Perihal menunggu, aku yang paling tahu.
Langit saja sudah jemu menyaksikan kebodohanku yang terus meyakini sebuah
kalimat darimu. “Tunggu aku,” katamu beberapa waktu lalu. Kala itu, aku hanya
mengangguk setuju. Namun, ternyata menunggumu tak pernah semudah yang
kubayangkan. Aku harus menunggumu, yang sedang berbagi rasa dengan sosok lain
di sisimu. Sungguh, aku meragu pada apa yang bentang di hadapan kebersamaan
kita-pada masa depan yang direncanakan. Menunggu menjadi jalan terbaik-sampai
kupikir, kita tidak bisa berada di jalan yang sama lagi. Tidak denganmu.
Siapakah yang paling tahu tentang masa
depan? Baik aku maupun kau, tak ada yang bisa menentukan. Hidup ini seperti
uang logam. Satu sisi adalah masa depan yang kuyakini–kebersamaan, sedangkan
satu sisi lain adalah masa depan yang kauyakini–perpisahan. Kita hanya perlu
menunggu tangan semesta melemparkan uang logam itu dan melihat sisi mana yang
akan muncul dan menjadi kenyataan.
Aku percaya, bahwa tanpamu segalanya akan
baik-baik saja; tak melahirkan luka. Tetapi, ketika detik kian gulir, luka itu
pun lahir-di dadaku. Ada yang berbeda, jalan ini taklagi sama dan kepalaku
mengingat satu nama: kamu. Namun, entahlah. Aku belum begitu yakin.
Berwaktu-waktu aku meyakini bahwa kau akan
kembali. Suatu hari nanti, pasti. Adakalanya aku ingin berhenti karena kau
terlihat berbahagia dan tak mengingatku barang sekali. Mungkin kau sudah lupa
ada aku di sini. Sesekali, aku ingin melihat ke arah yang berbeda, kepada sosok
selainmu–yang selalu kutunggu. Aku juga ingin bahagia sepertimu–dengan sosok
yang baru.
Lalu mengapa tak kau cari saja seseorang
sebagai penggantiku di hatimu? Barangkali, menunggu ialah perkataan bodoh yang
pernah kuucapkan-membangun dinding untuk langkah majumu. Lupa? Entahlah, aku
hanya terlalu percaya bahwa di jalan yang berbeda denganmu, aku menemukan
diriku. Coba tanya sendiri pada hatimu. Sudah relakah kau melihatku mencintai
sosok lain seperti aku mencintaimu? Apakah kau bisa sepertiku; mencintai
seseorang yang tak membalasnya? Kau taklagi utuh, tidak dengan seseorang yang
membersamaimu sekarang. Meskipun aku melangkah, meninggalkan apa yang selama
ini aku yakini, aku tahu sosok baru takmampu membuatku utuh lagi.
Di sana tubuhku membeku-suatu waktu, aku
sadar bahwa pelabuhan rasaku ini bukanlah pada seseorang yang kucintai saat
ini. Bahwa rasaku masih mengembara, mencari tempat bersemayam. Dan angin
menunjukkannya jalan pulang-hatimu. Tetapi, benarkah itu? Masih ada setitik
keraguan. Tentang masa depan itu.
Apakah artinya setitik ragu di antara
lautan masa depan yang membentang? Aku tidak menjanjikan apa-apa, tetapi kau
tahu sendiri seperti apa cinta yang selama ini tinggal di hatiku tanpa pernah
sekelebat cahaya pun pergi. Aku telah menunggu lama–bukan lagi hitungan bulan.
Sedikit banyak, aku mulai bosan. Mungkin sosok baru bisa saja lebih
menjanjikan.
Dan sungguh, penantianmu membuka mataku
bahwa perasaan abadi ialah yang tumbuh dan menguat bersama waktu. Dan, itu
kamu. Yang selalu percaya denganku, meskipun aku tidak pernah menyadari bahwa
kamu ternyata pelabuhan yang kucari selama ini. Bila begitu, maukah kamu
menunggu satu kali lagi? Sehingga, aku bisa menemukan jalan pulang-padamu.
Menunggumu sekali lagi? Tidakkah selama
ini cukup? Aku sebenarnya tak yakin, tetapi hingga waktu yang entah kapan, aku
tahu kaulah seseorang yang akan menemaniku berjalan. Bahkan, jika aku mampu
hidup seribu tahun lagi dan kau memintaku menunggu seribu kali lagi, kautahu
jawabanku–aku akan selalu menunggumu.
0 comments:
Post a Comment