Thursday, October 25, 2018 0 comments

Aku Yang Gagal Mempertahankan Mu


Cinta membuat kita 
Mengerti, ada bahagia
Sebelum patah hati.

Aku tengah mengaduk sesak sembari mengiris senja di pelantaran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyummu yang dulu biasa kini tiada. Menggantung hebat penasaran yang terbias tenggelamnya kehadiran, kini adamy hanya bisa tergambar oleh mimpi dan lamunan. Rona jingga pun menyingkap langit, waktu memukulku seraya membisikkan kenyataan pahit,  bahwa . . . 

     Kau mencintainya.
     Kau bahagia dengannya.

Padamu kepergian, inikah sepenggal rasa dibebunyian sangkakala. Langit mementahkan gemuruh, ketiadaanmu membuatku semakin rapuh. Langkahpun melupakan pijakan, harapku tertatih di makan penyesalan. Merayap tanpa ampun mengunci segala embun. Pagi tak akan pernah cerah tanpa ucapan pemulai harimu, dan malam tak pernah anggun tanpa bisikan lembut dari bibir mungilmu.

Aku merindukanmu bagai hujan yang merindukan pelangi, iya menyebar indah menyelimuti bumi dengan aku satu-satunya cahaya yang berpendar menjadikannya warna. Sebelum akhirnya aku terhentak, secuil kangen yang terbalas pun tidak, itu karna. . .

    Kau mencintainya.
    Kau bahagia dengannya.

Thursday, October 18, 2018 0 comments

Ketidak Sengajaan


Dadaku begitu riuh. Di antara keramaian meja di food court sebuah pusat perbelanjaan, mataku tiba-tiba sampai di wajahmu. Gadis berkacamata dengan ponsel abu-abu di tangan. Caramu bertopang dagu dan memakai jilbab, sungguh menarik perhatianku yang tak menemukan fokusnya sedari tadi. Kamu duduk sendirian entah menunggui siapa. 
Tatapan matamu yang teduh, putih kulitmu, dengan sweter birumu mengingatkanku pada seseorang di kota hujan yang (pernah) ditunggui selama dua tahun. Kedatangnmu kala kota ini—bukan kota hujan—disergap oleh rinai-rinai yang berjatuhan dari atas langit membuatku sadar bahwa dalam tetiap perjalanan ada saja efek kejut yang bisa muncul kapan saja.
Thursday, October 11, 2018 0 comments

Sampai Suatu Titik


Sampai suatu titik, aku sadar jalan yang kulalui ternyata tak berujung. Kupikir, ketika dulu memutuskan untuk berhenti dan menemukan jalan baru, adalah cara untuk melepaskan semua beban di kepala dan dada. Di jalan itu aku menemukanmu.
“Kamu yang kucari selama ini” adalah panggilanku untukmu: orang-orang yang barangkali adalah penampung tulang rusukku yang hilang. Tepat satu setengah tahun lalu, aku memutuskan untuk memulai perjalanan pencarian pertama kali dan tak terasa sampailah aku di sini.
Di titik ini, aku beristirahat sejenak. Rerumputan hijau terhampar luas di sekelilingku. Angin menampar lembut wajahku. Udara segar mulai memeluk tubuhku. Rasa lelah terusir tanpa permisi. Pertanyaan mulai hadir di benakku:
            Benarkah jalan ini yang harus kulalui? Benarkah di suatu titik di depan sana, aku akan menemukanmu?
Thursday, October 4, 2018 0 comments

SEPUCUK PERPISAHAN


 
Abor, kutitipkan sepucuk kabar masa depan di jendela rumahmu—berita yang kutahu akan mencabik dadamu. Tapi, inilah waktu dan takdir. Kita hanya harus menjalaninya saja. Terhelak kutahan napasku dalamdalam, menyembunyikan perasaan pedih meradang lalu kusembunyikan bulir itu seraya mengucapkan selamat telah menemukan seseorang selain aku untuk menyempurnakan hidupmu.
Kamu takperlu berpura-pura bahagia; ada masa lalu yang pernah menyemat kata "kita". Segala yang rantas ketika keraguan yang ada hanya menunjukkan sebuah jalan—tanpamu di dalamnya. "Kita", kata yang tak alpa kusemogakan dalam munajat agar aku dan kamu bersatu, bersisian dalam kebaikan, namun hari ini harapan itu luluh lantak berbias perjuanganku untuk meyakinkan keraguanmu.
 
;