Teror, kekerasan, dan perlakuan rasis sekali lagi menimpa kaum muda Papua
yang bermukim di luar Papua, khususnya kali ini di Surabaya, Malang, Semarang
dan Ternate. Berita bagaimana anak-anak muda ini diperlakukan bak binatang
memantik aksi massa di seluruh penjuru Papua, massa yang lama juga telah
merasakan hal yang sama, yakni dimaki dan diperlakukan seperti “monyet”. Di
Manokwari demo ini berujung dengan pembakaran kantor DPRD.
Peristiwa ini menaruh rasisme terhadap Papua ke dalam sorotan nasional,
terutama ketika ini terjadi pada momen perayaan kemerdekaan Indonesia.
Gembar-gembor nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia tiba-tiba terusik
oleh realitas perlakuan rasis yang dialami oleh rakyat Papua. Potret
Kebhinekaan Tunggal Ika tidak lagi seindah yang dibayangkan oleh yang berkuasa.
nilah mengapa rejim dengan bersusah payah mencoba mengecilkan apa yang
terjadi, bahwa semua ini hanyalah riak. Kapolri Tito Karnavia misalnya
mengatakan bahwa “aksi kerusuhan di Manokrawi berawal dari peristiwa kecil [!]
di Malang dan Surabaya.” Tetapi “peristiwa kecil” ini -- pengepungan,
penyerbuan, penangkapan sewenang-wenang yang disertai makian-makian “monyet” --
adalah peristiwa-peristiwa kecil yang setiap harinya dialami oleh rakyat Papua
selama lebih dari 50 tahun. Kerusuhan yang menyusul demo di Manokrawi oleh
karenanya bukan disebabkan oleh “foto hoaks” atau “kepentingan tertentu”
seperti yang dinyatakan oleh Kapolri. Persekusi yang dialami oleh rakyat Papua
bukanlah hoaks. Kepentingan yang ada bukan kepentingan “tertentu” tetapi kepentingan umum rakyat
Papua yang menuntut hak-hak dan kebebasannya.
Belakangan ini memang sudah jadi respons tipikal pihak yang berwenang
untuk menyalahkan hoaks dan media sosial sebagai biang kerok gejolak sosial
yang ada, untuk menutup mata terhadap akar masalah yang sesungguhnya. Kalau
hoaks adalah penyebabnya, maka lazim kalau solusi yang ditawarkan adalah
meluruskan kesalahpahaman yang bersumber dari berita-berita tidak benar ini dan
saling memaafkan. “Saya tahu ada ketersinggungan [!], oleh sebab itu,
sebagai saudara sebangsa dan setanah air, yang paling baik adalah saling
memaafkan,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan. Kalau seorang dibilang wajahnya
jelek, atau wajah “ndeso” seperti pengalaman pribadi sang Presiden kita ini,
itu baru boleh dibilang tersinggung.
Tetapi, kalau satu kelompok besar orang tidak hanya dimaki “monyet” tetapi
juga diperlakukan bak “monyet”, ditindas, dijarah dan diporak-porandakan tanah
kelahirannya, dibungkam ketika bersuara, tidak hanya sekali dua kali tetapi
secara historis selama lebih dari dua generasi, ini sudah bukan masalah
tersinggung atau tidak tersinggung. Ini adalah penindasan sistematis. Maaf
memaafkan sudah tidak lagi berlaku.
Masalah yang dihadapi oleh rakyat Papua bukan satu masalah yang bisa
diselesaikan dengan saling memaafkan, saling menghormati, atau dengan lebih
banyak dialog. Semua solusi ini mengasumsikan adanya ketidakmengertian dan
kesalahpahaman dari kedua pihak. Andai saja kedua pihak dengan hati dan pikiran
jernih bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan maka semua akan beres.
Begitu bayangannya. Tetapi mengapa lebih dari 50 tahun kemudian, yakni dua
generasi kemudian, masih belum bisa kita temui kejernihan hati ini? Apa kita
harus menunggu 50 tahun lagi?
Oleh karenanya kita harus dengan keras mengecam semua pendekatan yang
mendasarkan dirinya pada maaf-memaafkan dan dialog sosial. Pendekatan ini sudah
bukan lagi kenaifan semata tetapi usaha sengaja dan tersistematis untuk
menutupi akar permasalahan yang sesungguhnya, bahwa ada penindasan satu bangsa terhadap
bangsa lain di Papua, ada penjajahan di Papua, dan penjajahan ini adalah fitur
dari imperialisme dan kapitalisme. Sembari mulut mereka meminta maaf dan
mengumbar janji akan menindak aparat-aparat yang rasis, di belakang rezim
meningkatkan represi, dengan mengirim lebih banyak tentara ke Papua dan
menyensor internet.
Priayi Papua
Rejim dengan segera mengerahkan priayi-priayi Papua mereka untuk
mengendalikan situasi di Papua yang semakin tidak terkendali. Kapolri
menjelaskan bagaimana mereka “melibatkan seluruh tokoh masyarakat. Kemudian
tokoh adat (Papua) setempat untuk bersama-sama memberikan edukasi, lalu
memberikan pencerahan [!] kepada masyarakat (Papua di daerahnya masing-masing)
tentang situasi yang sebenarnya.” Di sini “pencerahan” sesungguhnya berarti
pengaburan tentang situasi yang sebenarnya.
Salah satu priayi ini adalah Lenis Kogoya, Staf Khusus presiden dan Ketua
Lembaga Masyarakat Adat. Dia mewanti-wanti agar masyarakat yang sedang
melakukan demonstrasi untuk tidak menyampaikan aspirasi disertai aksi
perusakan. Dia berujar: “Kepada masyarakat Papua, saya minta tolong jangan
rusak fasilitas negara. Kalau merusak, itu berarti rumah sendiri rusak.”
Staf Khusus kita ini perlu bercermin. Kalau rakyat Papua dalam
menyampaikan aspirasi mereka sampai melakukan aksi pengrusakan, ini berarti
selama ini aspirasi mereka tidak terdengar sehingga hanya pengrusakan yang
mereka percaya bisa membuat penguasa di Jakarta menoleh. Sebagai Staf Khusus
Kepresidenan untuk Papua ini berarti dia telah gagal. Dan sesungguhnya,
bagaimana mungkin aspirasi rakyat Papua terdengar ketika Staf Khusus dan “ketua
adat” kita yang paling dekat dengan pusat kekuasaan ini telinganya tuli,
matanya buta, dan mulutnya sudah bukan lagi corong aspirasi rakyat Papua tetapi
jadi corong Jakarta.
Kantor DPRD yang dirusak pun sesungguhnya tidak pernah dilihat oleh rakyat
Papua sebagai rumah mereka, tetapi sebagai rumah tinggal para penjajah.
Sementara rumah mereka sendiri yang sesungguhnya sudah rusak diinjak-injak oleh
boot-boot tentara dan kerukan perusahaan-perusahaan tambang. Bila Lenis Kogoya
berujar kalau kantor DPRD itu adalah “rumah sendiri” ini hanya menunjukkan
kalau dia sudah terlalu nyaman bernaung di bawah kantor pemerintah yang mewah
alih-alih bersama rakyat Papua.
Ketua-ketua adat dan tokoh-tokoh masyarakat Papua macam Lenis Kogoya ini
sudah terlalu banyak hari ini. Mereka-mereka ini telah dikooptasi dan
digemukkan oleh pemerintahan pusat untuk menjadi pewarta kedamaian di tengah
penindasan terhadap rakyat Papua yang terus berlangsung. Pesan mereka untuk
saling memaafkan, saling menghargai, saling menghormati menyiratkan kalau kedua
belah pihak itu setara. Kita cukup melihat foto pengepungan dan penyerbuan
asrama mahasiswa Papua di Surabaya untuk menghancurkan ilusi kesetaraan ini,
bahwa sebenarnya ada yang tertindas dan ada yang menindas.
Bayangan kesetaraan ini sesungguhnya adalah mimpi pribadi para
priayi-priayi Papua kita, yang memang ingin standar hidup dan status sosial
mereka setara dengan penjajah mereka. Sejak jaman baheula memang demikian
karakter dan cara pandang kaum priayi, yang puas jadi jongos kaum penjajah di
negeri manapun mereka berada. Taktik mengkooptasi pemimpin-pemimpin daerah
adalah taktik kolonial sepanjang masa, dan para penguasa Indonesia hari ini
ingat mereka pun dulu adalah jongosnya Belanda dan Jepang, dan hari ini tetap
menjadi jongosnya modal asing.
Victor Yeimo dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) benar sekali ketika
dia mengatakan, dalam pidatonya di depan ribuan massa Papua yang berkumpul di
beranda gedung gubernur Papua (19/8), bahwa “di gedung ini, ‘rakyat’ Papua kita
[merujuk pada para elite-elite pemerintahan Papua], gubernur ini, DPRP ini,
selama 19 tahun Otsus (Otonomi Khusus) berjalan hanya dijadikan sebagai
boneka Jakarta.” Lebih tepatnya sebenarnya orang-orang ini memilih menjadi
boneka Jakarta.
Lalu menunjuk ke Gubernur Papua di sampingnya, yang jelas merasa tidak
nyaman dan sreg dengan pidato Victor yang radikal, Victor mengecam dia dan
elite-elite Papua agar “jangan lagi jual isu Papua Merdeka untuk Otsus … jangan
lagi eksploitasi aspirasi murni rakyat Papua.” Ini disambut dengan sorak-sorai
massa. Inilah yang memang selalu dilakukan oleh para priayi Papua ini, yang
dengan cerdik memainkan isu kemerdekaan Papua sebagai alat tawar-menawar untuk
kepentingan mereka. Rakyat Papua akan baik sekali untuk tidak menaruh secuilpun
kepercayaan pada mereka, dan hanya percaya pada kekuatan mereka sendiri.
Militansi anak-anak muda Papua dan aksi massa yang menyebar selama satu minggu
terakhir ini adalah hasil dari kekuatan rakyat Papua, dan bukan dari para
priayi ini.
Kepentingan Modal dan Kapitalisme di bumi Papua
Ada pepatah yang mengatakan “Follow the money” atau “Ikuti uangnya”. Di
Papua, kita cukup ikuti emasnya dan akan kita temui akar permasalahannya.
Kepentingan korporasi pertambangan di Papua dilayani dan dijaga oleh
pemerintahan Indonesia. Angsa emas Papua ini menghasilkan telur-telur emas (dan
tembaga) sebesar 3,1 miliar dolar AS pada tahun 2015 saja, dan oleh karenanya
tidak boleh terusik oleh hak-hak demokratik rakyat Papua. Segala manifestasi
demokratik yang mengancam angsa emas ini maka dari itu harus ditumpas dengan
kejam.
Apa yang disebut NKRI yang meliputi Papua dipertahankan secara paksa oleh
bayonet tentara dan juga oleh priyayi-priyayi Papua serta selapisan kecil kaum
kapitalis Papua yang gemuk dari relasi penindasan yang ada. Tuntutan untuk hak
penentuan nasib sendiri, yang secara konkret berarti referendum, oleh karenanya
menjadi hak demokratik paling dasar bagi rakyat Papua. Rakyat Papua punya hak
untuk ditanya apakah mereka masih ingin menjadi bagian dari Republik Indonesia
atau ingin pisah jalan sebagai satu bangsa yang berdaulat.
Kepentingan korporasi Freeport menentang hak penentuan nasib sendiri Papua
karena ini dapat membuka prospek gerakan nasionalisasi atas
perusahaan-perusahaan tambang. Setelah memutuskan untuk bebas dari Indonesia,
tidak menutup kemungkinan kalau rakyat Papua juga akan memutuskan untuk bebas
dari Freeport, terutama karena Freeport telah memainkan peran sentral dalam
menjajah Papua.
Selain itu, hak penentuan nasib sendiri bukan hak yang berdiri sendiri
tetapi terkait pula dengan masalah ekonomi. Untuk menyelesaikan kemiskinan dan
ketertinggalan yang teramat parah di Papua maka kekayaan alam Papua harus didedikasikan
sepenuhnya untuk program-program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur
yang ambisius, bukan untuk diboyong ke bursa-bursa saham New York dan London.
Di sini kita bisa melihat kalau perjuangan hak penentuan nasib sendiri adalah
ancaman besar bagi kepentingan kapitalisme, khususnya modal asing, yang tidak
terbatas pada Amerika Serikat dan Australia saja karena suplai/perdagangan emas
dan tembaga, serta minyak bumi dan LNG, adalah masalah kepentingan kapital
sedunia.[1]
Oleh karenanya perjuangan kemerdekaan Papua memiliki prospek untuk pecah
dari kapitalisme dan berangkat ke sosialisme. Tentunya prospek ini tetap hanya
jadi prospek kalau tidak ada organisasi dan kepemimpinan yang secara sadar
memajukan program-program sosialis.
Komunitas Internasional
Bila seperti yang telah kita paparkan bagaimana perjuangan pembebasan
nasional Papua adalah ancaman bagi kepentingan modal asing, maka kita juga
perlu kritis terhadap pendekatan yang bersandarkan pada dukungan dari apa yang
kerap disebut “komunitas internasional”. Kalau yang dimaksud adalah menggalang
dukungan rakyat pekerja di negeri-negeri lain, maka ini adalah metode yang
efektif. Solidaritas rakyat pekerja yang tertindas adalah senjata yang kuat
dalam melawan penjajahan di muka bumi. Sebuah kampanye bisa dimulai untuk
menggalang solidaritas dari gerakan buruh AS, dengan tujuan mengekspos
kejahatan perusahaan AS Freeport dan juga bagaimana pemerintahan AS melindungi
Freeport.
Namun kerap kali terselubung dalam pendekatan “komunitas internasional”
ini adalah melobi dan meminta sokongan dari PBB, atau dari berbagai badan-badan
internasional lainnya, atau dari pemerintahan ini atau itu, yang notabene
adalah institusi-institusi yang melayani kepentingan modal. PBB adalah sarang
penyamun, dibentuk khusus untuk menjaga keberlangsungan imperialisme dunia,
yang diberi kedok “perdamaian dunia”.
PBB adalah badan yang bertanggung jawab atas New York Agreement 1962 dan
PEPERA 1969, yang jadi dasar legal atas penjajahan Papua. Oleh karenanya ketika
Benny Wenda dan ULMWP menyampaikan petisi pada PBB -- yang lalu disebutnya
sebagai hari bersejarah bagi rakyat Papua -- ini sungguh bertentangan dengan
sejarah penjajahan Papua yang sesungguhnya, yang mana PBB memainkan peran
sentral. Sebuah argumen mungkin bisa dibuat bahwa petisi ke PBB ini dilakukan
semata agar isu Papua bisa jadi sorotan internasional, tetapi ada banyak cara
lain yang tidak bersandarkan pada PBB yang lebih efektif untuk meluaskan isu
Papua. Terlebih, sorotan yang kita inginkan adalah sorotan dari kelas tertindas
untuk menelanjangi sistem imperialisme, yang mana PBB adalah bagian integral
dari sistem imperialisme. Sorotan dari kelas tertindas bisa kita dapatkan lewat
sokongan dari organisasi-organisasi massa kelas tertindas (serikat buruh,
partai buruh, serikat tani, dsb.)
Kalaupun ada negeri-negeri anggota PBB yang memberi dukungan pada
perjuangan rakyat Papua, ini hanyalah permainan diplomasi yang hampa. Bukankah
dalam PBB Indonesia -- dan banyak negeri lainnya -- juga memberikan dukungan
pada perjuangan Palestina dalam melawan Israel? Puluhan resolusi telah
ditelurkan oleh Majelis Umum PBB untuk mengecam penjajahan Israel atas
Palestina, tetapi resolusi ini seperti macan ompong. Tidak ada satupun hal yang
dilakukan oleh PBB untuk sungguh-sungguh membebaskan rakyat Palestina. Sejak
1993 Majelis Umum PBB telah berulang kali mengecam embargo terhadap Kuba,
tetapi kecaman ini hanya celoteh kosong karena AS tetap melanjutkan embargo
ini. Resolusi-resolusi hampa ini punya tujuan khusus untuk menciptakan ilusi di
mata rakyat pekerja seluruh dunia kalau PBB adalah organ yang progresif, tetapi
pada kenyataannya tidak mengubah apapun dalam relasi imperialisme yang ada,
antara yang menjajah dan terjajah.
Dalam sejarah, kemenangan kaum terjajah tidak pernah diraih lewat PBB,
tetapi lewat perjuangan rakyat tertindas itu sendiri, dari aksi massa sampai
perjuangan bersenjata. Peran PBB adalah menjaga agar perjuangan pembebasan
nasional ini tidak melampaui batas-batas kapitalisme dan tetap di jalur yang
aman bagi keberlangsung relasi imperialis. PBB jadi tempat bagi kaum imperialis
untuk menjebak perjuangan pembebasan nasional dalam saluran “legal”, dimana PBB
menjadi “penengah” seperti halnya ia jadi “penengah” yang menyerahkan Papua ke
tangan Orde Baru untuk dijarah.
Inilah karakter sesungguhnya dari PBB, dan banyak institusi internasional
lainnya. Perjuangan pembebasan nasional Papua hanya bisa mengandalkan kekuatan
dirinya sendiri, dan satu-satunya sekutu yang bisa mereka percaya adalah
kekuatan solidaritas kaum buruh, tani, kaum miskin kota sedunia, khususnya
rakyat pekerja Indonesia.
Sekutu perjuangan pembebasan nasional Papua
Di tengah rasisme dan patriotisme yang menjangkiti selapisan besar rakyat
pekerja Indonesia, mungkin akan absurd kalau kita mengatakan bahwa rakyat
pekerja Indonesia adalah sekutu rakyat pekerja Papua dalam perjuangan
kemerdekaannya. Tetapi ini sebenarnya tidak lebih absurd daripada mengharapkan
PBB, sarang penyamun imperialis ini, untuk menyelesaikan masalah penjajahan,
yang seperti meminta harimau untuk makan sayur kol.
Ya, ada prasangka rasisme yang meracuni selapisan besar rakyat Indonesia.
Kita harus mengakui ini dan memeranginya dengan tegas dan konsekuen, setiap
saat dan dimanapun. Namun rasisme ini bukan sesuatu yang jatuh dari langit,
bukan muncul begitu saja dari benak orang-orang Jawa atau non-Papua, bukan
watak alami orang Indonesia. Sentimen rasisme anti-Papua ini diciptakan,
dikembangkan, dan dipelihara oleh rejim untuk melanggengkan eksploitasi Papua
oleh segelintir pemilik modal, dengan memecah belah rakyat. Dalam kata lain,
prasangka rasisme ini bukan sesuatu yang kekal dan oleh karenanya dapat
dihancurkan. Seperti halnya ilusi pada Orba dan Soeharto selama 30 tahun bisa
dipatahkan yang lalu berujung pada robohnya Orba, maka racun rasisme -- yang
merupakan produk terutama Orba -- dapat juga dipatahkan.
Tugas mematahkan rasisme ini adalah tanggung jawab terutama gerakan buruh
Indonesia dengan mendorong perspektif persatuan kelas. Serikat-serikat buruh
dan kepemimpinannya harus senantiasa mendidik rakyat Indonesia bahwa rakyat
Indonesia dan Papua memiliki musuh yang sama, yakni pemerintahan Indonesia
dengan polisi dan tentaranya yang melayani kepentingan modal. Pemerintahan yang
meloloskan PP78, yang sekarang berniat merevisi UUK, juga membungkam hak-hak
demokratik rakyat Papua. Polisi dan tentara yang sama menangkap aktivis-aktivis
buruh pada aksi menentang revisi UUK tempo hari dan juga aktivis-aktivis Papua
di Surabaya. Keserakahan kaum pemilik modal untuk profit entah di bumi
Indonesia atau Papua adalah sama, dan konsekuensinya juga sama: eksploitasi
buruh, perampasan tanah dan penghancuran alam.
Karena semua kondisi objektif ini maka prospek melunturkan prasangka
rasisme dan patriotisme di antara rakyat Indonesia untuk bisa mengakui hak
penentuan nasib sendiri Papua adalah prospek yang lebih realistis dibandingkan
mencoba meyakinkan sarang penyamun imperialis PBB bahwa yang terjajah harus
diperbolehkan merdeka. Ini masalah memilih yang mana: lebih mempercayai kapasitas
revolusioner rakyat pekerja atau lebih mempercayai orang-orang berdasi di
kantor-kantor PBB.
Dengan perjuangan bersama melawan kapitalisme dan imperialisme, rakyat
pekerja Indonesia dan Papua dapat membangun tali persaudaraan kelas. Ini bukan
tugas yang mudah, tetapi kita tahu persatuan kelas pekerja Indonesia dan Papua
adalah persatuan yang paling ditakuti oleh kelas penguasa.
“Tidak ada lagi solusi lain, referendum di Papua Barat”
“Tidak ada lagi solusi lain, referendum di Papua Barat,” pekik Victor Yeimo
dari KNPB di akhir pidatonya di hadapan massa, yang disambut dengan pekik
“Papua Merdeka! Papua Merdeka!”
Pada akhirnya, satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kebangsaan
Papua adalah referendum kemerdekaan. Banyak yang menepis referendum sebagai
sebuah langkah yang terlalu berlebihan, dan yang dibutuhkan hanyalah dialog
yang lebih luas saja. PRD misalnya menuntut “dialog luas dan demokratik”. Namun
dialog yang sesungguhnya antara dua pihak yang setara hanya bisa dipastikan
lewat pengakuan akan kebebasan rakyat Papua untuk memilih tetap berada dalam
bingkai NKRI atau keluar dari NKRI sebagai satu bangsa yang berdaulat.
Buat apa diskusi dan dialog kalau sejak awal sudah ditentukan kalau rakyat
Papua harus selalu berada dalam NKRI? Dialog macam apa yang bisa tercapai
misalnya antara seorang suami dan istri -- dimana sang istri adalah korban
kekerasan rumah tangga -- bila sudah ditentukan sejak awal kalau sang istri
tidak punya hak untuk menceraikan sang suami kalau dialog tersebut buntu dan
tidak ada jalan keluar untuk membenahi hubungan tersebut? Dialog tanpa
pengakuan hak menentukan nasib sendiri adalah dialog palsu.
Hanya dengan referendum yang bebas maka dialog antara rakyat Papua sendiri
dapat berlangsung dengan seluas-luasnya dan secara demokratik, karena tidak
semua orang Papua tentunya setuju dengan program merdeka dan mereka pun punya
hak untuk bersuara. Lewat proses referendum ini rakyat Papua bisa mendiskusikan
relasi seperti apa yang mereka inginkan dengan Indonesia, negara macam apa yang
ingin mereka bangun, dan masa depan seperti apa yang mereka dambakan.
Lewat referendum yang bebas, dialog yang sesungguhnya -- bukan dialog
dimana satu pihak memegang bayonet -- antara Papua dan Indonesia juga bisa
dilaksanakan. Indonesia punya hak untuk mencoba meyakinkan rakyat Papua lewat
argumen rasional kalau Papua akan lebih baik dalam NKRI -- sebuah argumen yang
sulit dibuat mengingat rekam jejak yang ada dan kecenderungan besar
pemerintahan Indonesia untuk menggunakan kekerasan dalam semua hal yang
menyangkut Papua.
Syarat terutama untuk referendum yang bebas adalah penarikan mundur semua
tentara Indonesia dari tanah Papua. Selama tentara Indonesia masih ada di bumi
Papua, maka selama itu pula tidak ada kebebasan berpendapat dan berkumpul, yang
krusial bagi proses referendum. Penyelenggaraan referendum ini juga harus
dipercayakan sepenuhnya pada rakyat Papua sendiri.
Gerakan buruh Indonesia harus siap menunjukkan solidaritasnya, bukan
dengan kata-kata saja tetapi dengan tindakan, dengan siap sedia memobilisasi
demo dan pemogokan umum yang dapat melumpuhkan pemerintahan bila pemerintahan
Indonesia ingin mengulang insiden berdarah Timor Leste.
Tetapi sesungguhnya jaminan terbaik atas pengakuan hak penentuan nasib
sendiri adalah bila buruh Indonesia berkuasa. Negara yang ada hari ini adalah
pelayan modal, selama negara ini melayani modal maka selama itu pula mereka
akan mencoba merantai Papua, sang angsa emas mereka. Sebaliknya Negara Buruh
tidak punya kepentingan mengeksploitasi manusia lain, dan justru punya tugas
mulia untuk mengakhiri penindasan manusia atas manusia. Oleh karenanya hanya
Negara Buruh yang punya landasan kokoh untuk mengakui hak penentuan nasib
sendiri Papua, sampai pemisahan bila memang demikian hasil referendum
kemerdekaan.
Tentunya rakyat Papua tidak dapat menunda perjuangan mereka sampai kelas
buruh Indonesia berkuasa. Urgensi untuk merealisasikan slogan “buruh berkuasa,
rakyat sejahtera” oleh karenanya ada di pundak gerakan buruh Indonesia, ada di
pundak kaum buruh sadar kelas. Solidaritas terbaik yang bisa diberikan kelas
buruh Indonesia pada perjuangan kemerdekaan Papua adalah bekerja lebih keras
dan konsekuen untuk membangun gerakan yang dapat merebut kekuasaan politik dan
ekonomi dari kelas penguasa.
Selama proses referendum ini, rakyat Papua akan dapat berdiskusi dengan
sebebas-bebasnya di antara diri mereka sendiri apa itu kemerdekaan yang sejati
dan bagaimana meraihnya. Apakah Papua sungguh bisa dikatakan merdeka kalau
modal-modal asing pertambangan masih mendominasinya? Apakah Papua ingin
mengulang nasib Timor Leste -- atau bahkan Indonesia -- yang secara formal
merdeka tetapi sebenarnya ada di bawah jempol modal asing, sebenarnya masih
terjajah oleh bursa-bursa saham dunia? Apakah kesejahteraan rakyat Papua bisa
tercapai di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang mengutamakan laba untuk
segelintir orang? Apakah kemerdekaan Papua nantinya hanya jadi kemerdekaan
segelintir kapitalis Papua? Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan konkret yang
jawabannya ada di luar kapitalisme. Terlepas bagaimana rakyat Papua
menjawabnya, mereka hanya bisa menjawabnya bila hak demokratik mereka untuk
referendum dipenuhi.
----------
[1] Berikut
adalah daftar sejumlah perusahaan-perusahaan tambang dan migas transnasional
yang beroperasi di Papua: Union Oil, Amoco, Agip, Conoco, Phillips, Esso,
Texaco, Mobil, Shell, Petromer Trend Exploration, Atlantic Richfield, Sun Oil
and Freeport (AS); Oppenheimer (Afrika Selatan); Total SA (Prancis); Ingold
(Kanada); Marathon Oil, Bird’s Head Peninsula (Inggris); Dominion Mining, Aneka
Tambang, BHP, Cudgen RZ, Rio Tinto (Australia/Inggris).
0 comments:
Post a Comment