Sejak
kita kecil, peran kita di dalam keluarga sepertinya sudah disuratkan oleh
takdir. Laki-laki bekerja mencari nafkah. Perempuan di rumah mengurus rumah
tangga dan membesarkan anak. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa kodrat
laki-laki dan perempuan demikian adanya. Kadang-kadang jawaban yang diberikan
tampak begitu mudah dan masuk akal: laki-laki fisiknya lebih kuat, oleh
karenanya ia lebih cocok bekerja di luar, sedangkan perempuan itu lemah lembut
dan lebih cocok bekerja di dalam rumah.
Namun
jawaban dangkal ini dapat dengan mudah dipatahkan. Sudah banyak kita temui
perempuan pemberani yang kemampuan fisiknya tidak kalah dengan laki-laki. Sebut
saja Cut Nyak Dien sebagai satu contoh. Namun tidak perlu jauh-jauh. Di sekitar
kita dengan mudah bisa kita temui perempuan-perempuan – dari kelas buruh, tani,
dan miskin kota –yang tegar dan kuat, yang harus membanting tulang untuk sesuap
nasi seperti laki-laki, dan kekuatan fisik dan semangat mereka tidak kalah.
Hanya perempuan borjuis saja, yang sejak lahir bergelimpangan susu dan madu,
yang tampil sebagai makhluk yang lemah.
Kapitalisme
mengharuskan dilemparkannya jutaan buruh ke dalam pabrik-pabrik, tidak pandang
bulu jenis kelamin karena motif kapitalisme hanya satu: memeras keringat untuk
laba. Dalam situasi ini, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam pabrik.
Selain itu, kemajuan teknologi membuat kerja di pabrik semakin mudah sehingga
bisa dilakukan oleh siapapun, baik perempuan maupun laki-laki, bahkan anak
kecil sekalipun.