KATA Radikalisme sedang mengalami deformasi luar
biasa. Maknanya sudah bergeser jauh dari positif dan progressif menjadi sangat
negatif dan reaksioner. Dalam konteks Indonesia, kata “radikal” muncul dari
diskusi tentang terorisme. Terminologi yang sebetulnya telah lama digunakan di
Indonesia ini kembali marak menguak setelah kasus terorisme di Surabaya,
Sidoarjo, dan Riau pada Mei 2018 lalu.
Media-media masa baik cetak maupun elektronik pejabat
negara, dan berbagai kalangan mengalamatkan kekerasan yang dilakukan para
pelaku teror kepada satu sebab, yakni radikalisme. Kemudian bermunculan
berbagai analisis yang menuding radikalisme sebagai pangkal dari terorisme dan
intoleransi. Sampai-sampai, pemerintah membangun sebuah gerakan baru untuk
melawan ancaman terorisme, yakni program “de-radikalisasi”. Apa sebenarnya
radikalisme itu, sehingga dituduh punya relasi adekuat
dengan actus terorisme? Tulisan ini coba melihat radikalisme dengan
kacamata positif.
Memahami Radikalisme
Secara etimologis, term “radikal” berasal dari
kata bahasa Latin, yakni “radix/radici”, yang berarti “akar”. Akar berarti
dasar. Bertolak dari pemahaman ini, dalam konteks politik, istilah “radikal”
mengacu pada individu, gerakan atau partai yang memperjuangkan perubahan sosial
atau sistem politik secara mendasar atau keseluruhan.