. Ketika kau terlalu mudah menyerah atas segalanya, aku masih percaya
kau memiliki perasaan yang sama. Dan di luas degup dadamu itu, kupercayai
segala arah. Andai saja kau mampu sekali lagi berbalik, menunjukanku cara menanti
yang terbaik.
Aku mencipta imaji; kita sepasang yang asing, tak mengenal
saling. Di sana, aku mengubur asa—melupakan semoga, karena aku tahu di jantung
puisiku, kau telah mati. Bagiku, menunggumu seperti itu. Dan ternyata bila
perasaanku tak bertepuk sebelah tangan, mungkin ini saatnya. Menyandarkan
punggung masing-masing, menujuk muara yang sama—tentang kita.
Sungguh, percayalah sekarang, simpan degupku di
tanganmu; jagalah kita, jagalah setiap asa yang kutaruh di antara
langkah-langkah yang tengah kutempuh. Tetaplah di sana, di tempat pertama kau
menghilangkan detik dan tanggal; di dermaga sepi dengan embus angin yang
sengal. Tidak lama lagi, aku akan tiba untuk menyapa tatap matamu; mengelus
telinga rindumu. Sebab dengan seluruh asa, cinta, renjana, dan doa-doa yang
bergema, akan kutemukan arah paling tepat, untukku memelukmu tanpa terlambat.
Aku selalu percaya pada masa depan. Dan di sana
kutemukan kaulambai padaku—pada tangan yang kelak kutitipkan degup ini. Aku
selalu berdiri di peron kereta ini. Entah itu membutuhkan, hari, bulan, tahun,
atau bahkan selamanya. Sampai kaudatang—taklagi hilang. Padamu, aku ingin
membangun rumah. Selamanya aku ingin singgah, melupakan kata pulang. Terima
kasih sudah membuatku yakin, bor. Aku mencintaimu dengan sederhana; menunggu
tanpa jeda, bertahan tanpa perpisahan.