Saat
ini, kita hidup di era Revolusi Industri Keempat (Klaus Schwab, The Fourth
Industrial Revolution(2017)). Era yang diwarnai oleh kecerdasan buatan
(artificial intelligence), era super komputer, rekayasa genetika, teknologi
nano, mobil otomatis, inovasi, dan perubahan yang terjadi dalam kecepatan
eksponensial yang akan mengakibatkan dampak terhadap ekonomi, industri,
pemerintahan, politik, bahkan membuka perdebatan atas definisi manusia itu
sendiri.Era yang menegaskan dunia sebagai kampung global (Marshall McLuhan, The
Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962)).
Kini,
banjir informasi yang telah diprediksi menemukan bentuknya (Alvin
Toffler, Future Shock (1970)). Karena kecanggihan teknologi, setiap orang kini
bisa berpartisipasi dalam perdebatan apa
itu disruption, menjadi venture capitalist, atau
penggagas start-up company. Oleh teknologi kita semakin mudah melihat
kesenjangan ekonomi, kebangkitan neo-konservatisme, serta bagaimana Tiongkok
perlahan bangun dari tidur panjangnya menjelma menjadi negara adidaya. Beragam
topik silih berganti muncul mendominasi ruang publik sehingga kita mengenal
istilah trending topic (bagi pengguna sosial media).
Di
tingkat pengambil keputusan, secara kategorial terdapat beberapa bidang yang
lebih menonjol menjadi pokok pembicaraan dibanding beberapa topik lainnya.
Topik lingkungan dengan isu pemanasan global yang sempat mendominasi pada
dekade 90-an dan awal dekade abad 21 kini tidak menjadi perhatian dunia.
Demikian juga isu kesehatan, khususnya AIDS dan kanker, yang mulai dilupakan
karena kemajuan teknologi kesehatan. Isu baru yang muncul dan menjadi ramai
diperbincangkan adalah bagaimana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) mengubah wajah dunia dan persoalan kependudukan seperti pengungsi,
kelaparan, dan konflik horiziontal. Kedua isu ini menjadi pendamping isu
politik dan ekonomi yang senantiasa akan langgeng sepanjang peradaban.
Revolusi Industri 4.0
Soal
IPTEK, khususnya teknologi internet, mendominasi setelah dekade pertama abad
ini sempat memberikan sentimen negatif akibat bubbling perusahaan IT
yang mendorong hancurnya pasar modal dunia pada tahun 2002. Tragedi yang selalu
diingat dunia dan diberi nama dot-com bubble, merupakan buah dari harapan
berlebihan atas peningkatkan teknologi internet dan penggunaannya. Beberapa
perusahaan yang bergerak di bidang internet seperti WorldCom, AOL, eToys.com,
Webvan, Pseudo.com, Tiscali, theGlobe.com, dan lain-lain, jatuh ke jurang
kebangkrutan. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah pelopor di dunia digital
seperti perdangangan vitual (e-commerce), portal berita, sosial media, maupun
jasa provider yang kita kenal kini dengan perusahaan raksasa seperti amazon,
facebook, youtube, google, spotify, dan lain-lain.
Peristiwa dot-com
bubble seperti mengulang peristiwa pembangunan kabel trans-atlantik yang
disponsori oleh Cyrus West Field pada era 1860-an. Dari perspektif
kapitalisme, baik dot-com bubblemaupun Cyrus West Field, menjadi korban
sendiri dari keinginan untuk menikmati untung sebesar-besarnya pada pasar baru
(new market). Pada era 1800-an, London dan New York adalah jantung kapitalisme
dunia, namun belum tersambung melalui telegraf. Menghubungkan kedua kota
tersebut akan meningkatkan perdagangan dan berakhir dengan keuntungan berlipat
ganda.
Proyeksi
pada keuntungan yang besar membuat lupa bahwa teknologi belum siap untuk
mendukung ide tersebut. Bila, Cyrus West Field bangkrut dan meninggal dalam
kemiskinan karena teknologi kabel yang digunakan untuk menyambungkan daratan
Amerika (New Foundland) hingga Irlandia Utara tidak mampu mengatasi ekstrimnya
Samudera Atlantik dan tingkat kepanasan akibat transmisi gelombang yang
disalurkan melalui kabel. Maka, di 2002, perusahaan dot.com gagal
memenuhi janjinya memberikan keuntungan kepada para pemegang saham seperti yang
digembar-gemborkan dalam proyeksi karena jumlah pelanggan internet, jumlah
transaksi melalui internet (e-commerce), maupun pengguna harian internet tidak
seperti yang diharapkan. Hal tersebut, juga disebabkan teknologi yang masih
mahal, belum bersifat jinjing (portabel), maupun kecepatan yang terbatas,
sehingga membatasi kapasitas ekonominya.
Seiring
dengan kemajuan teknologi fiber-optik, prosesor, pita lebar, maupun
gawai/perangkat, booming internet menuju puncak. Bahkan dimana puncak
tertingginya belum bisa diperkirakan. Berdasarkan publikasi yang
diterbitkan oleh International Telecommunications Union (ITU) pada
tahun 2013 saja, dari 7,1 miliar penduduk dunia sebanyak 39 persen (sekitar 2,8
miliar) menggunakan internet. Bahkan, akses terhadap internet telah dijadikan
beberapa negara, seperti Finlandia, sebagai hak dasar mengikuti resolusi
PBB pada tahun 2016.
Paradoks Dunia
Kita
telah menyaksikan dampak positif dari perkembangan teknologi informasi seperti
revolusi musim semi arab, solidaritas dunia atas bencana tsunami Aceh maupun
Jepang. Kemajuan teknologi kesehatan menurunkan biaya operasi jantung,
transplantasi organ, maupun pengobatan menggunakan sel punca (stem cell). Di
sisi lain, dampak negatif kemajuan teknologi terjadi hampir di seluruh dunia
tanpa memandang siapa yang menjadi pelakunya. Amerika Serikat sebagai negara
adidaya tunggal telah memanfaatkan teknologi drone untuk melakukan
pengeboman di Afganistan, Libya, Irak, dan Syria, yang tidak sedikit
mengakibatkan korban sipil. Di negara sendiripun, dengan sistim super komputer
yang dimilikinya, negara masuk hingga ruang privat rakyatnya yang kemudian
dibocorkan oleh Edward Snowden ke publik. Selain negara, organisasi radikal
seperti Al qaeda dan ISIS menggunakan teknologi informasi untuk melakukan
perekrutan, perencanaan, juga propaganda seperti ekseskusi tanpa peri
kemanusiaan.
Revolusi
keempat sebagai kelanjutan dari penemuan komputer dan teknologi digital yang
dimulai pada era 50-an ternyata tidak membuat penyelesaian masalah dunia
menjadi lebih mudah. Dengan sistim komputerasi, kepintaran buatan, arus
informasi yang lebih cepat, analisa data yang lebih baik dibantu oleh algoritma
tingkat lanjutan, tidak membuat kita bebas dari masalah klasik seperti
kelaparan, eksploitasi negara maju terhadap negara berkembang, akses kesehatan
yang rendah, soal pengungsi, terutama menjadikan dunia tempat yang aman bagi
semua umat manusia.
Kemajuan
teknologi bahkan menjadikan masalah klasik tersebut sebagai bumbu
menumbuhkan segregasi (pemisah). Hal ini terlihat dari implikasi war on
terror yang digagas George Bush Jr sebagai jawaban atas peristiwa menara
kembar. Efek yang timbul dari war on terror mampu dioptimalkan target
Amerika, yakni Al qaeda dan ISIS, yang juga menggunakan teknologi informasi.
Selain ajang propaganda, Al qaeda dan ISIS, menggunakan teknologi infromasi
(seperti media sosial) untuk melakukan perekrutan lone wolf. Lone
wolf inilah yang kemudian beraksi seperti pemboman di Boston (2013),
penembakan di Paris (2015), peristiwa penabrakan truk ke pengunjung pasar Natal
di Berlin (2016), penikaman di London (2017), dan beragam peristiwa lainnya.
Aksi ini menjadi bensin bagi api neo-konservatisme di Amerika dan Eropa yang
sebenarnya telah dikumandangkan oleh George Bush Jr sejak awal war on
terror. Hari Ini kita melihat dua neo-konservatisme saling berhadapan.
Paradoks
yang paling memilukan adalah kasus pengungsi yang terjadi sejak tahun 2015.
Berdasarkan laporan UNHCR (http://bit.ly/1YkKspr),
tercatat 65,6 juta orang harus terusir dari rumahnya sendiri. Kemah-kemah
pengungsian di Darfur menampung hingga 1 juta orang. Lebih dari 2 juta orang
menyambung nyawa agar bisa memasuki negara-negara Eropa. Banyak diantara mereka
yang harus berakhir di dinginnya Laut Tengah (dan Selat Gibraltar). Di Asia
Tenggara, sejak 2017, lebih dari 600 ribu orang Rohingya harus terkatung-katung
karena di Myanmar mereka mengalami pengusiran sistemik bahkan sering berakhir
pada pembunuhan. Sementara Bangladesh, negara tujuan terdekat dan diyakini
sebagai asal muasalnya, tidak mengakui mereka sebagai warga. Kendati tidak ada
perang dunia, jumlah pengungsi saat ini merupakan yang terbesar sejak Perang
Dunia II.
Di
tengah kemajuan teknologi, kita menyaksikan bahwa negara-negara abai,
lumpuh,dan hilang rasa kemanusiaan terhadap mereka. Amerika yang memulai perang
di Afganistan, Libya, atau Suriah yang menjadi sumber pengungsi terbanyak
merasakan manfaat atas letak geografisnya. Tidak ikut menanggung krisis ini.
Melalui kemajuan teknologi kita menyaksikan bahwa pemimpin-pemimpin dunia
saling berdebat namun nir-solusi. Teknologi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk
menyelesaian masalah paling mendasar seperti ketersediaan air bersih, fasilitas
sanitasi, menghitung kebutuhan pangan dan sandang serta mencari sumber bahan
pokok dari daerah yang surplus untuk kebutuhan mereka. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut seharusnya bisa segera dikirimkan kepada mereka. Logikanya,
apabila drone, yang dioperasikan dari Pentagon yang berjarak ribuan
kilometer, bisa membawa bom hingga 2 ton dan beroperasi di Pegunungan Hindush
di Afganistan, mengapa tidak bisa mengirimkan bahan pokok ke Darfur?
Persoalan Kependudukan
Berdasarkan
prediksi yang paling sahih, pada akhir 2017, populasi bumi telah mencapai 7,5
miliar jiwa (http://bit.ly/2gHveyg).
Sejak Robert Malthus menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk seperti deret ukur
sementara pertumbuhan bahan makanan seperti deret hitung, telah muncul
perdebatan apakah Bumi sanggup menopang populasinya? Pertanyaan itu telah
dijawab oleh beberapa ahli seperti Amartya Sen, peraih nobel ekonomi, yang
menyatakan penyebab kelaparan adalah hambatan politik dan tata ekonomi. Bukan
karena dunia kekurangan bahan makanan (Hunger In The Contemporary World, 1997).
Sementara,
persoalan pertumbuhan penduduk bumi yang tidak terkontrol paling tidak dapat
diatasi dengan program kontrasepsi. Setelah mengalami pertumbuhan 2,5 persen
pada dekade 1960-an, beberapa dekade terakhir pertumbuhan secara global pada
kisaran 1 persen saja. Pertambahan penduduk bumi di sisi lain disumbang oleh
majunya ilmu kesehatan. Penemuan vaksin, penurunan tingkat kematian bayi, serta
meningkatnya tingkat harapan hidup membuat penduduk bumi semakin padat.
Dalam
hal kependudukan, tantangan terbesar pada era revolusi keempat adalah
peningkatan kualitas hidup warga negara. Sekalipun semua negara telah setuju
dengan Millenium Development Goals(MDGs), namun hampir tiga perempat
negara belum mampu keluar dari persoalan penyediaan air bersih, akses pada
kesehatan, asupan minimal kalori, malnutrisi, listrik, termasuk akses pada
pendidikan. Tanpa adanya pekerjaan yang layak, seseorang tidak akan mampu
mengakses kebutuhan dasar tersebut karena seluruhnya telah mengalami
komersialisasi melalui sistim pasar.
Seperti
kita tahu, dampak dari revolusi industri keempat salah satunya adalah
otomatisasi dan berkurangnya jumlah tenaga kerja manusia dalam produksi.
Seperti dicatat oleh Klaus Schwab, Industri IT di Lembah Silicon tahun 2014
menghasilkan pendapatan sebesar AS$1,09 triliun hanya mempekerjakan 137,000
orang. Sementara tahun 1990an, Detroit yang menjadi pusat tiga perusahaan
otomotif besar dunia mempekerjaan sepuluh kali lebih banyak untuk menghasilkan
pendapatan yang sama (Scwab 2017, op.cit. hal 10).
Oleh karena itu, bonus
demografi yang diagung-agungkan sebagai salah satu modal bagi sebuah negara
untuk memutar ekonominya harus dipikir secara matang. Ancaman pengangguran,
gesekan sosial, peningkatan angka kriminilitas, serta kemarahan sosial menjadi
risiko melekat bagi setiap negara. Mengantisipasi akses negatif ini, beberapa
negara di Eropa seperti Jerman mulai memikirkan cara mengantisipasinya. Jerman
mulai membahas kebijakan pemberian tunjangan pendapatan minimum (Mein
Grundeinkommen) sebesar AS$1.100 (http://bit.ly/1s4c7GS dan http://bit.ly/1sbdseQ).
Tantangan Indonesia
Di
Indonesia sendiri, kehadiran Revolusi Industri Keempat muncul kepermukaan dan
menyentak kesadaran publik saat terjadi pertarungan kepentingan antara taksi
konvensional versus taksi online pada tahun 2016. Kendati sebelumnya telah ada
sinyal bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari dampak dari revolusi ini. 2011,
Grup Djarum melalui PT Global Digital Prima melakukan kerja sama strategis
bernilai ratusan miliar bersama Kaskus, sebuah situs perdangangan terbesar di
Indonesia (http://bit.ly/2HqNJPV).
Beberapa bulan sebelumnya, portal berita detik.com dibeli oleh Grup
Para milik Taipan Chairul Tanjung seharga Rp540 miliar.
Dampak
kehadiran revolusi ini dapat dilihat melaui Aksi 212 ketika jutaan umat islam
melakukan demonstasi dipersatukan isu penistaan agama (http://bit.ly/2of7jGh). Lebih kurang selama
satu bulan sebelum aksi puncak, terjadi perdebatan, sosialisasi, maupun pengorganisasian
lewat media sosial. Kita menyaksikan bagaimana teknologi menunjukkan kuasanya,
bahkan mendorong, bahwa pengkategorian secara sosilogis atas islam
santri-abangan mulai tidak relevan lagi pada era ini. Yang tak kalah
mengejutkan adalah pergeseran persepsi masyarakat terhadap Front Pembela Islam.
Berdasarkan penelitian Arie Setyaningrum Pamungkas dan Gita Octaviani, gerakan
ini memunculkan suatu potensi ancaman pada trandisi demokrasi Indonesia karena
berbasis tribalisme, dimana nasionalisme diterjemahkan secara “sempit” menjadi
nasionalisme yang didasari oleh pemusatan identitas etnis dan keagamaan (http://bit.ly/2BAmp1h).
Melalui
dua peristiwa ini, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia sepenuhnya
telah berada dalam Revolusi Industri Keempat hingga relung terdalam? Bila kita
menelisik data-data, penetrasinya belum sepenuhnya menyentuh semua relung
kehidupan dan tidak merata. Dari kompilasi beragam data kita melihat bahwa
pengguna internet sebanyak 84 juta (33 persen, 2014), sekitar 50 juta penduduk
belum menikmati listrik (20 persen, 2014), penduduk miskin masih mencapai 26,58
juta orang (2017), belum lagi angka rasio gini (kesenjangan) semakin melebar
dari tahun ke tahun. Hal itu diperparah bahwa 49,3 perekonomian dikuasai oleh 1
persen penduduk kaya saja. Tidak menakjubkan apalagi Indonesia menduduki
peringkat ke-4 negara paling senjang di dunia.
Dengan
demografi Indonesia yang terdiri dari 66,5 persen berada di usia produktif
(15-64 tahun) dan tinggal di Pulau Jawa sebanyak 61 persen, maka kita rentan
mengalami akses negatif dari revolusi industri ini. Digitaliasi, otomatisasi,
dan terjadinya perubahan produksi, distribusi (perdagangan), membuat kesempatan
kerja semakin menyempit. Bukan saja kita berisiko mengalami peningkatan angka
kriminalitas, tapi bahkan ke risiko yang lebih besar seperti konflik horizontal
yang mengarah pada pecahnya NKRI. Sekali lagi, menjadi pertanyaan
apakah bonus demografi itu benar-benar keuntungan?
Dari
data kependidikan penduduk Indonesia, Berdasarkan hasil SP 2010, persentase
penduduk 5 tahun ke atas berpendidikan minimal tamat SMP/Sederajat sebesar
40,93 persen. Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi masih 31,75
persen (Tahun 2017). Ini menunjukkan kualitas SDM menurut tingkat pendidikan
formalnya relatif masih rendah. Padahal, tingkat pendidikan memberikan
kontribusi penting agar mampu menjawab tuntutan jaman yang multi dimensional.
Tantangan
Indonesia kedepan adalah bagaimana pengambil kebijakan (khususnya pemerintah)
mampu meramu kebijakan yang bisa mengangkat harkat hidup mayoritas warganya di
tengah perkembangan teknologi dengan mempertimbangkan aspek demografi dan juga
tingkat pendidikan yang mayoritas masih rendah. Rasa-rasanya, pembangunan yang
berlandaskan agregat ekonomi hanya membuat yang kaya semakin kaya.
Solusi Klasik
Ketika
Soekarno menyampaikan pidato di Sidang Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30
September 1960 yang berjudul Membangun Dunia Kembali (To Build The
World A New), dia mengangkat beberapa poin penting guna mewujudkan dunia yang
lebih baik. Optimalisasi peran PBB, kenyataan bahwa dunia saling
terhubung, penggunaan prinsip-prinsip penyelesaian persoalan sesuai dengan
prinsip yang digariskan PBB dengan tidak menempuh jalan kekerasan, merdeka dari
penjajahan, dan pelucutan senjata (http://bit.ly/2CulUCD).
Dua
dekade terakhir kita menjadi saksi bagaimana himbauan yang disampaikan 58 tahun
lalu itu seperti suara profetik (nubuat). Mengingatkan dunia bahwa universalisme,
humanisme, dan egaliterisme bangsa-bangsa bisa terancam masa mendatang. Ancaman
itu kini nyata: sebagai salah satu anggota istimewa PBB, Amerika-dan
sekutunya-justru memaksakan agendanya ke seluruh dunia melalui aksi sepihak
(unilateral). Menghentikan tindakan Amerika melanggar kedaulatan negara lain
saja PBB tidak sanggup, apalagi mengatasi akses yang timbul seperti pengungsi,
mencegah korban sipil, kerusakan ekonomi, maupun kehancuran kota-kota akibat
perang. Sekalipun Tiongkok sebagai kekuatan baru muncul yang hingga kini
dianggap masih mendorong optimalisasi peran PBB secara positif, namun layaknya
kekuatan baru, Tiongkok berhitung dengan cermat atas peran yang dijalankannya.
Negara-negara
seperti kebingungan menjawab perkembangan jaman. Jangankan untuk menaati
prinsip saling menghormati kedaulatan politik maupun teritorial, ia tidak mampu
menjawab persoalan yang diakibatkan perkembangan teknologi. Alih-alih
bersepakat menemukan cara menanganikekuatan kapitalisme agar menggunakan
perkembangan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia, justru negara kalah
terhadap kekuatan kapitalisme baru ini. Kita melihat bahwa para venture
capitalist seperti google mencurangi kewajiban perpajakan
disemua negara.
Bagaimana
aplikasi online jasa angkutan seperti gojek, uber, maupun grab, mengangkangi
Undang-Undang Transaportasi. Ide sharing asset yang dimoneterisasi
lewat perkembangan teknologi mendapat legitimasi ditengah kebutuhan akan
pekerjaan dan tarif yang lebih murah. Kendati studi, misalnya studi Annette Bernhardt
dari University of California-Berkeley, menegaskan bahwa sistim ini sangat
merugikan pemilik aset seperti kendaraan karena posisi tawar yang rendah (http://bit.ly/2C4pasQ).
Kita
masih berada di awal revolusi. Kita tidak tahu ke arah mana dunia bergerak
sepenuhnya. Akankah para venture capitalist akan sama seperti
perusahaan multi nasional (MNCs) di era sebelumnya yang menundukkan negara di
bawah kuku kekuasaannya. Atau venture capitalist ini bahkan lebih
buas dari MNCs? Karena beberapa gagasan yang biasanya ditangani negara, kini
mereka mulai masuki seperti misi mengirimkan manusia ke luar angkasa. Dengan
beberapa pertanda jaman ini, apakah pemimpin-pemimpin negara dunia akan membiarkan
kekalahan serupa kepada modal? Syarat mutlak yang diperlukan semua
pemimpin-pemimpin negara, pendapat bahwa kita hidup di bumi yang sama belum
usang. Kita harus menemukan kesadaran dan semangat yang sama bahwa tantangan
saat ini tidak bersifat teritorial lagi.
0 comments:
Post a Comment