BELUM lama berselang, kita menyaksikan demonstrasi
besar-besaran para mahasiswa di sejumlah wilayah di Indonesia. Secara historis,
demonstrasi ini boleh dipandang sebagai demonstrasi terbesar para mahasiswa di
seluruh Indonesia pasca-reformasi.
Secara garis besar ada sejumlah tuntutan mahasiswa
terhadap DPR dan Pemerintah yang disampaikan dalam aksi itu. Pertama,
mahasiswa menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan Revisi Undang-Undang Komisi
Pembaratasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP). Kedua, mahasiswa memprotes Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan
Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan karena dinilai tak sesuai dengan amanat
reformasi. Untuk aksi di DPR, ada empat poin tuntutan mahasiswa: Pertama,
merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk
berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan
keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. Ketiga,
merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria dan
tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif. Keempat, merestorasi kesatuan
bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antaretnis, pemerataan
ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan (Ambranie Nadia Kemala Movanita, Kompas.com, 24/09/2019).
Dari sejumlah tuntutan di atas, kita melihat bahwa
sebenarnya aksi para mahasiswa itu merupakan representasi dari ketidakpuasan
rakyat Indonesia terhadap kinerja pemerintah dan DPR pasca-reformasi pada
umumnya dan rezim Jokowi pada khususnya. Pemerintah dan DPR dinilai gagal
mengemban amanat rakyat yang telah memilih mereka untuk menyelesaikan sejumlah
agenda reformasi. Lebih dari itu, pemerintah bahkan dinilai justru mengebiri
reformasi. Reformasi dianggap telah dikorupsi oleh para elite politik yang
telah menjadi boneka mainan para oligark dan korporasi-korporasi nasional dan
transnasional.
Wajah politik kita akhir-akhir ini memang semakin
bengis, ganas, dan buas. Ia bengis, ganas, dan buas bukan karena rakyatnya
mengalami krisis nalar dan kehilangan taring untuk memperjuangkan kepentingan
umum dengan cara-cara yang elegan lalu lantas menggunakan cara-cara yang
ekstrem, melainkan lebih karena para elite politik semakin tidak tahu diri,
pragmatis, oportunis, korup, dan oligarkis. Ketika pejabat-pejabat publik
dipenuhi oleh elite-elite dengan karakter semacam itu, politik disulap menjadi
sarana pemuasan nafsu pribadi. Kepentingan rakyat dinomorduakan. Rakyat bahkan
menjadi objek penindasan dan eksploitasi. Ini jelas merupakan bentuk
penghianatan yang luar biasa terhadap komitmen reformasi dan demokrasi.
Sejatinya, ideal reformasi bertujuan untuk menjaga
agar negara tidak terlalu kuat berhadapan dengan rakyat yang menjadi pemegang
kedaulatan yang utama. Sebab ketika negara terlalu kuat, kekuasan cenderung
menjadi despotik, otoriter, dan totaliter. Rakyat lalu menjadi boneka mainan
para penguasa yang bisa ditarik ke sana kemari. Mereka terus berada di bawah
tekanan dan penindasan. Trauma politik Orde Baru mendorong rakyat Indonesia
untuk menghilangkan karakter negara dan penguasa yang demikian. Dalam konteks
ini, reformasi dipandang sebagai angin segar yang membawa rakyat keluar dari
suasana antipolitik dan antidemokrasi.
Apa yang kita saksikan sekarang justru sebaliknya.
Alih-alih ingin bebas dari kekuasaan yang lalim dan otoriter, para penguasa
kita sekarang justru menyulap negara menjadi kekuatan superpower. Tindakan
represi yang dilakukan oleh sejumlah aparat di Papua dan tempat-tempat lainnya
selama ini menjadi salah satu bukti yang mendukung argumentasi ini. Selain itu,
kita juga menyaksikan razia terhadap buku-buku kiri yang menjadi simbol sikap
antipikiran, antiintelektual, antiperubahan, dan antikritik. Padahal jika
ditanya pemahaman para perazia tentang marxisme, komunisme, dan
leninisme, bisa dipastikan sebagian besar dari mereka tidak paham marxisme,
komunisme, dan leninisme. Sebab, pada umumnya mereka bertindak sebagai alat
penguasa yang takut kebenaran masa lalu dibongkar. Pada titik inilah mereka
menjadi selimut tebal yang melindungi citra institusi yang pernah terlibat
dalam pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Selain razia buku dan tindakan represi aparat
negara, penanda lain dari kedudukan negara yang superpower saat
ini dapat dilihat dari sejumlah produk undang-undang yang berpretensi
mengkriminalisasi masyarakat yang mengkritik pemerintah, melindungi kepentingan
para elite yang korup, dan “mengkultuskan” kekuasaan yang pseudemokratik. Saat
ini, kritikan terhadap pemerintah harus hati-hati. Sebab, pengkritik berpotensi
terjerat Undang-Undang ITE. Sedangkan di sisi lain, pemerintah dan DPR
bersekongkol untuk merevisi Undang-Undang KPK yang dinilai justru melemahkan KPK
dan mendorong pesta pora para koruptor.
Yang lebih aneh lagi, pemerintah dan DPR justru
berusaha mengatur urusan selangkang warga negara yang seharusnya menjadi urusan
privat masing-masing orang. Rancangan Undang-Undang ini bahkan oleh sejumlah
aktivis dan ahli dinilai justru berpotensi mengkriminalisasi perempuan. Sampai
pada titik ini, Thrasymachus benar bahwa apa yang kita sebut keadilan itu
memang tidak lain dari kepentingan dari orang-orang yang lebih kuat. Untuk
konteks politik Indonesia mereka itu adalah pemerintah, DPR, para oligark, dan
korporasi-korporasi.
Rezim Jokowi dan Matinya
Politik (Political)
Apa yang menandai rezim Jokowi pada masa akhir
jabatannya? Dari deretan peristiwa yang digambarkan sebelumnya, tampak bahwa
rezim Jokowi akhir-akhir ini ditandai dengan suasana antipolitik, antipikiran,
dan antiintelektual. Argumentasi ini tentu tidak berpretensi menggeneralisasi
suasana rezim ini pada semua dimensi. Namun, dari sejumlah produk undang-undang
dan kebijakan yang sebagiannya sudah diulas sebelumnya, tampak karakter itu
cukup kuat mewarnai masa akhir rezim ini.
Politik yang dimaksudkan dalam tulisan ini ialah
politik sebagai sebuah dimensi antagonistik yang oleh Chantal Mouffe disebut
sebagai yang politis (political). Mouffe membuat distingsi antara politik (politics)
dan yang politis (political). Political, menurut Mouffe, merupakan
ruang kontestasi terbuka. Dalam political selalu ada distingsi antara
kawan/lawan. Lawan (adversary) dan bukan musuh (enemy). Lawan adalah mereka yang
gagasan-gagasannya dipertentangkan. Lawan bukanlah musuh yang harus dihabisi,
melainkan mereka yang posisinya harus dilindungi. Mouffe menyebut lawan sebagai
musuh yang legitim (the legitimate enemy) (Mouffe, 2005: 20) atau musuh yang
ramah (friendly enemy) (Mouffe, 2000: 13). Sedangkan, politik mengacu pada
serangkaian praktik dan institusi yang melaluinya sebuah tatanan diciptakan dan
koeksistensi manusia diorganisasi dalam konteks konflik yang disediakan oleh
political (Mouffe, 2005: 9).
Berdasarkan pandangan Mouffe di atas, tampak bahwa
tindakan penangkapan terhadap aktivis HAM, penangkapan terhadap pengkritik
pemerintah, razia buku-buku kiri, dan tindakan represif terhadap para
demonstran merupakan ciri khas rezim yang anti-politik (dalam arti political).
Di sini, pemerintah berusaha menghabisi kelompok-kelompok pengkritik yang
selalu kritis menilai kebijakan-kebijakan pemerintah. Mereka ditempatkan
sebagai musuh politik dan bukannya lawan yang posisinya harus dilindungi.
Padahal,
seharusnya kehadiran mereka ini mesti disambut dengan baik, karena justru
merekalah yang membuat politik dan demokrasi itu hidup. Politik dan demokrasi
itu hidup jika keragaman pikiran dan pandangan dibiarkan, dihargai, dan malah
dipertentangkan secara rasional. Politik dan demokrasi itu hidup jika
kritikan-kritikan terhadap pemerintah dibiarkan. Sebab memang politik dan
demokrasi itu hidup dari kritik. Kritiklah yang mendewasakan politik dan
demokrasi. Tanpa kritik politik dan demokrasi menjadi hancur. Tanda kehancuran
itu ada dalam rezim yang menginginkan pikiran-pikiran yang monolitis.
Lalu apa yang harus dibuat agar demokasi tidak
kehilangan dimensi politisnya? Pertama-tama jelas pemerintah mesti terbuka
terhadap kritikan-kritikan yang datang dari berbagai kalangan di masyarakat.
Dalam formulasi yang agak lain, pemerintah mesti mendengarkan rakyat. Sebab
rakyat bisa berdiri serentak sebagai oposisi pemerintah dan pendukung
pemerintah. Dalam demokrasi status oposisi itu legitim dan karena itu ia tidak
boleh dilenyapkan. Selain itu, batasan antara kiri dan kanan dalam politik juga
mesti jelas. Visi politik justru menjadi kabur ketika batasan antara kiri dan
kanan tidak jelas.
Bahkan ada kecenderungan untuk menarik kaum kiri
menjadi kelompok baru kiri-tengah yang cenderung mendukung status quo.
Dalam konteks ini razia terhadap buku-buku kiri harus dihentikan. Sebab, razia
terhadap buku-buku kiri justru menjadi tanda pemerintah anti terhadap
suara-suara kritis kelompok kiri. Padahal, justru kelompok kiri itulah yang
menggugat kemapanan pemerintah. Merekalah yang selalu mengingatkan pemerintah
apabila pemerintah abai terhadap kaum miskin dan marginal. ***
0 comments:
Post a Comment