Thursday, July 25, 2019 0 comments

Semua Akan Dwifungsi pada Waktunya



SEPERTI banyak antropolog lainnya, saya menjadi manusia yang berbeda di lapangan. Saya lebih tabah, meski tak setabah hujan bulan Juni. Saya lebih tekun berpikiran positif. Saya lebih perhatian. Saya, pokoknya, mempunyai kepribadian seorang lelaki dan milenial idaman saat berada di sana.
Suatu malam, peristiwa ini terjadi kepada saya.
“Mas, Mas orang mana?” tanya seorang lelaki.
Lelaki tersebut awalnya menghampiri saya yang tengah duduk dan menonton pesta. Usianya barangkali di kisaran 20-an akhir dan 30-an awal. Tubuhnya tinggi. Saya tak pernah melihatnya di dusun sebelumnya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia sekonyong-konyong menyandarkan tubuhnya yang bongsor ke pundak saya.
Malam itu, dusun menggelar pesta perkawinan. Sambutan, makan-makan, kesempatan foto-foto—segala basa-basi pesta—sudah lewat. Pesta kini tengah bergulir di klimaksnya—joget. Musik akan membahana sampai kira-kira jam empat pagi. Warga menggoyangkan badannya di lantai joget berpasang-pasangan. Orang-orang yang tak ikut bergoyang akan berkerumun dengan teman-temannya di tepi atau menenggak sopi bersama mereka di pojokan tak terlihat.
Wednesday, July 17, 2019 0 comments

Kita Menjadi Hamlet di Negeri Sendiri



“KITA bagaikan Hamlet dalam lakon Shakespeare di negeri sendiri,” kata Jim Garrison, seorang jaksa di negara bagian Louisiana, AS, yang pada akhir 1960-an sempat tenar setelah memperkarakan pengusaha lokal yang dituding berkomplot dalam pembunuhan John F. Kennedy.
“Anak-anak yatim yang pembunuh orang tuanya tetap bertahta”.
Kata-kata ini barangkali tak pernah meluncur dari mulut Jim Garrison yang sungguhan, alih-alih dari monolog menggetarkan selama belasan menit dari karakter Jim Garrison yang diperankan Kevin Costner dalam film kontroversial garapan Oliver Stone JFK (1991).
Peristiwa pembunuhan John F. Kennedy di Dallas pada penghujung 1963, jadi salah satu peristiwa besar sepanjang abad lalu. Bersama itu, muncul cerita-cerita ngeri-ngeri sedap yang menjurus pada kemungkinan “persekongkolan tak kasat mata”. Versi resmi dari Komisi Warren menyahihkan Lee Harvey Oswald, yang keburu mati ditembak dua harmal pasca-pembunuhan Jack Kennedy, sebagai penembak tunggal.
Tetapi, sejak purnama pertama setelah kejadian hingga hari ini, menurut jajak pendapat Gallup Poll, lebih dari separoh warga Amerika Serikat mengimani adanya “keterlibatan pihak lain”.
Thursday, July 11, 2019 0 comments

Tuhan Bersemayam Di Gubuknya Si Miskin


TUJUH orang Katolik yang telah meninggal diberikan gelar ‘orang kudus’ (santo/santa) oleh Paus Fransiskus pada 14 Oktober  2018 lalu. Satu di antaranya adalah Oscar Arnulfo Romero, seorang pahlawan pembela kaum tertindas dari El Salvador. Romero, Uskup Agung San Salvador, dipandu oleh cinta yang solider melawan pembunuhan dan penindasan rezim militer, boneka kerajaan kapitalisme global, terhadap masyarakat miskin El Salvador. Akibat terlalu aktif mencintai kaum miskin, proyektil penembak jitu utusan rezim militer membunuhnya setelah memimpin Ekaristi pada 24 Maret 1980.
Menjadi ‘orang kudus’ bukanlah mimpi Romero dan kebanyakan pejuang kaum tertindas yang berpayungkan teologi pembebasan Amerika Latin. Sebab menjadi ‘orang kudus’ selalu merupakan pengkhianatan terhadap Yang Kudus. “Jika aku memberi makan orang-orang miskin, aku disebut ‘orang kudus’, tetapi jika aku mempertanyakan sebab-sebab kemiskinan tersebut, aku akan dicap komunis”, ujar Dom Helder Camara. Ada kemunafikan dalam definisi ‘orang kudus’, terutama dalam soal bagaimana caranya mencintai. Bagaimana caranya mencintai? “La gran emfermedad del mundo de hoy es; no saber amar”, “Penyakit terbesar zaman ini adalah; ketidaktahuan bagaimana cara mencintai”, demikian kata Romero dalam khotbahnya pada 24 Maret 1978. Ia mau menggugat perlahan-lahan dari epistemologi menuju etika mencintai orang-orang beriman. Dengan kata lain, ia mempertanyakan buah iman kepada Tuhan dalam cara mencintai sesama. Apakah mencintai berarti tekun berdoa, hidup saleh, selalu ke Gereja, Masjid, Pura, Vihara, Klenteng? Itulah naifnya cinta.
Tuesday, July 2, 2019 1 comments

Disebuah Caffe Itu


Pagi tidak datang dengan cara yang sama lagi—secangkir kopi hangat cukup meredakan kesendirian yang beku, setelah apa yang terjadi membuatku begitu kelu. Manusia yang tersesat di tubuhku adalah jiwa-jiwa yang mencari pelita. Memasrahkan diri dalam pengharapan, atau terperangkap dalam tanya bisu, atau jawab ambigu. Tak terkecuali seorang pemuda yang tengah menyesap kesepian di pusat jantungku itu. Tunggu, aku tidak pasrah; sepucuk perpisahan mematahkan asa—jadi kepingkeping tiada arti. Pada sepi, aku menyesap sesal dan emosi. Di jantung warung kopi, aku hanya berusaha menemukan diri lagi. Jangan salah paham.
Aku masih ingat senyum tawa yang kau semai di sepenjuru tubuhku, membuatku mual, kadang tergelitik, sebab setiap cikal cinta adalah akar dari arang asa. Dalam bingkai-bingkai rasa di sudut tubuhku tersimpan memori kenangan, yang mengkonversi tawa menjadi luka. Kau dan potongan hatimu--yang kini entah ke mana--turut diabadikan pada salah satu bingkai itu. Mungkin, kaulupa, wahai bangku dan meja plastik yang selalu menyamankan—Tiada yang abadi di dunia ini kecuali luka. Itu yang kini kaulihat di mataku. Itu yang kini hidup di dalam hidupku. Segala telah pudar. Hanya menjadi sekadar.
 
;