Lawan
Oligarki, Selamatkan Demokrasi!
Oligarki
di Senayan, Oligarki di Istana!
Oligarki
di Kota, Oligarki di Desa!
Oligarki
Berwajah Nasionalis, Oligarki Berwajah Islamis!
Lawan
Manipulasi Identitas yang Mempertentangkan Rakyat!
BEBERAPA
bulan lalu saat pemilihan umum, sang calon petahana terpilih kembali sebagai
presiden karena kepercayaan publik bahwa ia adalah orang baik yang bisa membawa
perubahan. Padahal selama periode pertama pemerintahannya, konflik agraria
terus meningkat, rakyat terus digusur dan ditindas, alat-alat negara digunakan
untuk membungkam kritik dan oposisi. Kini pemerintah kembali membalik
kepercayaan buta pendukungnya, mengkhianati agenda reformasi, bahkan sebelum
dilantik.
Rakyat
Papua menghadapi operasi militer yang serius dari pemerintah setelah mereka
melawan rasisme dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat militer dan
ormas-ormas preman di Surabaya. Hingga kini represi oleh aparat militer dan
kepolisian dan pembatasan akses internet di Papua serta pembungkaman
aktivis-aktivis pembela rakyat Papua terus dilakukan. Polri mengkriminalkan
aktivis pembela rakyat Papua dengan tuduhan sebagai penyebar hoaks, padahal
yang nyata telah menyebarkan disinformasi mengenai situasi di Papua adalah
pemerintah, baik melalui kementerian informasi dan teknologi (Kemenkominfo)
maupun militer.
Tertutupnya
akses informasi di Papua adalah sarana yang memberi kemudahan bagi otoritas
pemerintah untuk menyebarkan informasi yang menguntungkan pemerintah serta di
saat yang sama menyudutkan dan membungkam kritik. Pembatasan akses internet
juga memperburuk kekerasan di Papua. Situasi terakhir demonstrasi yang diikuti
sebagian besar pelajar di Wamena, Papua, Senin (23/9/2019) telah diberitakan 20
pendemo tewas serta 65 lainnya terluka, namun tidak ada informasi memadai
bagaimana korban jiwa berjatuhan karena pembatasan akses internet pasca
kerusuhan.
Belum
lama Papua bergejolak, pemerintah kembali membuat manuver yang mengkhianati
agenda reformasi, di antaranya dengan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Pertama hal itu dilakukan dengan memilih panitia seleksi yang
lebih mewakili kepentingan Polri (institusi yang paling terganggu dengan
keberadaan KPK) dan pemerintah. Ada beberapa kalangan aktivis yang menjadi
anggota panitia seleksi, tapi mereka dikenal dekat dengan Kapolri Tito
Karnavian. Hasilnya, dari 10 calon pimpinan KPK yang dipilih oleh panitia
seleksi sebelum diajukan ke DPR, beberapa nama memiliki catatan buruk yang
disinyalir cenderung melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Saat
nama-nama ini dilaporkan kepada presiden, pemerintah juga tidak mencoret
satu-pun nama-nama yang dinilai oleh para pegiat anti-korupsi sebagai
bermasalah. Saat penentuan tahap akhir di DPR, pejabat polisi Firli Bahuri,
salah satu nama yang dianggap bermasalah dan dalam siaran pers KPK telah
dinyatakan terindikasi melanggar kode etik sebagai penyidik KPK sebelumnya,
telah terpilih dengan suara terbanyak dan dinyatakan sebagai ketua KPK baru.
Ini
salah satu bukti persekongkolan pemerintah dan DPR (yang juga dikuasai oleh
partai pendukung pemerintah) dalam melemahkan KPK. Bukan hanya DPR yang selama
ini telah dikenal sebagai salah satu lembaga yang paling korup dengan
kepercayaan publik yang rendah, pemerintah yang dipimpin oleh ‘orang baik’ juga
turut berkontribusi atas pelemahan KPK.
Tidak
berhenti di situ, pemerintah juga berkontribusi melemahkan lembaga pemberantas
korupsi itu melalui revisi UU KPK. Revisi ini bahkan diajukan oleh
partai-partai pendukung pemerintah. Berdasarkan konstitusi, pemerintah memiliki
peran dalam pengesahan UU. Akan tetapi, pemerintah tidak menolak pasal-pasal
revisi yang melemahkan KPK. Dalam siaran persnya, pemerintah menyatakan telah
membuat catatan revisi dan mengklaim mendukung revisi justru untuk memperkuat
KPK. Pada kenyataannya, seperti telah banyak diberitakan media, klaim
pemerintah adalah bagian dari disinformasi untuk mengecoh publik agar tetap
memberi dukungan kepada pemerintah yang telah berupaya melemahkan KPK. Pada tanggal
17 September, RUU yang sebelumnya tidak masuk dalam program legislatif nasional
(prolegnas) ini, pada akhirnya disahkan. Senin lalu (23/9/2019), pemerintah
kembali menegaskan dukungannya atas UU KPK terbaru dengan menolak tuntutan
diterbitkannya Perppu pencabutan UU KPK.
Pelemahan
upaya pemberantasan korupsi ini juga sejalan dengan rencana disahkannya
beberapa Rancangan UU (RUU) kontroversial yang memberi kemudahan bagi
pengerukan sumber daya alam seperti UU pertanahan dan UU mineral, tambang dan
batu bara (minerba). Pada tanggal 17 September, UU Sumber Daya Air yang masih
melanggengkan swastanisasi dalam pengelolaan air bahkan telah disahkan dalam
rapat paripurna DPR. RKUHP yang masih memuat banyak pasal-pasal kontroversial
juga didorong untuk segera disahkan. Pengusul RKUHP ini adalah pemerintah, tapi
pemerintah bersikap seolah belum mempelajari poin-poin revisi yang ditolak oleh
masyarakat sipil.
Tak
lama setelah gelombang protes dari masyarakat, pemerintah menyatakan usulan
untuk menunda pengesahan tapi tidak menyatakan penolakan atas pasal-pasal
kontroversial, di antaranya pasal karet tentang penghinaan presiden. RUU
Pemasyarakatan yang mempermudah koruptor memperoleh keringanan hukuman
(remisi), yang sejalan dengan upaya pelemahan KPK, juga salah satu RUU yang
didesak oleh DPR hendak disahkan. RUU bermasalah lainnya seperti RUU
Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja, RUU SisnasIptek yang
menegaskan kontrol pemerintah atas produksi pengetahuan, RUU perkoperasian yang
justru mengerdilkan koperasi, dll juga masuk dalam prolegnas yang hendak
disahkan DPR sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.
Malam
lalu (23/9/2019), pemerintah telah menyatakan usulan penundaan pengesahan
RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RUU Pemasyarakatan hingga periode DPR
mendatang. Namun, penundaan pengesahan itu bukan berarti penolakan substansi
pasal yang bermasalah. Pemerintah juga tidak bersikap atas sejumlah pasal yang
ditolak oleh banyak kalangan masyarakat sipil. Di samping itu, selain RKUHP
pemerintah juga pengusul RUU Pemasyarakatan, sehingga tidak ada alasan bagi
pemerintah tidak mengetahui isi rancangan aturan tersebut, termasuk pasal-pasal
yang bermasalah. Sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melindungi
perempuan dan anak dari tindak pidana kekerasan tidak kunjung disahkan.
Pemerintah
juga tidak mengambil tindakan berarti atas kebakaran hutan yang terjadi di Riau
dan Kalimantan. Tidak ada upaya yang mendorong pengusutan pelaku pembakar hutan
yang menurut beberapa media disinyalir terkait dengan pengusaha sawit. Para
pembantunya justru menuduh rakyat peladang sebagai pelaku pembakar hutan serta
menuntut warga sekitar untuk bersabar atas ujian Tuhan.
Hal
itu semua menegaskan bahwa kekacauan negeri akhir-akhir ini adalah hasil
persekongkolan oligarki di Istana dan di Senayan. Melawan pemerintah dan DPR
adalah melawan oligarki. Oligarki yang berwajah nasionalis dengan slogan NKRI
harga mati, serta oligarki yang berwajah Islamis harus dilawan. Keduanya
memanipulasi rakyat dengan bungkus pertentangan identitas. Sesama rakyat
bersitegang terutama saat pemilu, tapi di balik itu para elite oligark berpesta
pora mengeruk kekayaan negara. Saatnya rakyat melawan sistem oligarki dan para
oligark! Mahasiswa, Dosen, Buruh, Petani, Kaum Miskin Kota saatnya kembali
bersatu sebagai kekuatan rakyat! Lawan manipulasi identitas yang
mempertentangkan rakyat! Musuh Rakyat yang sesungguhnya adalah oligarki dan
para elite politik dan ekonomi baik di Senayan, di Istana maupun di sudut-sudut
kota dan desa yang menggusur dan menindas kaum miskin kota, buruh dan petani!
Lawan!***
0 comments:
Post a Comment