Tuesday, September 24, 2019

Rintangan dan yang Harus Dilakukan untuk Reformasi Jilid 2



Lawan Oligarki, Selamatkan Demokrasi!
Oligarki di Senayan, Oligarki di Istana!
Oligarki di Kota, Oligarki di Desa!
Oligarki Berwajah Nasionalis, Oligarki Berwajah Islamis!
Lawan Manipulasi Identitas yang Mempertentangkan Rakyat!
BEBERAPA bulan lalu saat pemilihan umum, sang calon petahana terpilih kembali sebagai presiden karena kepercayaan publik bahwa ia adalah orang baik yang bisa membawa perubahan. Padahal selama periode pertama pemerintahannya, konflik agraria terus meningkat, rakyat terus digusur dan ditindas, alat-alat negara digunakan untuk membungkam kritik dan oposisi. Kini pemerintah kembali membalik kepercayaan buta pendukungnya, mengkhianati agenda reformasi, bahkan sebelum dilantik.
Rakyat Papua menghadapi operasi militer yang serius dari pemerintah setelah mereka melawan rasisme dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat militer dan ormas-ormas preman di Surabaya. Hingga kini represi oleh aparat militer dan kepolisian dan pembatasan akses internet di Papua serta pembungkaman aktivis-aktivis pembela rakyat Papua terus dilakukan. Polri mengkriminalkan aktivis pembela rakyat Papua dengan tuduhan sebagai penyebar hoaks, padahal yang nyata telah menyebarkan disinformasi mengenai situasi di Papua adalah pemerintah, baik melalui kementerian informasi dan teknologi (Kemenkominfo) maupun militer.
Tertutupnya akses informasi di Papua adalah sarana yang memberi kemudahan bagi otoritas pemerintah untuk menyebarkan informasi yang menguntungkan pemerintah serta di saat yang sama menyudutkan dan membungkam kritik. Pembatasan akses internet juga memperburuk kekerasan di Papua. Situasi terakhir demonstrasi yang diikuti sebagian besar pelajar di Wamena, Papua, Senin (23/9/2019) telah diberitakan 20 pendemo tewas serta 65 lainnya terluka, namun tidak ada informasi memadai bagaimana korban jiwa berjatuhan karena pembatasan akses internet pasca kerusuhan.
Belum lama Papua bergejolak, pemerintah kembali membuat manuver yang mengkhianati agenda reformasi, di antaranya dengan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama hal itu dilakukan dengan memilih panitia seleksi yang lebih mewakili kepentingan Polri (institusi yang paling terganggu dengan keberadaan KPK) dan pemerintah. Ada beberapa kalangan aktivis yang menjadi anggota panitia seleksi, tapi mereka dikenal dekat dengan Kapolri Tito Karnavian. Hasilnya, dari 10 calon pimpinan KPK yang dipilih oleh panitia seleksi sebelum diajukan ke DPR, beberapa nama memiliki catatan buruk yang disinyalir cenderung melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Saat nama-nama ini dilaporkan kepada presiden, pemerintah juga tidak mencoret satu-pun nama-nama yang dinilai oleh para pegiat anti-korupsi sebagai bermasalah. Saat penentuan tahap akhir di DPR, pejabat polisi Firli Bahuri, salah satu nama yang dianggap bermasalah dan dalam siaran pers KPK telah dinyatakan terindikasi melanggar kode etik sebagai penyidik KPK sebelumnya, telah terpilih dengan suara terbanyak dan dinyatakan sebagai ketua KPK baru.
Ini salah satu bukti persekongkolan pemerintah dan DPR (yang juga dikuasai oleh partai pendukung pemerintah) dalam melemahkan KPK. Bukan hanya DPR yang selama ini telah dikenal sebagai salah satu lembaga yang paling korup dengan kepercayaan publik yang rendah, pemerintah yang dipimpin oleh ‘orang baik’ juga turut berkontribusi atas pelemahan KPK.
Tidak berhenti di situ, pemerintah juga berkontribusi melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu melalui revisi UU KPK. Revisi ini bahkan diajukan oleh partai-partai pendukung pemerintah. Berdasarkan konstitusi, pemerintah memiliki peran dalam pengesahan UU. Akan tetapi, pemerintah tidak menolak pasal-pasal revisi yang melemahkan KPK. Dalam siaran persnya, pemerintah menyatakan telah membuat catatan revisi dan mengklaim mendukung revisi justru untuk memperkuat KPK. Pada kenyataannya, seperti telah banyak diberitakan media, klaim pemerintah adalah bagian dari disinformasi untuk mengecoh publik agar tetap memberi dukungan kepada pemerintah yang telah berupaya melemahkan KPK. Pada tanggal 17 September, RUU yang sebelumnya tidak masuk dalam program legislatif nasional (prolegnas) ini, pada akhirnya disahkan. Senin lalu (23/9/2019), pemerintah kembali menegaskan dukungannya atas UU KPK terbaru dengan menolak tuntutan diterbitkannya Perppu pencabutan UU KPK.
Pelemahan upaya pemberantasan korupsi ini juga sejalan dengan rencana disahkannya beberapa Rancangan UU (RUU) kontroversial yang memberi kemudahan bagi pengerukan sumber daya alam seperti UU pertanahan dan UU mineral, tambang dan batu bara (minerba). Pada tanggal 17 September, UU Sumber Daya Air yang masih melanggengkan swastanisasi dalam pengelolaan air bahkan telah disahkan dalam rapat paripurna DPR. RKUHP yang masih memuat banyak pasal-pasal kontroversial juga didorong untuk segera disahkan. Pengusul RKUHP ini adalah pemerintah, tapi pemerintah bersikap seolah belum mempelajari poin-poin revisi yang ditolak oleh masyarakat sipil.
Tak lama setelah gelombang protes dari masyarakat, pemerintah menyatakan usulan untuk menunda pengesahan tapi tidak menyatakan penolakan atas pasal-pasal kontroversial, di antaranya pasal karet tentang penghinaan presiden. RUU Pemasyarakatan yang mempermudah koruptor memperoleh keringanan hukuman (remisi), yang sejalan dengan upaya pelemahan KPK, juga salah satu RUU yang didesak oleh DPR hendak disahkan. RUU bermasalah lainnya seperti RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja, RUU SisnasIptek yang menegaskan kontrol pemerintah atas produksi pengetahuan, RUU perkoperasian yang justru mengerdilkan koperasi, dll juga masuk dalam prolegnas yang hendak disahkan DPR sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.
Malam lalu (23/9/2019), pemerintah telah menyatakan usulan penundaan pengesahan RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RUU Pemasyarakatan hingga periode DPR mendatang. Namun, penundaan pengesahan itu bukan berarti penolakan substansi pasal yang bermasalah. Pemerintah juga tidak bersikap atas sejumlah pasal yang ditolak oleh banyak kalangan masyarakat sipil. Di samping itu, selain RKUHP pemerintah juga pengusul RUU Pemasyarakatan, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah tidak mengetahui isi rancangan aturan tersebut, termasuk pasal-pasal yang bermasalah. Sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melindungi perempuan dan anak dari tindak pidana kekerasan tidak kunjung disahkan.
Pemerintah juga tidak mengambil tindakan berarti atas kebakaran hutan yang terjadi di Riau dan Kalimantan. Tidak ada upaya yang mendorong pengusutan pelaku pembakar hutan yang menurut beberapa media disinyalir terkait dengan pengusaha sawit. Para pembantunya justru menuduh rakyat peladang sebagai pelaku pembakar hutan serta menuntut warga sekitar untuk bersabar atas ujian Tuhan.
Hal itu semua menegaskan bahwa kekacauan negeri akhir-akhir ini adalah hasil persekongkolan oligarki di Istana dan di Senayan. Melawan pemerintah dan DPR adalah melawan oligarki. Oligarki yang berwajah nasionalis dengan slogan NKRI harga mati, serta oligarki yang berwajah Islamis harus dilawan. Keduanya memanipulasi rakyat dengan bungkus pertentangan identitas. Sesama rakyat bersitegang terutama saat pemilu, tapi di balik itu para elite oligark berpesta pora mengeruk kekayaan negara. Saatnya rakyat melawan sistem oligarki dan para oligark! Mahasiswa, Dosen, Buruh, Petani, Kaum Miskin Kota saatnya kembali bersatu sebagai kekuatan rakyat! Lawan manipulasi identitas yang mempertentangkan rakyat! Musuh Rakyat yang sesungguhnya adalah oligarki dan para elite politik dan ekonomi baik di Senayan, di Istana maupun di sudut-sudut kota dan desa yang menggusur dan menindas kaum miskin kota, buruh dan petani!
Lawan!***

0 comments:

Post a Comment

 
;