SEPERTI banyak antropolog lainnya, saya menjadi
manusia yang berbeda di lapangan. Saya lebih tabah, meski tak setabah hujan
bulan Juni. Saya lebih tekun berpikiran positif. Saya lebih perhatian. Saya, pokoknya,
mempunyai kepribadian seorang lelaki dan milenial idaman saat berada di sana.
Suatu malam, peristiwa ini terjadi kepada saya.
“Mas, Mas orang mana?” tanya seorang lelaki.
Lelaki tersebut awalnya menghampiri saya yang tengah
duduk dan menonton pesta. Usianya barangkali di kisaran 20-an akhir dan 30-an
awal. Tubuhnya tinggi. Saya tak pernah melihatnya di dusun sebelumnya. Tanpa
berbicara sepatah kata pun, ia sekonyong-konyong menyandarkan tubuhnya yang
bongsor ke pundak saya.
Malam itu, dusun menggelar pesta perkawinan. Sambutan,
makan-makan, kesempatan foto-foto—segala basa-basi pesta—sudah lewat. Pesta
kini tengah bergulir di klimaksnya—joget. Musik akan membahana sampai kira-kira
jam empat pagi. Warga menggoyangkan badannya di lantai joget berpasang-pasangan.
Orang-orang yang tak ikut bergoyang akan berkerumun dengan teman-temannya di
tepi atau menenggak sopi bersama mereka di pojokan tak terlihat.