"Pada akhirnya kita menyerah pada kata pergi."
Pergi. Satu kata yang harus kuselipkan di antara guguran kenangan
kita. Sepertinya kita sudah taklagi menapak di jalan yang sama-yang dulu kamu
senang berada di sana. Pergi katamu? Bukankah kamu dulu pernah berjanji untuk
selalu bersama denganku? Bukankah kamu sendiri yang pernah bilang untuk selalu
berpegangan tangan satu sama lain meskipun kita sedang berada di jalan yang
berbeda?
Waktu telah mengubah segalanya-kamu taklagi sama seperti seseorang
yang kucintai. Maaf, bila janji itu taklangsai, kupikir kamu hanya sekadar
menggenggam tanganku saja, tetapi tak menghangatkannya. Bukankah sendiri itu
dingin? Ya, aku merasa sendiri denganmu. Bagaimana bisa aku menghangatkan
tanganmu jika untuk menggenggam tanganmu saja aku harus berlari mengejarmu?
Tidak sadarkah kamu bahwa aku sedang mengejar mimpiku juga? Seharusnya kamu
pelankan langkah kakimu agar aku bisa tetap mengimbangimu. Tetapi
sekarang? It’s too late.
Langkah kakiku tidak pernah berubah-mungkin semesta yang membuatmu
lelah dan berpikir aku yang berlari-tidak, aku pergi. Kata cukup bukan lagi
menjadi harap yang kamu cari di hidupku. Kamu ingin lebih-aku letih. Teruskan
saja menyalahkan orang lain, semesta, waktu tetapi bukan dirimu. Aku sudah
lelah menjadi pihak yang selalu salah untukmu. Lebih baik aku berhenti
melangkah denganmu di sini, karena sepertinya, aku tidak akan pernah menjadi
‘cukup’ untukmu. Meskipun sudah terlalu banyak hal yang sudah pernah kita
lewati.
Apa pun yang kita katakan-semuanya hanya akan memantul kembali.
Jatuh di antara kebersikerasan masing-masing. Mungkin, sakit yang singgah di
hatimu oleh kepergianku meninggalkan luka-tapi sungguh, bila kamu mau melihat
kembali ke masa silam, kamu akan tahu siapa yang paling terluka. Terserah, aku
sudah tidak lagi peduli dengan siapa yang paling terluka, siapa yang tidak.
Kita berdua sama-sama terluka dan sekarang-kita tidak bisa lagi saling
mengobati. Pergilah jika memang dengan pergi, kamu bisa terobati. Biarkan aku
sendiri dengan lukaku ini.
Mungkin ini takdir kita, jatuh di persimpangan jalan; perasaan
tercerai berai. Luka ialah muara yang lahir di perjalanan kita-perjalanan yang
telah usai. Aku pergi untuk usir dari rasa dingin ini-rasa yang takbisa kamu
hangatkan lagi. Maaf untuk segalanya; untuk perpisahan ini.
0 comments:
Post a Comment