Wednesday, September 4, 2019

Mempersiapkan Rovolusi Melalui Pemogokan Umum


Ketika saya terlibat dalam berbagai demonstrasi buruh tahun 2012 yang menurun dua tahun setelahnya, saya mendapatkan pengalaman bagaimana pola pasang-surutnya sebuah gerakan. Gerakan buruh itu memang gagal mencapai tahap selanjutnya karena tekanan penguasa dan pimpinan-pimpinan serikat buruh yang lebih memilih berkompromi atau menerima konsesi-konsesi. Gerakan massa besar kemudian beralih dinaungi oleh kelompok Islam 212 dengan daya mobilisasi maksimal 700 ribu orang ke Jakarta. Jauh mengungguli mobilisasi buruh ke Jakarta yang hanya 150 ribu orang pada May Day 2012.
Dari segi kualitas, gerakan 212 bukanlah gerakan demokrasi, justru sebaliknya, adalah gerakan reaksioner yang membahayakan demokrasi itu sendiri. Sebabnya adalah gagasan-gagasan konservatisme yang mengatasnamakan agama dan posisi politiknya yang mengakomodir kembalinya Orde Baru. Meskipun gerakan ini membahayakan demokrasi, tetapi tetap saja suatu materi pasti memiliki sisi positif, sesedikit apapun itu. Gerakan ini telah memberikan pengalaman bagi kelas bawah untuk memobilisasi diri dalam aksi-aksi massa. Sama seperti ketika gerakan buruh tahun 2012 memberikan pengalaman pemogokan bagi jutaan buruh. Selama ini, harapan rakyat untuk perubahan tidak mendapatkan salurannya. Tidak juga di gerakan buruh yang terfragmentasi sedemikian rupa dan oportunisme para pimpinan serikat besar akibat dukung-mendukung elite politik.

Ketika gerakan Islam ini berkembang di luar kendali, negara menindasnya, sama seperti negara menindas gerakan buruh dengan menggunakan kombinasi pendekatan represi dan konsesi. Akhirnya gerakan ini kembali menurun secara kualitas dan kuantitas terutama setelah penguasa mampu mencapai konsesi dengan figur-figur mereka. Kelas pekerja dan rakyat miskin tidak benar-benar menyukai gagasan-gagasan konservatif, tapi memang karena tidak ada saluran lain, ekspresi perlawanan masuk ke gerakan ini. Saya kenal aktivis-aktivis yang dulu sangat kiri, kemudian berubah haluan masuk ke kelompok Islam 212. Mereka sebenarnya ingin perubahan dan melihat ada kemungkinan itu dengan bergabung ke kelompok itu.
Di Indonesia, kekuatan progresif-demokratik telah ditindas dengan sangat dahsyat dan dilarang berkembang sejak 1965. Dipaksa bersaing dengan gerakan Islam yang lebih diizinkan berkembang, tentu tidak mungkin. Seandainya ada gerakan demokratik-progresif yang sama besar atau cukup besar untuk menjadi muara bagi kaum muda dan kelas pekerja, maka mereka pasti akan dengan cepat mendukungnya. Ketika gerakan mahasiswa meninggi, dukungan berdatangan dari rakyat yang sudah belajar dari berbagai mobilisasi dan dalam kondisi mengalami berbagai tekanan ekonomi dan kebebasan akibat kebijakan negara.Dukungan siswa STM adalah cerminan dukungan dari kelas bawah. Jangan lupa pelajar-pelajar STM adalah mereka yang dipersiapkan untuk menjadi buruh. Mereka adalah anak-anak muda yang berharap bisa langsung bekerja di “PT” (pabrik) segera setelah lulus. Hanya sedikit dari mereka yang mampu untuk masuk ke universitas yang biayanya kian selangit.

Kondisi Kelas Pekerja
Kelas pekerja sendiri sudah semakin frustasi karena belakangan ini semakin sulit mendapatkan kenaikan kesejahteraan, sedangkan di sisi lain, jenis dan biaya kebutuhan hidup semakin meningkat. Kemampuan membiayai hidup sehari-hari sebagian besar diperoleh dari utang (kredit), termasuk dari renternir online. Ancaman paling nyata adalah rencana Revisi UU Ketenagakerjaan yang akan menurunkan tingkat kesejahteraan buruh tanpa memandang status kerja. Karyawan tetap, kontrak, magang maupun harian semua akan kena. Apalagi ditambah dengan jika iuran BPJS jadi dinaikkan,  benar-benar memberatkan, khususnya bagi “pekerja mandiri”.
Buruh perlu waspada, meskipun RUU Ketenagakerjaan tidak masuk Prolegnas, namun nyata UU KPK yang juga tidak masuk proglegnas bisa direvisi begitu saja dalam waktu 20 menit. Revisi UUK versi pengusaha akan menjadikan status kerja semakin fleksibel, upah semakin menurun, pesangon berkurang, tunjangan-tunjangan berkurang, jam kerja bertambah dan syarat pembangunan serikat dipersulit. Trennya adalah negara hendak menjadikan persoalan ketenagakerjaan diselesaikan di tingkatan bipartit (dua pihak) antara buruh dengan pengusaha dengan dalih “kekeluargaan”. Kalau perlu urusan ketenagakerjaan tak perlu banyak-banyak diatur oleh negara, buruh diminta berbicara dari hati ke hati dengan pengusaha.
Enak didengar, tapi omong kosong dalam kenyataan. Posisi buruh sebagai penjual tenaga kerja lebih rendah daripada pengusaha, sehingga akan ditawar semurah-murahnya oleh pengusaha. Apalagi tingginya jumlah cadangan tenaga kerja (pengangguran) siap pakai, terutama yang dicetak oleh sekolah-sekolah kejuruan. Sesama buruh dipaksa bersaing untuk mempertahankan pekerjaan masing-masing sehingga harus menerima syarat-syarat upah murah dari pemodal. Inilah liberalisme ekonomi yang sesungguhnya berbahaya, bukan “kelompok liberal” yang dimaksud oleh gerakan konservatif 212.
Mengandalkan pemogokan umum akan mampu diorganisir oleh serikat-serikat buruh utama seperti KSPSI dan KSPI sudah tidak mungkin lagi. Kesempatan memimpin gerakan buruh untuk menjadi sebuah kekuatan politik pernah datang kepada mereka dalam gerakan buruh tahun 2012-2013, tapi mereka sia-siakan dengan menjadi pendukung elite dan partai politik pada Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019. Beberapa kali seruan pemogokan nasional dari serikat-serikat ini, tidak mendapatkan sambutan dari kelas pekerja. Bahkan sekarang mereka justru mencurigai gerakan mahasiswa ditunggangi oleh kelompok oposisi konservatif yang ingin menurunkan Jokowi.
Potensi Pemogokan Umum
Gerakan pro demokrasi-progresif di masa depan bergantung pada kemampuan menggabungkan gerakan kaum intelektual-mahasiswa dengan kelompok kelas pekerja. Hal ini akan membuka kunci metode perlawanan yang lebih hebat lagi, sebuah pemogokan umum yang mampu menggetarkan jantung penguasa dan pemodal berada di belakangnya.
Dari mana kita memulainya?
Pertama, sejak sekarang sudah harus ada seruan-seruan untuk melibatkan kelas pekerja dalam aksi-aksi dan melakukan pemogokan. Meskipun mungkin prakteknya, terutama pemogokan umum, tidak dapat terjadi dalam waktu dekat, tapi mempopulerkan gagasan ini harus terus dilakukan. Cepat atau lambat kelas pekerja akan menyambut seruan ini karena kebutuhan untuk berlawan dengan metode pemogokan lahir secara alamiah dari dalam gerakan buruh itu sendiri.
Kedua, menjaga ritme mobilisasi agar tetap besar dan terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan yang cukup bisa diandalkan, untuk meyakinkan kelas pekerja. Pada dasarnya atmosfer perlawanan yang terjaga akan mampu meyakinan semua kelompok tertindas untuk bergabung dengan gerakan ini. Menjaga gerakan membutuhkan organisasi-organisasi yang dikelola dengan teratur. Demi masa depan gerakan, kita harus mendirikan atau bergabung dengan organisasi-organisasi progresif untuk menjadi sekolah yang mengasah pemikiran dan tindakan kita, membela orang-orang yang tidak beruntung dan mengangkat isu-isu demokrasi. Pendeknya menjadi organisasi yang berusaha membangkitkan perjuangan kelas pekerja.
Aktivitas berorganisasi dan membangun gerakan juga akan menghasilkan figur-figur kita sendiri, kepemimpinan dari kalangan pergerakan. Tidak perlu lagi ada gagasan dan tindakan politik “memilih yang terbaik dari yang terburuk” apabila kita mampu menghasilkan kepemimpinan kita sendiri. Ketiga, mempertahankan platform program (tuntutan) demokratik dan bebas kooptasi dari elite-elite politik. Tuntutan tolak revisi UU KPK, tolak RKUHP dan sahkan RUU PKS telah menjadi platform bersama gerakan hari ini. Keistimewaan dari tuntutan menolak RKUHP dan pengesahan RUU PKS terutama, adalah karena menjadi platform yang mampu membangun demarkasi antara gerakan demokrasi dengan gerakan kelompok konservatif yang juga hari ini menjadi oposisi dengan turun ke jalan.
Gerakan demokrasi harus berterima kasih kepada kelompok feminis yang lantang menyuarakan pengesahan RUU PKS yang tidak saja untuk mendorong pembebasan masyarakat dari kekerasan seksual, tetapi tuntutan ini juga yang menjaga dan menegaskan platform gerakan demokrasi. Ancaman lain datang dari kooptasi elite dan partai politik yang sebelumnya sukses menghancurkan gerakan buruh. Gerakan 212 juga menurun setelah pimpinan-pimpinan mereka bisa dikooptasi. Gerakan yang berhasil dikooptasi oleh penguasa tidak akan dipercayai lagi oleh kelas pekerja.
Tentu tidak ada jaminan semua orang akan bergandengan tangan dalam konsistensi yang sama, makanya pertarungan di internal gerakan itu sendiri untuk membersihkan diri dari kooptasi penguasa adalah tak terhindarkan. Penolakan ketua-ketua BEM untuk bertemu Jokowi di istana dan lebih memilih pertemuan terbuka yang bisa disaksikan oleh rakyat, adalah contoh dari menolak kooptasi penguasa. Ketika kelas pekerja siap melakukan pemogokan biasanya akan ditandai dengan mobilisasi-mobilisasi kelas buruh di kawasan industri atau daerah tempat kerja. Pemogokan itu sendiri terjadi jika buruh shift 2 dan buruh shift 3 memobilisasi diri ke kawasan-kawasan industri pada siang hari dan mampu menyeret bergabungnya buruh shift 1 yang akan atau sedang bekerja.
Memang terlalu muluk untuk membayangkan bahwa kita akan mampu melakukan pemogokan umum dalam waktu dekat. Namun, siapapun yang berkehendak membangun gerakan yang berhasil dalam melahirkan masyarakat yang lebih adil, setara, makmur dan sejahtera, haruslah membangun gerakan yang mampu melibatkan kelas pekerja. Tapi bagaimanapun hasil dari gerakan mahasiswa hari ini, adalah suatu tabungan pengalaman yang sangat berharga yang ikut menentukan masa depan gerakan demokrasi di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

 
;