Hong Kong tengah memasuki situasi bergejolak. RUU
Ekstradisi yang tengah digodok oleh pemerintah dikecam keras oleh rakyat.
Kecaman ini mewujud dalam barisan ratusan ribu orang yang turun ke jalan-jalan
guna menentang RUU ini. Dalam sepekan terakhir setidaknya terjadi tiga
demonstrasi dalam jumlah massa yang kian membesar mencapai jutaan orang.
Demonstrasi ini bahkan diklaim sebagai aksi terbesar dalam sejarah Hong Kong,
yang bahkan lebih besar dari ‘gerakan payung’ 2014 lalu.
Isi RUU Ekstradisi ini mengatur agar siapapun yang
ditengarai sebagai penjahat dapat diekstradisi ke daratan Tiongkok. Meski tidak
mencakup pembangkang politik, namun mengingat pemerintah Tiongkok yang bisa
secara bebas menculik warga Hong Kong dimanapun mereka suka, RUU ini
memungkinkan rejim Tiongkok bergerak lebih lancar lagi dalam menangkapi
aktivis-aktivis yang kritis terhadapnya di bawah label ‘penjahat’. Tidak sulit
untuk membayangkan Tiongkok akan menemukan cara untuk membersihkan lawan-lawan
politiknya di Hong Kong dan menyeret mereka ke pengadilan sebagai ‘penjahat’.
Salah satu orang yang mungkin akan terimbas akibat
RUU Ekstradisi ini adalah Han Dongfang, salah seorang pemimpin Federasi Pekerja
Otonomi Beijing dalam protes Lapangan Tiananmen. Dia sekarang mengelola Buletin
Buruh Tiongkok dari Hong Kong, sebuah situs web yang mendokumentasikan
penindasan terhadap buruh Tiongkok dan berbagai berita pemogokan di daratan
Tiongkok. Selain itu ada banyak sekali sosialis dan revolusioner Tiongkok yang
juga berlindung di Hong Kong, termasuk di antaranya para aktivis kiri yang
mulai berkembang sejak pemogokan gerakan payung 5 tahun lalu.
Alasan umum mengapa para demonstran ini begitu
kuat dalam melawan RUU Ekstradisi ini karena mereka benar-benar cemas akan masa
depan mereka. Mereka dihadapkan dengan ancaman kehilangan hak untuk berpendapat
dan berorganisasi. Mereka tidak dapat membayangkan bagaimana otoriternya rezim
Beijing terhadap warga Hong Kong. Mereka khawatir dikirim ke penjara atau
dideportasi ke negara lain hanya karena menerbitkan postingan di facebook.
Inilah sebabnya kenapa protes ini sangat besar dan militan.
Memang Hong Kong punya keistimewaan tersendiri.
Selama 99 tahun mulai dari 1898 sampai Juni 1997, Hong Kong menjadi koloni
Inggris. Dengan adanya normalisasi hubungan antara Tiongkok dan Inggris, pada
tahun 1984 kedua negara ini sepakat untuk membuat deklarasi bersama
pengembalian Hong Kong ke Tiongkok dengan syarat Tiongkok tetap mempertahankan
sistem ekonomi dan politiknya.
Sejak saat itu pemerintah pusat di Beijing dan
Hong Kong merumuskan hukum-hukum dasar yang akan berlaku segera setelah Inggris
mengembalikan Hong Kong ke Tiongkok. Deng Xiaoping mengusulkan konsep ‘satu
negara dua sistem’ yang memungkinkan Hong Kong memiliki regulasi berbeda,
semacam wilayah dengan administrasi khusus. Ini adalah bentuk kompromi
pemerintahan Tiongkok kala itu guna membuat Hong Kong kembali.
Tahun 1997 Hong Kong pun kembali ke pangkuan
Tiongkok tapi memiliki pemerintahan sendiri yang semi independen. Mereka
mengatur segala urusan sosial politik mereka sendiri dengan tata hukum yang
dibuat sendiri tanpa campur tangan Tiongkok. Hong Kong punya pemerintahan
eksekutif, legislatif dan juga sistem hukum yang mandiri.
ni berarti bila RUU Ekstradisi ini lolos maka
tidak ada keraguan Tiongkok sedang berusaha untuk menghancurkan
semi-kemandirian Hong Kong dan dengan demikian mengintervensi ke ranah
internal. RUU ini tidak hanya akan membungkam semua kritik yang ditujukan pada
rezim Tiongkok tapi juga melanggar kesepakatan ‘satu negara, dua sistem’ yang
masih berlaku hingga 2047. Hal ini dikonfirmasi dengan pembangunan stasiun
kereta api baru-baru ini di Hong Kong, di mana untuk pertama kalinya, petugas
polisi Tiongkok ditempatkan di sana. Lewat undang-undang baru juga diatur bahwa
siapapun yang melakukan penghinaan pada lagu Kebangsaan Tiongkok maka diganjar
dengan 3 tahun penjara.
Langkah Xi Jinping ini dapat dimengerti. Sebagai
kepala negara Tiongkok, dia sedang mempersiapkan rejim ini untuk menghadapi
krisis keuangan dan ekonomi yang mungkin datang di hari depan, yang niscaya
akan memperbesar intensitas perjuangan kelas. Dengan semakin besarnya jurang
antara yang kaya dan yang miskin di Tiongkok, letusan politik dan sosial yang
besar sedang dipersiapkan. Oleh karenanya aparatus-aparatus negara berupaya
untuk meredam gerakan rakyat sedang menguat. Hong Kong selama ini jadi semacam
suaka bagi para kritikus rejim kediktatoran Tiongkok, dan kenyataan ini tidak bisa
lagi ditolerir oleh Xi Jinping.
Tentunya semua peristiwa ini tidak lepas dari
gejolak internasional yang menyebar seperti wabah. Pertama, krisis kapitalisme
global yang belum menemukan akhirnya. Kedua, kemungkinan meningkatnya perang
datang antara Amerika-Tiongkok. Secara umum rezim Tiongkok tidak bisa
mengharapkan kalau perdamaian dan kesejahteraan relatif yang didapat kelas
buruh Tiongkok selama 30 tahun terakhir akan bertahan lama. Rezim Tiongkok
paham Hong Kong berada di titik yang rentan. Sebelum semua peristiwa yang
diprediksi di hari depan datang, mereka perlu meningkatkan kontrol mereka atas
wilayah itu.
Radikalisasi Kaum Muda
Dalam demonstrasi menolak RUU Ekstradisi ini kita
saksikan radikalisasi di antara kaum muda sedang tumbuh. Gerakan kaum muda ini
terus tumbuh sejak 2014, ketika kaum muda menyerbu gedung pemerintah Hong Kong
dan menuntut pemilu yang bebas sepenuhnya. Nama-nama seperti Joshua Wong,
Nathan Law dan Agnes Chow adalah kaum muda yang terdorong ke depan oleh
jalannya peristiwa. Tiga tahun lalu mereka mendirikan Demosisto, sebuah partai
yang platform politiknya adalah “menggalakkan hak penentuan nasib sendiri dan
demokrasi”. Meski masih terbilang muda, tapi Partai ini cukup memainkan peran
dalam mengorganisir massa demonstran dalam aksi sepekan terakhir ini.
Usaha untuk menyerbu kantor dewan legislatif
membuktikan tingkat radikalisasi lapisan-lapisan warga Hong Kong, terutama kaum
muda dan mahasiswa. Menyerbu pusat kekuatan politik Hong Kong adalah tindakan
sulit dan berbahaya. Para demonstran ini berkelahi dengan para polisi. Mereka
juga dipukuli dan disemprot dengan cairan merica. Polisi bahkan mulai
menembakkan peluru karet agar demonstran tidak mendekat ke area kantor dewan.
Lebih dari 20 korban dilarikan ke rumah sakit, beberapa diantaranya bahkan
terkena tembakan di bagian kepala dan rongga mata. Polisi tidak hanya
menangkapi demonstran yang ada di jalan-jalan, tapi juga di rumah sakit.
Kemarahan publik semakin meningkat seiring dengan
kebrutalan polisi dalam menangkap dan menahan demonstran. Ada lautan
tanda-tanda protes di jalan-jalan, mulai dari spanduk kecil dalam jumlah banyak
sampai spanduk besar, yang bertuliskan “Lawan polisi jahat, lindungi para
siswa”, “Biarkan Hong Kong tetap menjadi Hong Hong” dan lain-lain. Lagu-lagu
perjuangan menggema ke seluruh penjuru kota dan memantul dari gedung-gedung
tinggi di sekitarnya saat gelapnya hari mulai datang. Ini membuat demonstran
merasa mempunyai ikatan dan perasaan yang sama dalam perjuangan mereka.
Peristiwa ini adalah pertunjukan luar biasa dari
kekuatan politik akar rumput di sebuah kota di mana penduduk tidak dapat
memilih pemimpin mereka tetapi mereka bebas untuk turun ke jalan untuk mengecam
mereka. Demonstrasi yang awalnya hanya menuntut agar RUU Ekstradisi dicabut,
kini telah berkembang menjadi tuntutan agar Carrie Lam mengundurkan diri.
Bahkan tidak menutup kemungkinan akan muncul tuntutan untuk menentukan hak
nasib sendiri, di mana embrio untuk ini sudah ada sebelumnya.
idak hanya mahasiswa, para pelajar dan kaum muda,
tetapi demonstrasi ini telah menarik berbagai lapisan masyarakat yang
sebelumnya pasif.
“Sebelum minggu ini saya belum pernah melakukan
protes,” ujar Lau, 28 tahun. “Tapi saya seorang guru, dan saya menyadari jika
saya tidak datang saya tidak akan bisa menghadapi murid-murid saya. Ini adalah
masa depan mereka.” Seperti banyak orang lain, dia merasa terkejut oleh
penangkapan aktivis dan ia ingin berada di antara murid-muridnya.
Para demonstran yang lebih tua mengatakan meskipun
mereka takut Hong Kong menghadapi krisis paling serius dalam hidup mereka,
mereka telah menemukan harapan dalam barisan demonstran muda. Wu yang berusia
75 tahun berbaris bersandingan dengan demonstran lain mengatakan, “Saya sangat
terdorong oleh orang-orang muda. Jika hanya kita [generasi yang lebih tua] kota
itu akan selesai. Saya adalah seorang pengungsi. Saya melarikan diri dari
Tiongkok ketika ada kelaparan, dan saya melihat orang-orang di sana ditembak.
Saya tidak mempercayai Partai Komunis Tiongkok.”
Dalam demonstrasi ini kita juga melihat perubahan
kualitas yang terjadi. Bila di masa lalu sentimen anti-Tiongkok di Hong Kong
cenderung anti-komunis dan rasis – dimana orang dari daratan Tiongkok kerap
dianggap wabah -- bila tidak secara eksplisit pro kapitalis, kini ada perubahan
mendasar yang terjadi. Sentimen terbelakang seperti itu tidak terlihat.
Kelompok sayap kanan reaksioner yang umumnya mendasarkan diri mereka pada
sentimen rasis anti-Tiongkok dan anti-komunis tidak dapat ikut campur dalam
gerakan kali ini, seperti yang mereka lakukan dalam gerakan payung. Ini
disebabkan sebagian karena pertikaian di antara mereka sendiri dan juga karena
massa jelas lebih tertarik pada perjuangan kelas daripada xenophobia.
elain itu bisa kita lihat dari beranda website
Demosisto tertulis slogan “kami mendorong otonomi politik dan ekonomi dari
penindasan Partai Komunis Tiongkok dan hegemoni kapitalis”. Ini tentu
mencerminkan perubahan yang sedang terjadi di daratan Tiongkok dan Hong Kong
dalam 22 tahun terakhir. Mood massa demonstran sungguh militan dan ada pada
level lebih tinggi dibanding gerakan payung 2014 lalu.
Pada hari yang sama dengan demo di Hong Kong, di
Taiwan pun terjadi demo besar. Ini adalah demo solidaritas bagi Hong Kong.
Lebih dari 10 ribu pemuda Taiwan berkumpul di sekitar kantor Legislatif Yuan
menggunakan dresscode warna hitam guna mendukung Hong Kong. Pada hari-hari
sebelumnya ada pertemuan spontan di daerah lain di wilayah Taiwan. Salah satu
contoh penting adalah di tanggal 14 Juni, ketika seorang mahasiswa dari
Universitas Nasional Taiwan di Taipei, meminta mahasiswa untuk berkumpul
menunjukkan solidaritas mereka terhadap kawan-kawannya di Hong Kong. Dalam
setengah jam ada 500 orang siswa datang ke rapat umum tersebut.
Serikat pekerja pramugara/pramugari yang saat ini
memimpin pemogokan signifikan terhadap EVA Air juga telah mengeluarkan petisi
solidaritas yang ditanda tangani oleh 46 serikat pekerja dan organisasi juga
individu. Petisi ini tidak hanya menyatakan solidaritas dengan massa Hong Kong,
tetapi juga mengkritik pemerintah Taiwan dan Hong Kong karena melemahkan
kemampuan kelas pekerja untuk membela diri dengan tidak memberikan hak untuk
mogok politik.
Di Hong Kong seruan untuk pemogokan umum juga
dikeluarkan terutama oleh Demosisto. Namun seperti yang terjadi di seluruh
dunia, para pemimpin serikat buruh tidak memenuhi tugas ini. Konfederasi
serikat pekerja Hong Kong telah secara pasif mendukung permintaan tersebut,
tapi tampaknya tidak memahami apa esensi dari mogok yang sebenarnya. Mereka
mengajukan hari libur kepada para majikan guna berpartisipasi dalam mogok!
Meski demikian beberapa pekerja tampaknya mengambil inisiatif sendiri. Sebagai
contoh guru-guru sekolah juga dosen di universitas mulai mengkoordinasi ruang
kelas terbuka dan bebas guna mengantisipasi kemungkinan okupasi di hari-hari
berikutnya.
Apa yang harus dikerjakan?
Meski massa demonstran kini telah berhasil memaksa
Carrie Lam mengambil langkah menunda pengesahan RUU tersebut, namun masih
diperkirakan RUU ini tetap akan disahkan. Ini membutuhkan energi massa yang
lebih besar guna mempersiapkan pemogokan umum.
Demosisto sebagai salah satu organiser perlu
menyerukan pemogokan umum dan menarik solidaritas dari berbagai lapisan,
terutama dari serikat-serikat pekerja baik di dalam Hong Kong maupun di
Tiongkok, Taiwan dan sekitarnya. Semua persiapan konkret pemogokan umum ini
harus dilakukan guna mendesak Hong Kong dan juga pemerintahan di Beijing.
Tugas lain dari persiapan pemogokan ini adalah
terus memerangi dan menentang nasionalisme dan persepsi bahwa penduduk daratan
Tiongkok adalah musuh. Prasangka anti-daratan atau anti-Tiongkok harus dikikis.
Gerakan harus mendasarkan dirinya pada kelas pekerja. Mereka perlu melangkah
lebih jauh dari ini dan memahami bahwa pada akhirnya, untuk berhasil, mereka
membutuhkan dukungan aktif dari kelas pekerja Tiongkok. Ini berarti meningkatkan
prospek perjuangan kelas di Hong Kong, dan secara sadar menyebar perjuangan ini
ke luar perbatasan dan mulai mempengaruhi kelas pekerja di daratan Tiongkok.
Persatuan kelas buruh Hong Kong dan Tiongkok akan jadi kekuatan besar yang
mampu memukul Xi Jinping dan pemerintahannya.
0 comments:
Post a Comment