31.
Ketujuh, andil gerakan perempuan dalam mendorong transformasi ekonomi dan
politik di Amerika Latin, tidak begitu tampak dalam gerakan-gerakan Kiri
tersebut di atas. Baru di Chile kita melihat munculnya seorang kandidat
presiden yang tidak hanya Sosialis, tapi juga perempuan. Terpilih karena
dirinya sendiri, bukan mewarisi tampuk kepresidenan dari suami yang meninggal
atau karena sebab-sebab lain tidak mampu menjalankan tugasnya. Mungkin itu
sebabnya, ia berusaha betul-betul memanfaatkan profil gendernya. Ia berjanji
bahwa separuh dari jabatan di kabinetnya akan dialokasikan kepada perempuan.
Selain itu, sebagai presiden ia akan mendorong keluarnya undang-undang yang
akan mewajibkan partai-partai politik mengisi quota tertentu bagi perempuan
sebagai kandidat untuk pemilihan jabatan di berbagai jenjang (Langman & Contreras
2005: 55).
32.
Kemunculan Bachelet ke pentas politik nasional tentunya tidak terlepas dari
peranan gerakan perempuan di Chile, khususnya Gerakan Perempuan untuk
Sosialisme (Movimiento Mulheres por el Socialismo, MMS), yang terbentuk tahun
1984, yang mulai memadukan analisis kelas dengan analisis gender (lihat
Chuchryk 2005: 203). Namun kita masih harus melihat, seberapa jauh korban
kudeta Pinochet tanggal 11 September 1973 itu akan mengawinkan agenda
pemberdayaan perempuan dengan agenda demiliterisasi dan pemberdayaan buruh
Chile, di masa kepresidenannya.
33.
Last but not least, gerakan Kiri yang paling unik adalah Zapatista, yang boleh
dikata merupakan pemicu gerakan-gerakan Kiri yang lain di daratan Amerika
Latin. Gerakan ini memadu cara perjuangan bersenjata dengan cara-cara
perjuangan lain yang sudah lazim bagi gerakan-gerakan Kiri lain di Amerika
Latin, bahkan di dunia. Dalam hal ini, Zapatista ada persamaan dengan gerakan
penumbangan diktator Batista di Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro dan
Ernesto “Che” Guevara, serta gerakan Sandinista di Nikaragua. Namun berbeda
dengan revolusi Kuba dan Sandinista, Zapatista tidak berusaha merebut tampuk
kekuasaan negara di Mexico, tapi lebih memusatkan perhatian mereka pada
penegakan demokrasi langsung di negara bagian Chiapas, sambil memperluas ruang
politik bagi kemunculan partai-partai oposisi baru di lingkup nasional.
IMPLIKASI
TEORETIS:
34.
APA implikasi teoretis dari pengalaman empiris arus pasang gerakan Kiri di
Amerika Latin itu? Saya lihat, ada tiga bidang yang perlu pembahasan yang agak
kritis. Pertama, karakteristik gerakan-gerakan Kiri tersebut sebagai gerakan
sosial (social movement ). Kedua, karakteristik demokrasi yang ingin diwujudkan
oleh gerakan-gerakan tersebut. Dan ketiga, apa yang dapat diharapkan dari
masyarakat-masyarakat pasca-revolusi, setelah tokoh-tokoh pemimpin
gerakan-gerakan tersebut berhasil merebut tampuk kekuasaan negara.
35.
Seperti yang telah disinggung di atas (lihat butir-butir 25 dan 29),
gerakan-gerakan Kiri ini umumnya merupakan koalisi di antara berbagai gerakan
sosial (social movement), dengan karakteristik tambahan bahwa gerakan buruh,
khususnya gerakan buruh industri manufaktur yang berbasis di kota, tidak
memainkan peranan yang dominan atau menentukan dalam gerakan-gerakan Kiri
tersebut.
36.
Realitas arus pasang Gerakan Kiri di Amerika Latin itu lebih mendekati teori
‘gerakan sosial baru’ (new social movements) dari pasangan pemikir
Post-Marxist, Ernesto Laclau (berasal dari Argentina) dan Chantal Mouffe
(berasal dari Perancis). Konsep ‘gerakan sosial baru’ sebagai subyek
revolusioner masa kini, merupakan pemberontakan mereka terhadap ajaran Marx
yang melihat kaum buruh (proletariat) sebagai subyek revolusioner yang utama.
Konsep ini merangkum berbagai gerakan atau perjuangan (struggle ) yang tidak
berbasis kelas dan bukan gerakan buruh, seperti gerakan urban, gerakan
lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan anti-institusi, gerakan feminis,
gerakan anti-rasisme, gerakan etnis, gerakan regional, dan gerakan perdamaian
(Laclau and Mouffe 1999: 159-60).
37.
Walaupun disebut gerakan sosial ‘baru’, gerakan-gerakan itu tercetus oleh
proses yang mulai mengalami akselerasi di tahun 1940an, yakni Fordisme. Istilah
ini dipopulerkan oleh Antonio Gramsci untuk sistem ban berjalan yang dirintis
Henry Ford dalam pabrik mobilnya di Detroit (AS), yang ditiru oleh FIAT di
Turino, Italia. Sistim ini, menurut Laclau dan Mouffe, merupakan “articulation
between a labour process organized around the semi-automatic production line,
and a mode of consumption characterized by the individual acquisition of
commodities produced on a large scale for private consumption” (1999: 160).
Sistem ini punya dampak luarbiasa, sebab “This penetration of capitalist
relations of production, initiated at the beginning of the century and stepped
up from the 1940s on, was to transform society into a vast market in which new
‘needs’ were ceaselessly created, and in which more and more of the products of
human labour were turned into commodities. This commodification’ of social life
destroyed previous social relations, replacing them with commodity relations
through which the logic of capitalist accumulation penetrated into increasingly
numerous spheres. Today it is not only as a seller of labour-power that the
individual is subordinated to capital, but also through his or her
incorporation into a multitude of other social relations: culture, free time,
illness, education, sex and even death. There is practically no domain of
individual or collective life which escapes capitalist relations” (Laclau &
Mouffe 1999: 160-1).
38.
Masyarakat konsumen ini, kata Laclau dan Mouffe, melahirkan berbagai bentuk
perjuangan baru yang menunjukkan perlawanan terhadap bentuk-bentuk subordinasi
baru, yang muncul dari jantung masyarakat baru ini. Aksi-aksi menentang pemborosan
sumber-sumber daya alam, pencemaran dan perusakan lingkungan, akibat ideologi
produksi demi produksi ini, melahirkan gerakan lingkungan. Aksi-aksi menentang
hancurnya kawasan kota karena urbanisasi besar-besaran melahirkan gerakan untuk
menuntut kehidupan kota yang lebih baik. Sedangkan produksi massal yang
menurunkan kualitas barang dan jasa, melahirkan gerakan konsumen. Dari sinilah
dapat kita lihat bagaimana habitat (lingkungan tempat tinggal), konsumsi, dan
kebutuhan akan berbagai macam jasa, memicu gerakan-gerakan baru yang menentang
ketidakadilan dan menuntut hak-hak baru (Laclau & Mouffe 1999: 161).
39.
Walaupun menolak gagasan Marx terhadap peranan buruh sebagai subyek
revolusioner, agen perubahan sosial utama menuju sosialisme, gagasan ‘gerakan
sosial baru’ Laclau dan Mouffe ini tetap berakar di pemikiran Marx, baik secara
langsung maupun melalui re-interpretasi pokok-pokok pikiran Marx oleh Gramsci.
Dari Gramsci mereka secara khusus meminjam konsep hegemoninya, sebab tugas
gerakan-gerakan sosial baru itu, menurut Laclau dan Mouffe, adalah menciptakan
suatu hegemoni baru. Mereka tergerak oleh kritik Marx terhadap para filsuf,
dalam tesis kesebelas tentang Feuerbach, yang dijabarkan oleh Gramsci menjadi
perbedaan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Bahkan
kepedulian Marx secara umum tentang berbagai bentuk alienasi (keterasingan),
baik di bidang ekonomi maupun di bidang filsafat dan teologi, yang paling
eksplisit dituangkan Marx dalam Naskah-Naskah Paris tahun 1844, melandasi
ketidakterikatan pada satu kelas atau kategori sosial saja. Akhirnya, mereka
juga ‘berhutang’ kepada Gramsci, yang pertama kali berbicara tentang aliansi
antara buruh dan petani, dan menciptakan kategori “subaltern classes” yang
kemudian mengalir ke dalam konsep ‘gerakan sosial baru’. Secara umum, evolusi
pemikiran dari Marx ke Gramsci ke Laclau dan Mouffe dapat dilihat di Lampiran
1.
40.
Gagasan ‘gerakan sosial baru’ ini, telah mulai mengilhami gerakan perempuan di
Indonesia (lihat Budianta 2003). Soalnya, gagasan ini berkaitan dengan gagasan
demokrasi yang lebih radikal, tapi mengakui pluralitas gerakan. Seperti kata
Chantal Mouffe: Democratic discourse questions all forms of inequality and
subordination. This is why I propose to call those new social movements ‘new
democratic struggles’ because they are extensions of the democratic revolution
to new forms of subordination. Democracy is our most subversive idea because it
interrups all existin discourses and practices of subordination (dikutip dalam
Budianta 2003: 149).
41.
Selain pluralitas gerakan, atau “pluralism of subjects”, yang paling penad
(relevan) dari teori Mouffe bagi gerakan perempuan, menurut Melani Budianta,
adalah “solidaritas” di antara gerakan gerakan-gerakan demokratik itu. Kata
Mouffe: A new conception of democracy also requires that we transcend certain
individualistic conception of rights and that we elaborate a central notion of
solidarity. This can only be achieved if the rights of certain subjects are not
defended to the detriment of the rights of other subjects (dikutip dalam
Budianta 2003: 150).
42.
Secara tidak langsung, kita sudah memasuki persoalan teoretis kedua yang dapat
dijabarkan dari realitas empiris kebangkitan gerakan Kiri di Amerika Latin ini,
yakni demokrasi. Demokrasi macam apa yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan
Kiri yang mengorbitkan pemimpin-pemimpin baru di Brazil, Venezuela, Bolivia,
dan Chile itu? Termasuk, demokrasi macam apa yang diperjuangkan oleh Zapatista
di Mexico, yang tidak berusaha merebut kekuasaan negara? Yang jelas, yang
diperjuangkan itu bukanlah semata-mata demokrasi liberal yang hanya ditandai
dengan pergantian kepemimpinan secara periodik dan damai, yang disalurkan lewat
partai-partai politik, yang tetap meminggirkan mayoritas rakyat miskin, dan
tidak dibarengi dengan demokratisasi alat-alat produksi (lihat Whitehead 1994).
43.
Sebagai alternatif bagi kaum Kanan yang terlalu mengunggulkan demokrasi
liberal, maupun kaum Kiri lama (baca: kaum Marxis-Leninis) yang mengunggulkan
perebutan kekuasaan Negara oleh satu partai pelopor (vanguard) yang
mengatasnamakan kaum proletar, duet Laclau dan Mouffe mengusulkan bahwa tugas
gerakan-gerakan sosial baru adalah membangun apa yang mereka sebut “demokrasi
radikal pluralis”, dalam konteks munculnya antagonisme-antagonisme sosial baru
dalam masyarakat kapitalis maju (lihat Hutagalung n.d).
44.
Istilah “radikal” dalam konsep demokrasi plural ini, menurut Daniel Hutagalung,
mahasiswa Ernesto Laclau di Universitas Essex di Inggris dapat bermakna sebagai
berikut. Pertama, demokrasi haruslah pluralis-radikal dalam arti, pluralitas
dari identitas-identitas yang berbeda tidaklah transeden dan tidak didasarkan
pada pasar positifis apapun. Kedua, demokrasi radikal plural adalah di mana
demokrasi plural dan perjuangan untuk kebebasan dan persamaan (freedom and
equality ) dihasilkan, haruslah diperdalam (deepened ) dan diperluas ke seluruh
wilayah kehidupan masyarakat. Ketiga, perjuangan demokrasi radikal plural akan
melibatkan di dalamnya sosialisasi produksi, tetapi bukan berarti hanya buruh
yang mengatur, tetapi partisipasi sepenuhnya dari semua subyek dalam pembuatan
keputusan mengenai apa yang akan diproduksi, bagaimana diproduksi dan format
bagaimana produk-produk akan didistribusikan. Keempat, tugas utama demokrasi
radikal adalah memperdalam revolusi demokratik dan mengaitkan berbagai
perjuangan demokratik yang beragam. Tugas seperti itu mensyaratkan penciptaan
posisi-posisi subyek baru yang dapat menerima berbagai artikulasi yang sudah
umum, seperti anti-rasisme, anti-seksisme dan anti-kapitalisme (Hutagalung
n.d.).
45.
Akhirnya, menghadapi era baru di mana semakin banyak posisi politis di tingkat
lokal dan nasional di Amerika Latin berhasil direbut oleh gerakan Kiri, kita
juga perlu membaca kembali wanti-wanti Samir Amin, seorang Marxis Mesir yang
meneruskan teladan Frantz Fanon untuk tetap bersikap kritis terhadap mantan
kawan seperjuangan. Khususnya, kritis terhadap jebakan-jebakan yang sudah, atau
dapat, dihadapi dalam era pasca-revolusi. Samir Amin menulis (1993), bahwa di
banyak negara yang sudah berhasil direbut kepemimpinan nasionalnya oleh
partai-partai Kiri, yang terjadi bukan transisi ke Sosialisme, tapi sekedar
rekonstruksi nasional demi mempertahankan popularitas rezim yang berkuasa. Ia
juga memperkenalkan istilah recompradorization, atau ‘re-kompradorisasi’, yakni
penguasaan kembali sektor-sektor ekonomi yang strategis oleh Negara atau kelas
yang berkuasa, untuk diintegrasikan kembali ke sistem ekonomi kapitalis global.
Kedua gejala tersebut – rekonstruksi nasional populer dan re-kompradorisasi –
saling berkaitan, dan tampaknya sudah sedang terjadi di Brazil di bawah Lula.