Ketika saya terlibat dalam berbagai
demonstrasi buruh tahun 2012 yang menurun dua tahun setelahnya, saya
mendapatkan pengalaman bagaimana pola pasang-surutnya sebuah gerakan. Gerakan
buruh itu memang gagal mencapai tahap selanjutnya karena tekanan penguasa dan
pimpinan-pimpinan serikat buruh yang lebih memilih berkompromi atau menerima
konsesi-konsesi. Gerakan massa besar kemudian beralih dinaungi oleh kelompok
Islam 212 dengan daya mobilisasi maksimal 700 ribu orang ke Jakarta. Jauh
mengungguli mobilisasi buruh ke Jakarta yang hanya 150 ribu orang pada May Day
2012.
Dari segi kualitas, gerakan 212 bukanlah
gerakan demokrasi, justru sebaliknya, adalah gerakan reaksioner yang
membahayakan demokrasi itu sendiri. Sebabnya adalah gagasan-gagasan
konservatisme yang mengatasnamakan agama dan posisi politiknya yang
mengakomodir kembalinya Orde Baru. Meskipun gerakan ini membahayakan demokrasi,
tetapi tetap saja suatu materi pasti memiliki sisi positif, sesedikit apapun
itu. Gerakan ini telah memberikan pengalaman bagi kelas bawah untuk
memobilisasi diri dalam aksi-aksi massa. Sama seperti ketika gerakan buruh
tahun 2012 memberikan pengalaman pemogokan bagi jutaan buruh. Selama ini,
harapan rakyat untuk perubahan tidak mendapatkan salurannya. Tidak juga di
gerakan buruh yang terfragmentasi sedemikian rupa dan oportunisme para pimpinan
serikat besar akibat dukung-mendukung elite politik.
Ketika gerakan Islam ini berkembang di
luar kendali, negara menindasnya, sama seperti negara menindas gerakan buruh
dengan menggunakan kombinasi pendekatan represi dan konsesi. Akhirnya gerakan
ini kembali menurun secara kualitas dan kuantitas terutama setelah penguasa
mampu mencapai konsesi dengan figur-figur mereka. Kelas pekerja dan rakyat
miskin tidak benar-benar menyukai gagasan-gagasan konservatif, tapi memang
karena tidak ada saluran lain, ekspresi perlawanan masuk ke gerakan ini. Saya
kenal aktivis-aktivis yang dulu sangat kiri, kemudian berubah haluan masuk ke
kelompok Islam 212. Mereka sebenarnya ingin perubahan dan melihat ada
kemungkinan itu dengan bergabung ke kelompok itu.
Di Indonesia, kekuatan
progresif-demokratik telah ditindas dengan sangat dahsyat dan dilarang
berkembang sejak 1965. Dipaksa bersaing dengan gerakan Islam yang lebih diizinkan
berkembang, tentu tidak mungkin. Seandainya ada gerakan demokratik-progresif
yang sama besar atau cukup besar untuk menjadi muara bagi kaum muda dan kelas
pekerja, maka mereka pasti akan dengan cepat mendukungnya. Ketika gerakan
mahasiswa meninggi, dukungan berdatangan dari rakyat yang sudah belajar dari
berbagai mobilisasi dan dalam kondisi mengalami berbagai tekanan ekonomi dan
kebebasan akibat kebijakan negara.Dukungan siswa STM adalah cerminan dukungan
dari kelas bawah. Jangan lupa pelajar-pelajar STM adalah mereka yang
dipersiapkan untuk menjadi buruh. Mereka adalah anak-anak muda yang berharap
bisa langsung bekerja di “PT” (pabrik) segera setelah lulus. Hanya sedikit dari
mereka yang mampu untuk masuk ke universitas yang biayanya kian selangit.
Kondisi Kelas
Pekerja
Kelas pekerja sendiri sudah semakin
frustasi karena belakangan ini semakin sulit mendapatkan kenaikan
kesejahteraan, sedangkan di sisi lain, jenis dan biaya kebutuhan hidup semakin
meningkat. Kemampuan membiayai hidup sehari-hari sebagian besar diperoleh dari
utang (kredit), termasuk dari renternir online. Ancaman paling nyata adalah
rencana Revisi UU Ketenagakerjaan yang akan menurunkan tingkat kesejahteraan
buruh tanpa memandang status kerja. Karyawan tetap, kontrak, magang maupun harian
semua akan kena. Apalagi ditambah dengan jika iuran BPJS jadi dinaikkan,
benar-benar memberatkan, khususnya bagi “pekerja mandiri”.
Buruh perlu waspada, meskipun RUU
Ketenagakerjaan tidak masuk Prolegnas, namun nyata UU KPK yang juga tidak masuk
proglegnas bisa direvisi begitu saja dalam waktu 20 menit. Revisi UUK versi
pengusaha akan menjadikan status kerja semakin fleksibel, upah semakin menurun,
pesangon berkurang, tunjangan-tunjangan berkurang, jam kerja bertambah dan
syarat pembangunan serikat dipersulit. Trennya adalah negara hendak menjadikan
persoalan ketenagakerjaan diselesaikan di tingkatan bipartit (dua pihak) antara
buruh dengan pengusaha dengan dalih “kekeluargaan”. Kalau perlu urusan
ketenagakerjaan tak perlu banyak-banyak diatur oleh negara, buruh diminta
berbicara dari hati ke hati dengan pengusaha.
Enak didengar, tapi omong kosong dalam
kenyataan. Posisi buruh sebagai penjual tenaga kerja lebih rendah daripada
pengusaha, sehingga akan ditawar semurah-murahnya oleh pengusaha. Apalagi tingginya
jumlah cadangan tenaga kerja (pengangguran) siap pakai, terutama yang dicetak
oleh sekolah-sekolah kejuruan. Sesama buruh dipaksa bersaing untuk
mempertahankan pekerjaan masing-masing sehingga harus menerima syarat-syarat
upah murah dari pemodal. Inilah liberalisme ekonomi yang sesungguhnya
berbahaya, bukan “kelompok liberal” yang dimaksud oleh gerakan konservatif 212.
Mengandalkan pemogokan umum akan mampu
diorganisir oleh serikat-serikat buruh utama seperti KSPSI dan KSPI sudah tidak
mungkin lagi. Kesempatan memimpin gerakan buruh untuk menjadi sebuah kekuatan
politik pernah datang kepada mereka dalam gerakan buruh tahun 2012-2013, tapi
mereka sia-siakan dengan menjadi pendukung elite dan partai politik pada Pemilu
2014 maupun Pemilu 2019. Beberapa kali seruan pemogokan nasional dari
serikat-serikat ini, tidak mendapatkan sambutan dari kelas pekerja. Bahkan
sekarang mereka justru mencurigai gerakan mahasiswa ditunggangi oleh kelompok
oposisi konservatif yang ingin menurunkan Jokowi.
Potensi Pemogokan
Umum
Gerakan pro demokrasi-progresif di masa
depan bergantung pada kemampuan menggabungkan gerakan kaum
intelektual-mahasiswa dengan kelompok kelas pekerja. Hal ini akan membuka kunci
metode perlawanan yang lebih hebat lagi, sebuah pemogokan umum yang mampu
menggetarkan jantung penguasa dan pemodal berada di belakangnya.
Dari mana kita
memulainya?
Pertama, sejak sekarang sudah harus ada
seruan-seruan untuk melibatkan kelas pekerja dalam aksi-aksi dan melakukan
pemogokan. Meskipun mungkin prakteknya, terutama pemogokan umum, tidak dapat
terjadi dalam waktu dekat, tapi mempopulerkan gagasan ini harus terus
dilakukan. Cepat atau lambat kelas pekerja akan menyambut seruan ini karena
kebutuhan untuk berlawan dengan metode pemogokan lahir secara alamiah dari dalam
gerakan buruh itu sendiri.
Kedua, menjaga ritme mobilisasi agar tetap
besar dan terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan yang cukup bisa diandalkan,
untuk meyakinkan kelas pekerja. Pada dasarnya atmosfer perlawanan yang terjaga
akan mampu meyakinan semua kelompok tertindas untuk bergabung dengan gerakan
ini. Menjaga gerakan membutuhkan organisasi-organisasi yang dikelola dengan
teratur. Demi masa depan gerakan, kita harus mendirikan atau bergabung dengan
organisasi-organisasi progresif untuk menjadi sekolah yang mengasah pemikiran
dan tindakan kita, membela orang-orang yang tidak beruntung dan mengangkat
isu-isu demokrasi. Pendeknya menjadi organisasi yang berusaha membangkitkan
perjuangan kelas pekerja.
Aktivitas berorganisasi dan membangun
gerakan juga akan menghasilkan figur-figur kita sendiri, kepemimpinan dari
kalangan pergerakan. Tidak perlu lagi ada gagasan dan tindakan politik “memilih
yang terbaik dari yang terburuk” apabila kita mampu menghasilkan kepemimpinan
kita sendiri. Ketiga, mempertahankan platform program (tuntutan) demokratik dan
bebas kooptasi dari elite-elite politik. Tuntutan tolak revisi UU KPK, tolak
RKUHP dan sahkan RUU PKS telah menjadi platform bersama gerakan hari ini.
Keistimewaan dari tuntutan menolak RKUHP dan pengesahan RUU PKS terutama,
adalah karena menjadi platform yang mampu membangun demarkasi antara gerakan
demokrasi dengan gerakan kelompok konservatif yang juga hari ini menjadi
oposisi dengan turun ke jalan.
Gerakan demokrasi harus berterima kasih
kepada kelompok feminis yang lantang menyuarakan pengesahan RUU PKS yang tidak
saja untuk mendorong pembebasan masyarakat dari kekerasan seksual, tetapi
tuntutan ini juga yang menjaga dan menegaskan platform gerakan demokrasi. Ancaman
lain datang dari kooptasi elite dan partai politik yang sebelumnya sukses
menghancurkan gerakan buruh. Gerakan 212 juga menurun setelah pimpinan-pimpinan
mereka bisa dikooptasi. Gerakan yang berhasil dikooptasi oleh penguasa tidak
akan dipercayai lagi oleh kelas pekerja.
Tentu tidak ada jaminan semua orang akan
bergandengan tangan dalam konsistensi yang sama, makanya pertarungan di
internal gerakan itu sendiri untuk membersihkan diri dari kooptasi penguasa
adalah tak terhindarkan. Penolakan ketua-ketua BEM untuk bertemu Jokowi di
istana dan lebih memilih pertemuan terbuka yang bisa disaksikan oleh rakyat,
adalah contoh dari menolak kooptasi penguasa. Ketika kelas pekerja siap
melakukan pemogokan biasanya akan ditandai dengan mobilisasi-mobilisasi kelas
buruh di kawasan industri atau daerah tempat kerja. Pemogokan itu sendiri
terjadi jika buruh shift 2 dan buruh shift 3 memobilisasi diri ke
kawasan-kawasan industri pada siang hari dan mampu menyeret bergabungnya buruh
shift 1 yang akan atau sedang bekerja.
Memang terlalu muluk untuk membayangkan
bahwa kita akan mampu melakukan pemogokan umum dalam waktu dekat. Namun,
siapapun yang berkehendak membangun gerakan yang berhasil dalam melahirkan
masyarakat yang lebih adil, setara, makmur dan sejahtera, haruslah membangun
gerakan yang mampu melibatkan kelas pekerja. Tapi bagaimanapun hasil dari
gerakan mahasiswa hari ini, adalah suatu tabungan pengalaman yang sangat
berharga yang ikut menentukan masa depan gerakan demokrasi di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment