Andai, aku bisa mengerti semua yang kamu rasakan. Merasakan air
mata dari celung matamu yang mulai menghitam. Andai, aku bisa mengerti bahwa
alasanmu menjauh hanyalah karena kamu terlalu takut kita akan menemui kegagalan
yang sama ketika mulai saling menautkan perasaan lagi.
Kita pernah punya masa lalu. Sekelumit waktu di mana kita saling
memendam tanpa pengungkapan. Sekelumit waktu di mana kamu memutuskan untuk
mengatakannya saat jarak sudah yakin untuk memisahkan. Kita sudah terlalu jauh
untuk bicara. Dan sekarang, aku memberimu kesempatan kedua.
Kamu tahu? Aku percaya, jika seseorang memang ditakdirkan
mengarungi samudra bersama, apa pun yang akan terjadi, sampan itu selalu
tersedia untuk mereka di bibir dermaga. Tapi nyatanya, kamu lebih percaya pada
ketakutanmu sendiri daripada perasaanmu. Kamu menghindar dan bilang ingin
pergi. Sekerasnya kuteriakkan bahwa aku sudah memulai perjalanan kembali dan
berharap kamu bisa menjadi bagian dari itu. Kamu diam saja.
Andai, aku bisa mengerti ketakutanmu itu. Merasakan penderitaan
kala tetiap perasaan yang dipendam berbalik arah dan menyerang diri sendiri
dari dalam. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku hanya ingin bisa mengerti semua
yang kamu rasakan dalam hidupmu. Sayangnya, kamu tak mengizinkanku untuk
menapaki jalan yang sama denganmu.
Aku pernah menunggu sangat lama. Diam-diam. Aku pernah menautkan
perasaan. Dalam-dalam. Aku tahu seperti apa rasanya menunggu tahun demi tahun
hanya untuk memastikan di akhir bahwa ternyata semua itu sia-sia. Aku pernah
berteman dengan Hujan. Tahu seperti apa rasanya ada teman yang menemani saat
hati rasanya ingin patah berkeping. Mungkin benar, yang kamu butuhkan adalah
teman untuk menepis rasa takut itu.
Mungkin benar ... yang kamu butuhkan itu Dia ....