Thursday, April 25, 2019 0 comments

Pekerjaan Domestik(Rumah Tangga), Membelenggu Perempuan?



Sejak kita kecil, peran kita di dalam keluarga sepertinya sudah disuratkan oleh takdir. Laki-laki bekerja mencari nafkah. Perempuan di rumah mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa kodrat laki-laki dan perempuan demikian adanya. Kadang-kadang jawaban yang diberikan tampak begitu mudah dan masuk akal: laki-laki fisiknya lebih kuat, oleh karenanya ia lebih cocok bekerja di luar, sedangkan perempuan itu lemah lembut dan lebih cocok bekerja di dalam rumah.
Namun jawaban dangkal ini dapat dengan mudah dipatahkan. Sudah banyak kita temui perempuan pemberani yang kemampuan fisiknya tidak kalah dengan laki-laki. Sebut saja Cut Nyak Dien sebagai satu contoh. Namun tidak perlu jauh-jauh. Di sekitar kita dengan mudah bisa kita temui perempuan-perempuan – dari kelas buruh, tani, dan miskin kota –yang tegar dan kuat, yang harus membanting tulang untuk sesuap nasi seperti laki-laki, dan kekuatan fisik dan semangat mereka tidak kalah. Hanya perempuan borjuis saja, yang sejak lahir bergelimpangan susu dan madu, yang tampil sebagai makhluk yang lemah.
Kapitalisme mengharuskan dilemparkannya jutaan buruh ke dalam pabrik-pabrik, tidak pandang bulu jenis kelamin karena motif kapitalisme hanya satu: memeras keringat untuk laba. Dalam situasi ini, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam pabrik. Selain itu, kemajuan teknologi membuat kerja di pabrik semakin mudah sehingga bisa dilakukan oleh siapapun, baik perempuan maupun laki-laki, bahkan anak kecil sekalipun.
Thursday, April 18, 2019 0 comments

Kontra-revolusi 1965 dan Kehancuran Gerakan Perempuan



Dalam cita-cita penumbangan kapitalisme dan pendirian negara buruh, kekuatan politik perempuan punya tempat yang tidak bisa diremehkan. Banyak revolusi dan peristiwa-peristiwa besar terjadi karena campur tangan mereka. Lenin sendiri mengatakan bahwa gerakan perempuan adalah fundamental bagi setiap keberhasilan revolusi proletar. Untuk itulah gerakan proletar tidak bisa tidak harus menyatu dengan gerakan pembebasan perempuan. Keduanya berdiri saling menyokong. Maka dari itu kelas penguasa paham bahwa kekuatan politik perempuan menjadi tiang penting yang harus dihancurkan berikut dengan ideologinya.
Demikian juga dengan peristiwa 30 September dan hari-hari setelahnya di awal tahun 1966. Penumpasan terhadap 3 juta orang, yang terdiri dari anggota, simpatisan dan leader-leader Partai Komunis Indonesia dilakukan secara sistematis. Dengan meminjam tangan-tangan sipil, pembantaian ini dibuat nampak seperti perang sipil. Yang baik melawan yang jahat. Yang beragama melawan kelompok (yang dituduh) anti-tuhan. Begitulah. Tak cukup dengan membunuh, pembalikan sejarah pun dibutuhkan untuk membangun fondasi Orde Baru. Orde ketakutan.
Dalam konteks Indonesia, peristiwa yang cocok kita sebut sebagai Genosida itu tidak melewatkan organisasi perempuan untuk dihancurleburkan, baik secara fisik maupun secara ideologis. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang diindikasikan dekat dengan PKI dan mempunyai 1,5 juta anggota itu ikut ditumpas. Tidak hanya dengan penyiksaan, pembunuhan dan perbuatan keji lainnya, tetapi juga dengan serangkaian fitnah, bahwa Gerwani adalah kumpulan perempuan-perempuan bermoral bejat, liberal dalam tradisi, dan terutama ikut barisan pendukung pembunuhan tujuh jenderal. Tidak mengejutkan bahwa kelompok kontra-revolusioner dapat menggunakan cara apapun, bahkan yang paling bengis sekalipun.
Monday, April 15, 2019 0 comments

Kebaikan Lawan Kebatilan Adalah Milik Dongeng, Bukan Pemilu


JOKOWI, malam itu, jauh dari citra orator yang piawai. Kata-katanya berat—dibebani oleh idiom-idiom teknis tak terelaborasi. Pesannya tak terbingkai dalam narasi yang ringkas dan mengena. Manajemen paralinguistiknya terbatas. Intonasinya nyaris-nyaris datar—kian mempersulit pendengarnya mencerap pokok pikirannya. Saya pernah mendengar Jokowi berartikulasi dengan lebih baik. Malam itu, ditonton oleh segenap pesaing politiknya dan sebagian besar warga Indonesia, ia terdengar buruk.
Namun, bagi Ardi, kawan saya di Dusun Parigi, Seram Utara, segenap keruwetan Jokowi barusan tak kasat mata.
Saya bersama Ardi sepanjang hari. Sepanjang hari itu juga, ia berulang kali memutar debat capres keempat di telepon genggamnya. Ia mengajak, memaksa tepatnya, teman-temannya turut menontonnya dan hanya berhenti ketika jaringan 4G lenyap selama beberapa jam di dusun. Saya tak tahu apakah teman-temannya menikmatinya. Ardi, yang pasti, menikmatinya. Sangat menikmatinya.
“Ih, Jokowi ini sadis!” tunjuknya menggebu-gebu kepada bapak angkat saya. “Prabowo su [sudah] marah-marah, antua [Jokowi] tetap tenang saja!”
Thursday, April 11, 2019 0 comments

Relasi Penindasan Buruh oleh Majikan dan Negara Hari Ini



Berbicara mengenai buruh haruslah diawali dengan logika relasi yang terjadi antara buruh dan majikan. Dalam relasi buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif terhadap majikan. Hal ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan ekonomi yang selanjutnya memunculkan ketidakseimbangan dalam kekuasaan politik.
Secara sosiologis buruh bukanlah sebuah kelas yang bebas. Buruh tidak memiliki alat-alat produksi, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya buruh hanya bisa menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi (majikan). Dan selanjutnya, majikanlah yang bebas menentukan syarat-syarat kerja.
Di bawah kondisi-kondisi material kapitalisme hari ini, buruh dieksploitasi oleh pengusaha dengan alasan tunggal, yakni profit. Dan untuk maksimalisasi profit, korelasi langsung dengan pemotongan biaya produksi akan terjadi. Oleh karena itu, majikan akan berusaha terus untuk meningkatkan produktifitas buruh dengan membuatnya bekerja lebih keras dan lebih lama untuk memacu pendapatan sang pengusaha. Begitulah logikanya.
Eksploitasi dan penindasan adalah fakta sosiologis dalam masyarakat kapitalis. Ini adalah kenyataan yang akan terus terjadi selama sistem belum berganti. Karena dalam masyarakat kapitalis, proletariat, atau kaum buruh, tidak memiliki akses ke sarana produksi mereka sendiri. Ini artinya tidak ada pilihan lain bagi buruh kecuali menyerahkan hidupnya untuk memperkaya sang pengusaha hanya untuk kelangsungan hidupnya. Kenyataan yang sungguh tragis.
Wednesday, April 3, 2019 0 comments

Perempuan dalam Revolusi




Bagi kaum Marxis, akar masalah dari segala bentuk penindasan terdiri dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas. Tapi penindasan dapat mengambil banyak bentuk. Di samping penindasan kelas, kita menemukan penindasan satu bangsa di atas yang lain, penindasan rasial, dan penindasan terhadap perempuan.
Perkembangan industrialisasi abad 17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan keluarga. Dulu kala, sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian masyarakat kelas, perempuan dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada kerja rumah tangga dan berkutat di dalamnya.
Memasuki epos kapitalisme yang barbar ini, “kodrat” perempuan yang semula berkisar antara kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lengkap beserta kerja domestiknya, saat ini perannya mulai diperluas untuk menempati barak-barak pabrik, berjejer menjadi cadangan tenaga kerja,  bekerja sebagai buruh upahan meski upahnya tidak lebih tinggi daripada laki-laki meskipun porsi kerjanya bisa dibilang sama. Dalam logika kapitalisme, pada saat yang sama ini mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengungkung mereka dalam batasan keluarga tradisional, yakni bertugas menyiapkan buruh-buruh yang prima, generasi penerus yang menjadi cadangan tenaga murah di masa depan.
 
;