Friday, September 28, 2018 0 comments

Bila Sudah Seperti Ini, Aku Bisa Apa?


Aku sempat ingin berhenti menuliskan perjalanan pencarianku untuk menemukanmu. Kamu mungkin tidak pernah tahu betapa sulitnya berjalan, berlari, atau bahkan memacu langkah tanpa istilah hanya untuk mengejar sebuah kekosongan untukku. Kamu mungkin tidak pernah tahu bahwa mendengarmu baik-baik saja sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Mungkin kamu tidak pernah tahu semua itu karena kita memang belum ditakdirkan bersama.
“Pengecut,” katamu.
Dan aku hanya bisa tersenyum getir dan diam. Acapkali aku memaki tanpa suara di keheningan malam. Di antara senyap dan dingin yang merengkuh tubuhku. Rindu ini semakin kejam. Menikamku dari belakang dengan ingatan-ingatan tentangmu yang berkelindan lebih sering dari sebelumnya.
Saturday, September 22, 2018 0 comments

Selamanya, Aku Ingin Singgah


Di dermaga sepi ini, aku menantimu tanpa detik dan tanggal. Bertahan di sana sampai kaudatang—meskipun hanya serupa kabut, hati hanya berharap, suaramu segera menyelusup di telingaku. Percayalah, selain penantianmu yang sepi itu, aku pun tengah melangkah mendekatimu, meski belum kutemukan arah yang tepat. Sebab kau berada jauh dari gapai, selalu dan selalu membuatku berandai; jika kubisikkan seutas rindu, akankah kau mengeja namaku?
Namamu hanya bagian dari semat doa—kala rindu kian tenggelam. Kau risau tentang jarak—mungkin kau lupa tentang kepantasan, dinding tak tampak di antara kita. Tunggu, maksudku aku. Yang selalu merasa tak pantas. Kau selalu saja begitu. Tanpa kau sadari, segala yang ada dalam pikiranmu itu melambatkan penantian; meremehkan kerinduan. Meski sesungguhnya tidak ada satu dinding pun yang mampu meleburkan tungguku. Sebab aku tahu, rindu adalah jalan terbaik untuk menemukanmu. Rindu menguatkanku, sebagaimana kau seharusnya dikuatkan rindu.
Satu hal yang harus kau ketahui, di sepasang matamu aku pernah menyematkan rindu. Yang kini tersapu dan memantulkan ketakutan. Iya, ketakutan perihal ketidak pantasan. Selalu bertanya, apakah aku lelaki yang tepat untukmu? Barangkali, kita sudah terlalu lama berjauhan dan tak berhasil menyemat pertemuan. Kau kerap menunggu, sementara aku kerap melangkah tanpa kau beri arah. Sehingga setiap pertanda selalu kaujadikan alasan untuk menggambar batas.
Padahal kita, sebaik-baiknya cinta, selalu ada tanpa perlu lagi kau merasa tak pantas. Bila kita ialah sepasang yang hilang arah, kita butuh dari sekadar peta untuk bersama. Aku tahu betul di mana aku harus berdiri—di sampingmu, aku butuh sekadar senyuman sebagai tanda. Dan bergulirnya detik, senyum itu takpernah berlabuh di mataku. Semuanya mengabut, lalu tiada.
Kau tahu, tentu, perasaan seorang perempuan yang terlalu malu; terlalu lama menyesap rindu. Sepi dan sendu, sekaligus riuh bergemuruh. Dan selengkung senyum itu, sesungguhnya telah lama kutautkan di punggungmu. Ketika kau terlalu mudah menyerah atas segalanya, aku masih percaya kau memiliki perasaan yang sama. Dan di luas degup dadamu itu, kupercayai segala arah. Andai saja kau mampu sekali lagi berbalik, menunjukanku cara menanti yang terbaik.
Aku mencipta imaji; kita sepasang yang asing, tak mengenal saling. Di sana, aku mengubur asa—melupakan semoga, karena aku tahu di jantung puisiku, kau telah mati. Bagiku, menunggumu seperti itu. Dan ternyata bila perasaanku tak bertepuk sebelah tangan, mungkin ini saatnya. Menyandarkan punggung masing-masing, menujuk muara yang sama—tentang kita.
Sungguh, percayalah sekarang, simpan degupku di tanganmu; jagalah kita, jagalah setiap asa yang kutaruh di antara langkah-langkah yang tengah kutempuh. Tetaplah di sana, di tempat pertama kau menghilangkan detik dan tanggal; di dermaga sepi dengan embus angin yang sengal. Tidak lama lagi, aku akan tiba untuk menyapa tatap matamu; mengelus telinga rindumu. Sebab dengan seluruh asa, cinta, renjana, dan doa-doa yang bergema, akan kutemukan arah paling tepat, untukku memelukmu tanpa terlambat.
Aku selalu percaya pada masa depan. Dan di sana kutemukan kaulambai padaku—pada tangan yang kelak kutitipkan degup ini. Aku selalu berdiri di peron kereta ini. Entah itu membutuhkan, hari, bulan, tahun, atau bahkan selamanya. Sampai kaudatang—taklagi hilang. Padamu, aku ingin membangun rumah. Selamanya aku ingin singgah, melupakan kata pulang. Terima kasih sudah membuatku yakin, bor. Aku mencintaimu dengan sederhana; menunggu tanpa jeda, bertahan tanpa perpisahan.
Friday, September 14, 2018 0 comments

Patah Tanpa Alasan


Aku masih di sini, kekasih. Patah tanpa alasan. Menunggu keraguan hilang dari kepalaku—sampai waktu terus menderas bagai hujan dan masih saja kau enggan memberi jawaban. Aku harus pergi. Aku tidak sedang meragu, kekasih. Aku hanya tak ingin suatu saat nanti salah satu dari kita patah tak termaafkan. Sedang aku memberi harga mahal tentang sebuah penantian. Meski begitu, langkah mu pergi bukan lah yang aku harapkan.
Kita pernah menjadi sepasang bahagia yang lahir di dada masing-masing. Detik yang kian gulir sementara takdir mulai menautkan rasa. Ketika itu aku sadar, padamu aku merajut masa depan. Meski diantara kita ada manusia yang menjadi tembok penghalang dari hubungan ini. Di tengah perjalanan penantian aku menyadari, ? Entah siapa pemicunya, aku atau kamu yang mencipta bahagia. Namun kian hari yang terasa malah saling yang ku rasa asing. Aku hanya takut, hubungan ini di antara kita suatu saat kukut.
Seharusnya jangan kaubiarkan ketakutan memelukmu. Ia hanya datang untuk melahirkan ragu, memberi kita jarak sebagai spasi pemisah. Keterasingan itu ada karena kita mulai hilang arah. Bila padamu, taklagi ada aku di hati, itu satu alasan kuat aku harus pergi. Jika langkah mu membawa mu pergi jauh, lantas aku tak ada lagi cara untuk merengkuh mu kembali. Jika kita berpikir hubungan ini harus dituntaskan, biarkan perasaan kita yang dipersatukan. Namun biarkan waktu yang memberi jawaban, agar tulus yang jadi alasan.
Friday, September 7, 2018 0 comments

Meskipun Kamu Tidak Tahu


            Di suatu stasiun, aku menemukanmu terduduk di salah satu bangku sendirian. Air matamu mengalir deras, meriakkan pilu yang alur dengan lembut di sana. Tanpa suara, aku tahu kamu sedang menangis. Padahal hujan sedang tidak turun sore ini. Tiada siapa pun di sini. Hanya aku dan kamu. Meski sepasang rel kereta api menjadi jarak di antara kita.
Kamu, dengan gerimis yang menggenangi wajahmu. Tanpa bicara, angin memberi tahu bahwa kamu baru saja melepas pergi kekasihmu. Melepas semua bahagia yang pernah kamu rajut bersamanya. Bahagia yang dulu juga kurasakan ketika melepaskanmu. Pada akhirnya, kamu juga merasakan apa yang kurasakan, kan?
 
;