Mari
kita mulai dari pertanyaan sederhana: kenapa Negara ini memerlukan sebuah
lembaga anti-korupsi yang independen dan profesional?
Saya
berikan dua jawaban singkat. Pertama, lembaga penegak hukum yang sudah ada,
yaitu kepolisian dan kejaksaan, tidak efektif dalam memerangi korupsi. Keduanya
gampang masuk angin, kadang tebang pilih, dan kerap menciut di hadapan terduga
korupsi yang punya relasi kuasa.
Kedua,
salah satu semangat dari Reformasi 1998 adalah membebaskan bangsa dan negara
ini dari perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kita buang jauh-jauh
Orde Baru karena KKN-nya. Dan kita menginginkan Indoenesia pasca Orba yang
merdeka dari KKN.Karena itu, pada tahun 2002, melalui Undang-Undang nomor 30
tahun 2002, bangsa ini punya lembaga anti-rasuah baru bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Nah, agar tidak gampang masuk angin, lembaga
baru ini bersifat independen dan terbebas dari kekuasaan mana pun.
Setelah
17 tahun berjuang memerangi korupsi, tentu sudah banyak hal yang dilakukan oleh
KPK. Ada banyak langkah maju, tetapi masih ada juga yang berjalan di tempat. Sepanjang
2003 hingga Juli 2019, KPK sudah menangani 1.064 perkara. Sebanyak 123
diantaranya adalah operasi tangkap tangan (OTT). Dari aksi KPK itu, banyak
koruptor kakap yang tertangkap. Sudah ada 5 Ketua Umum Partai Politik. Ada 27
Kepala Lembaga atau Kementerian. Ada 130 Kepala Daerah. Kemudian ada 255
anggota DPR/DPRD. Ada juga besan Presiden, konglomerat, dan sejumlah perwira tinggi
di Kepolisian maupun TNI.
Itu
harus diapreasi. Sebab, penangkapan orang besar, seperti tersebut di atas,
adalah sesuatu yang sangat sulit dibayangkan terjadi di zaman Orde Baru. Namun
demikian, tak bisa dinapikan juga, ada banyak kasus korupsi besar yang tak
terusik dan tidak tuntas hingga kini. Mulai dari kasus BLBI, skandal Bank
Century, dugaan korupsi e-KTP, Hambalang, dan lain-lain. Ada kesan KPK tidak
begitu bernyali untuk mengobrak-abrik kasus-kasus besar. KPK juga belum
terbebas dari kesan dan tudingan melakukan “tebang pilih”. Kemudian, kasus
surat perintah penyidikan (Sprindik) yang bocor, menandakan ada problem di
internal KPK.
Tentu
saja, karena ada harapan besar rakyat Indonesia di pundak KPK, usaha memperkuat
lembaga anti-rasuah kebanggaan rakyat Indonesia ini perlu disambut baik. Di
sini, memperkuat berarti menambah daya kuasa KPK dalam memerangi korupsi. Ini
menyangkut legitimasi, kewenangan, dan dukungan sumber daya, sehingga KPK tak
lagi masuk angin dan tebang pilih dalam menangani korupsi. Sayangnya, revisi UU
KPK yang baru disahkan oleh DPR, yang disetujui Presiden Joko Widodo, justru
berisi point-point yang melucuti independensi hingga kewenangan KPK. Jadi,
alih-alih memperkuat, revisi UU KPK justru melemahkannya.
Dalam
pasal 1 ayat (3) hasil revisi, KPK menjadi lembaga negara dalam rumpun
kekuasaan eksekutif. Padahal, di UU lama KPK merupakan lembaga negara yang
independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Dalam UU hasil
revisi, kewenangan KPK untuk menggeledah, menyita, dan menyadap harus melalui
Dewan Pengawas, sebuah lembaga di atas KPK yang orang-orangnya diangkat dan
ditetapkan oleh Presiden. Dengan demikian, kewenangan KPK menjadi terbatasi,
bahkan berpotensi diintervensi oleh kekuasaan (Presiden).
Selain
itu, di pasal 40 hasil revisi, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan
penuntutan jika kasusnya tak selesai dalam tempo 2 tahun. Pasal ini berpotensi
membuat KPK kesulitan membongkar kasus-kasus besar dan kompleks karena jangka
waktu yang singkat. Belum lagi, ketentuan soal pegawai KPK yang berstatus
Aparat Sipil Negara (ASN). Hal ini akan membuat pegawai KPK terikat dalam
hirarki dan aturan kepegawaian, sehingga kehilangan independensi dan daya
kritisnya.
Jadi,
sudah terang-benderang bahwa revisi UU KPK justru melemahkan KPK. Independensi
dan kewenangannya terlucuti. Jadi, alih-alih pemberantasan korupsi ke depan
akan berjalan maju, justru berpotensi mundur. Nah, kembali ke titik awal
artikel ini, jika KPK mau diperkuat, agar tak masuk angin dan tebang pilih, apa
yang harus dilakukan? Bagi saya, ada masalah mendasar dalam mekanisme pemilihan
pimpinan KPK, yang eksekusi terakhirnya di tangan DPR.
Jika
pemilihan pimpinan KPK di tangan DPR, mimpi besar kita agar pimpinan KPK
benar-benar independen, bukan titipan, sangat mungkin buyar. Pemilihan pimpinan
KPK oleh DPR membuka celah lebar bagi politik dagang sapi. Karena itu, kedepan
pemilihan pimpinan KPK harus diserahkan pada publik atau rakyat. Biarkan rakyat
yang memilih langsung pimpinan lembaga anti-rasuah itu. Selain mempersempit
ruang politik dagang sapi dan calon titipan, pemilihan oleh rakyat ini juga
menguatkan legitimasi KPK.
Kalau
dipilih oleh rakyat, legitimasi dan independensi KPK benar-benar kuat. Dengan
begitu, tak ada alasan bagi KPK untuk tidak berani menubruk kasus-kasus besar.
Tidak ada alasan untuk masuk angin dan tebang pilih. Karena dipilih
langsung oleh rakyat, ada mekanisme yang memungkinkan rakyat untuk
me-recall mereka jika terbukti melanggar etika, tupoksi dan berkinerja
buruk.
Membuat
penegak hukum dipilih langsung oleh rakyat bukan hal baru, apalagi tabu.
Bolivia, negeri kecil di Amerika selatan, sudah melakukannya sejak 2011 lalu.
Demi mendemokratiskan lembaga peradilan, semua hakim di Bolivia dipilih oleh
rakyat. Amerika Serikat juga melakukan hal serupa di beberapa negara bagian,
seperti di negara bagian Washington. Tetapi saya membayangkan pemilihan
pimpinan KPK itu seperti Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden. Juga tak perlu
dibuat sepaket dengan Pileg dan Pilpres.
Pemilihannya
bisa dibuat tersendiri. Agar irit waktu, tenaga, dan pembiayaan, pemilihannya
bisa memanfaatkan teknologi. Ada banyak aplikasi yang bisa untuk e-voting. Sebagai
bangsa yang sekitar 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen warganya yang
sudah terhubung ke internet dan 92 juta diantaranya memegang telepon
pintar, tak sulit bagi Indonesia untuk menyelenggarakan e-voting.
Tinggal
mekanismenya yang perlu didiskusikan dan diatur, agar partisipatif dan jurdil. Jadi,
tahapannya, ada Panitia Seleksi yang ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan
usulan publik. Agar bekerja independen, Pansel ini harus non-partisan. Selain
itu, tugasnya adalah menjaring pendaftar, menyeleksi administrasi dan
persyaratan umum (non-partisan, tidak punya rekam jejak kriminalitas, dan bebas
dari korupsi), lalu mengumumkan nama-nama kandidat beserta rekam jejak mereka
ke publik. Dengan begitu, pemilih tahu tentang siapa yang harus dipilih.
Kedua,
karena korupsi sudah meluas ke bawah, apalagi ada potensi penyalahgunaan dana
desa, maka KPK perlu diperluas hingga Kabupaten/Kota. Dengan begitu, celah
untuk praktik korupsi semakin dipersempit. Oh, iya, hampir lupa, praktek
korupsi hari ini juga tak terlepas dari kebijakan ekonomi yang makin liberal.
Liberalisasi ekonomi berkontribusi mendekatkan elit politik dan pemangku
kepentingan bisnis dalam persekongkolan jahat, mulai dari izin investasi hingga
berbagai fasilitas kemudahan berbisnis lainnya.
Jadi,
selain butuh memperkuat KPK, korupsi harus diperangi dengan mengubah haluan
ekonomi yang kian liberal ini. Kira-kira, begitulah sumbang saran saya jika
seadanya DPR dan pemerintah ingin memperkuat KPK. Bukan melemahkan KPK.
0 comments:
Post a Comment