Agama
dan Materialisme, apa kalian percaya dua hal ini sebenarnya bertentangan satu
dengan yang lainnya? Sebagian besar kaum Materialisme memang benar-benar
menolak agama karena berbagai alasan, tetapi alasan utama penolakan agama ini
adalah bahwa kaum Materialisme tidak percaya hal-hal yang ghaib, hal yang ada
di luar nalar dan akal manusia. Tetapi sebagian besar Marxis di Indonesia
adalah umat yang beragama. Kita menemukan fenomena bahwa Indonesia adalah
negara yang memiliki kaum Materialisme Dialektika yang beragama terbesar di
dunia.
Mengapa
bisa begitu? Indonesia adalah negara yang memiliki orang-orang yang beragama
Islam terbesar di dunia dan pada masa pra kemerdekaan serta orde lama bahkan
hingga kini, orang-orang Islam itu sebagian adalah kaum Marxis yang
bermaterialisme Dialektika. Kontradiksi ini mereka satukan dan mereka ramu
menjadi suatu ajaran agama yang modern dan non konservatif. Mereka percaya
bahwa agama Islam adalah agama yang paling rasional di antara agama lainnya
(walaupun kita melihat bahwa Monisme ala Einstein di rasa paling rasional di
antara yang lainnya).
Dalam
artikel yang singkat ini, kita akan mengambil batasan bukan pada umat beragama,
namun pada kaum Materialisme yang beragama. Fenomena ini sungguh unik, kaum
Materialisme yang beragama, terutama agama Islam sangat berusaha agar agama
tersebut selamat dari lembah konservatif dan bisa bertahan di era ketika Tuhan
telah mati (ungkapan ala Nietzche mungkin tepat untuk menggambarkan suasana dunia
pada masa kini). Dalam hal ini, saya akan mengonsepkan Materialisme subjektif,
bahwa tidak selamanya Materialisme itu anti dengan agama, terutama Islam karena
agama Islam adalah agama yang paling rasional dan masuk akal, sesuai dengan
jalan dan nalar Materialisme yang notabene memang merupakan jalan filsafat yang
paling sempurna.
Pada
dasarnya, Materialisme pra Marxisme merupakan Materialisme yang sebagian besar
masih bergantung dengan adanya Tuhan. Hal ini jelas ketika beberapa filsuf
mencoba merasionalkan Tuhan itu sendiri sehingga mereka dapat menarik
kesimpulan bahwa Materialisme yang mereka anut tidak akan bertentangan dengan
agama. Para filsuf Materialisme pra Marxisme yang merupakan orang beragama
misalnya adalah John Locke, David Hume, dam Francis Bacon.
Feuerbach
sebagai filsuf Materialisme terakhir sebelum Marx dan Engels yang memang
mengungkapkan Materialisme yang hampir sempurna seperti yang disebutkan dalam
bukunya “Hakikat Agama Kristen” masih mengandung unsur Idealisme agama dalam
teorinya. Bagaimana dengan Marx? Materialisme Dialektika merupakan suatu
filsafat terakhir dan paling relevan hingga kini akhirnya membebaskan diri dari
ajaran agama. Hal ini bisa terlihat ketika Marx dan Engels mendukung teori
evolusi Darwin juga menentang keras Idealisme ala Plato. Marx akhirnya juga
mengkritik Hegel yang merupakan guru filsafatnya sebagai filsafat yang using.
Dialektika Marx yang merupakan kunci utama dalam filsafatnya akhirnya
berbanding terbalik dengan Dialektika Hegel yang di dasarkan pada keutamaan ide
sebagai pengubah sejarah.
Materialisme
Dialektika benar-benar bebas dari segala ajaran mistisme yang selama ini
hinggap dalam sejarah manusia selama ribuan tahun. Kita mengenal abad kegelapan
(abad 5-15 M) karena manusia pada masa ini terlalu percaya pada dogma agama.
Kita menyebut Rennaissance setelah abad kegelapan karena manusia telah terbebas
dari dogma-dogma tersebut dan mencapai tahap yang merasionalkan akal.
Materialisme Dialektika sebagai filsafat yang paling relevan hingga kini bahkan
mengungkapkan bahwa beberapa metode ilmu pengetahuan yang mengandung unsur
adanya Perancangan Cerdassebagai penggerak alam semesta itu adalah suatu
kesalahan sains paling fatal.
Para
kaum Materialisme Marxisme tidak percaya dengan adanya big bang dan materi gelap,
juga tidak percaya dengan adanya penciptaan manusia dan tidak percaya soal
Perancangan Cerdas yang mengatur tatanan Alam Semesta ini secara keseluruhan
(dalam buku Reason in Revolt karya Alan Woods jelas memaparkan hal
ini, bahwa apa yang di sebut Materialisme Dialektika yang sejalan dengan ilmu
pengetahuan juga berguna untuk mengkritik sains mutakhir yang masih mengandung
unsur Idealisme yang cukup kuat).
Namun,
Materialisme Dialektika bukanlah suatu filsafat yang terus menerus fokus
terhadap kebenaran ilmu pengetahuan, melainkan lebih kepada metode analisis
masyarakat serta sejarahnya. Materialisme Dialektika benar-benar menjadi induk
dari segala ajaran Marxisme. Tidak ada satupun metode dan teori Marxisme yang
tidak bersandar pada Materialisme Dialektika. Marxisme sebagai suatu ideologi
sendiri memang khusus di peruntukkan untuk menciptakan kesadaran masyarakat
tanpa kelas dan memberangus Kapitalisme.
Namun
pada akhirnya, ketika umat Islam (agama yang paling banyak menganut
Materialisme) bergabung dalam perjuangan kaum Marxisme, umat Islam banyak
mendapat cercaan bahwa mereka tidak sanggup untuk menanggalkan agamanya demi
sebuah perjuangan. Hal ini merupakan cemoohan yang paling kasar diterima oleh
kaum beragama Karena pada dasarnya kaum Marxis yang beragama merupakan kaum
Marxis yang percaya bahwa metode Marxisme dapat memberangus penindasan, bukan
memberangus agama. Hal ini akhirnya memunculkan konsep Rasionalitas Agama. Para
kaum Marxis beragama tersebut akhirnya memakai agama mereka sebagai wadah perjuangan
Marxisme. Lebih dari pada itu, mereka merasionalkan agama mereka sehingga tidak
menjadi agama yang konservatif dan bertentangan dengan Materialisme Dialektika.
Hal ini membuat mereka lebih memprioritaskan Materialisme Dialektika daripada
agama mereka sendiri. Sungguh merupakan kecelakaan yang fatal.
Bagi
saya, agama sebagai sumber hukum moral utama merupakan sesuatu yang
paling urgent daripada filsafat. Namun bukan berarti saya akan
menyingkirkan Materialisme Dialektika sebagai sumber analisis utama dalam
perjuangan. Saya tidak akan mematerialisasikan agama, melainkan mengagamakan
Materialisme. Hal ini lah yang menjadi inti utama dalam artikel ini. Bahwa ada
kalanya kaum Materialisme harus mempunyai iman sebagai dasar moral dan tuntunan
mereka sehingga mereka tidak tersesat dalam lembah amoral yang biasa terjadi
pada masa Stalin, Mao, ataupun Pol Pot. Mereka adalah orang-orang Marxis Atheis
yang mengaku Marxis namun menyimpang dari ajaran sesungguhnya karena tidak
adanya moral yang bisa menuntun mereka ke aturan dan hukum, bukan sistem atau
pengontrolan karena hal ini di rasa sangat dictator, namun moral dan etika lah
yang pantas di terapkan sehingga masyarakat akan nyaman berada di dalam satu
negara Sosialisme.
Kaum
agama yang Materialis harus menyatakan bahwa dalam suatu hubungan horizontal
harus sangat rasional karena agama merupakan hal pribadi. Maka dalam hubungan
horizontal tersebut, kita sebagai orang yang beragama harus menjadi seorang
Materialisme Dialektis karena seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa
Materialisme Dialektika merupakan filsafat analisa masyarakat juga kritik
sains. Tetapi dalam konsep hubungan vertikal, kita sebagai seorang Materialisme
harus mejadi seorang yang beragama karena tidak ada Tuhan yang di nalarkan oleh
pemikiran Materialisme Dialektika. Tan Malaka dalam “Islam dalam Tinjauan
Madilog” mengungkapkan bahwa Tuhan, Surga, dan Neraka merupakan hal yang berada
di luar nalar Madilog. Hal ini tidak sepenuhnya benar juga tidak sepenuhnya
salah. Dalam satu sisi, pernyataan tersebut benar adanya karena Tuhan adalah
Maha Objektif, melampaui Materi yang di ciptakannya. Tuhan sebagai pencipta
materi harus berada di luar konsep dan terbebas dari hukum materi yang di
ciptakannya. Pernyataan Tan Malaka tersebut juga mengandung kesalahan karena
beliau secara tegas meninggalkan tinjauan tersebut dalam suatu pernyataan
singkat yang mengandung tanda Tanya besar. Apakah orang beragama dan
Materialisme bisa di satu padukan?
Pada
dasarnya dalam Materialisme mengenal gejala dan fenomena sebagai satu kesatuan
pemahaman nalar yang masih samar-samar. Metode gejala dan fenomena di pakai
untuk mengungkapkan suatu materi yang masih belum jelas bagaimana pergerakan
dan bentuknya, namun jelas ada karena indrawi kita tidak bisa merasakan secara
penuh. Materi-materi yang demikian banyak contohnya, seperti atom, galaksi,
berat proton, loncatan listrik, medan magnet, dan lain-lain. Apakah hal
tersebut masuk akal? Hal tersebut sangat masuk akal, namun perlu penelitian
lebih lanjut dalam mengungkapkan kejelasan keberadaannya. Bagaimana dengan
Tuhan dan iman?
Ketika
kita berjalan bersama teman kita, kita menebak bahwa teman kita memiliki uang,
lalu teman kita memberikan minuman kepada kita berupa whisky. Pertanyaan awal
kita adalah darimana whisky itu berasal? Kita pasti melihat fenomena bahwa
Whisky tersebut ada di tangan kita, lalu gejala adanya whisky tersebut kita
asumsi kan bahwa teman kita memiliki uang untuk membelinya. Darimana kita tahu
bahwa teman kita memiliki uang? Sederhana, dengan adanya fenomena whisky
tersebut dapat kita simpulkan bahwa teman kita memiliki uang, tetapi kita bisa
menyimpulkan hal lain yaitu bahwa teman kita di beri whisky oleh orang lain.
Maka gejala kedua adalah bahwa teman kita baru saja keluar dari bar tempat
menjual whisky. Tentu hal ini menguatkan dugaan bahwa teman kita memiliki uang
untuk membelinya. Fenomena dan gejala tersebut membuktikan bahwa teman kita
memang memiliki uang.
Sama
halnya dengan Tuhan. Ketika kita melihat fenomena Tuhan sebagai maha objektif,
maha besar dan maha pencipta maka kita harus lepas dari dogmatis agama yang
mengharuskan pernyataan bahwa Tuhan itu ada. Perlu adanya gejala-gejala yang
membuktikan hal tersebut. gejala-gejala tersebut kita asumsikan dengan banyak
nya kehadiran materi yang teratur pergerakannya. Keakuratan hukum 4 gerak yang
menjaga keseimbangan alam semesta merupakan satu gejala utama. Selain daripada
itu, gejala-gejala lain juga membuktikan adanya Tuhan, yaitu adanya kedinamisan
dialektika alam yang tidak mungkin ada begitu saja.
Suatu
hal konyol ketika menyatakan bahwa materi bergerak terus menerus dan tiada awal
atau akhir dalam gerak tersebut, ini merupakan konsep sempit dari Materialisme
Mekanis yang pernah di ucapkan Hume maupun Descartes. Gerak dialektika materi
yang teratur tersebut di ciptakan sesuatu di luar nalar materi sehingga dapat
masuk akal ketika kita menyatakan bahwa alam semesta mempunyai awal dan akan
berakhir dalam suatu chaos. Hal ini merupakan suatu hukum alam bahwa
materi mengalami siklus hidup matinya secara terus menerus. Setiap materi
mengalami kematian, maka materi tersebut akan menciptakan hidup baru yang lebih
tinggi tarafnya daripada sebelumnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa materi
dalam pergerakannya mengalami perkembangan karena adanya kontradiksi hidup dan
mati yang teratur.
Bagaimana
dengan iman? bagi kaum beragama, iman adalah sesuatu yang menjadi inti pokok
ajaran keagamaan. Dalam Islam, kita mengenal konsep rukun iman yang berjumlah 6
yaitu Tuhan, malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat, dan Ketentuan Takdir. Bagi
orang-orang Islam yang konservatif maka ada larangan keras untuk mempertanyakan
lebih lanjut soal rukun iman tersebut karena hal tersebut dapat menimbulkan
dosa. Namun bagi kita, kaum Islam non konservatif bahwa hal tersebut harus di
pertanyakan.
Ketika
kita telah menjelaskan keberadaan Tuhan dengan konsep fenomena dan gejala, kita
perlu menjelaskan 5 lagi. Malaikat adalah materi, ketika saya menyatakan hal
ini maka secara vulgar juga saya di anggap sebagai ahli bid’ah atau murtad dari
agama saya sendiri. Tetapi malaikat memang sebuah materi halus, bukan merupakan
barang ghaib. Hal ini bisa di jelaskan secara singkat dan sederhana. Malaikat
terbentuk dari suatu materi yang bernama cahaya. Cahaya sebagai materi halus
juga bersifat gelombang dalam kecepatan yang tinggi, hal ini yang membuat
malaikat mempunyai anugerah yang lebih di bandingkan manusia. Malaikat bisa
dikatakan sebagai materi cahaya yang hidup layaknya manusia. Bagi kaum
Materialisme beragama, wajib bagi kita mengimaninya karena hal tersebut di rasa
rasional.
Bagaimana
dengan rasul? Hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah karena rasul juga
merupakan manusia, hanya bedanya terletak dari kemoralannya. Moral rasul di
rasa paling sempurna di antara manusia yang lainnya, maka tidak heran jika kaum
beragama seperti kita menjadikan rasul kita sebagai panutan utama untuk
menciptakan moral yang baik. Mukjizat-mukjizat rasul perlu di buktikan secara
ilmiah karena hal ini menyangkut hal-hal yang mistis. Mukjizat-mukjizat
kenabian tersebut sebagian besar merupakan hal yang berada di luar nalar
manusia. Perlu di adakan penelitian lebih lanjut tentang relevansi mukjizat-mukjizat
tersebut dalam sejarah.
Hal
yang di rasa perlu di teliti adalah kitab suci, kitab suci dalam konsep agama
di jadikan asas pedoman hidup dan historis alam semesta. Dalam beberapa kasus,
kitab suci memang cocok di jadikan pedoman historis karena kecocokan data yang
ada dengan lapangan fakta. Tetapi jika kitab suci telah berbicara hal-hal yang
fantastis, maka hal ini jauh di luar daya nalar kita. Namun tidak ada salahnya
kita membuktikan hal-hal tersebut agar kitab suci menjadi suatu kitab yang
masuk akal. Asas pedoman hidup masyarakat juga akhirnya menjadi sesuatu yang
perlu di pertanyakan. Hukum-hukum dalam kitab suci terutama Al Quran sangat
cocok bagi kaum Materialisme Dialektika yang berorientasi pada Sosialisme. Juga
Al Quran merupakan kitab yang paling rasional di antara semua kitab suci yang
lainnya.
Chaos juga
merupakan hal yang kontradiksi bagi kaum Materialisme. Bagi Marxisme, tiada
awal dan akhir bagi materi, namun bagi kami, materi mempunyai awal dan akhir.
Siklus hidup dan mati sebuah materi menentukan perkembangan materi menjadi
tingkat yang lebih tinggi lagi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa chaos atau hari kiamat merupakan suatu hal yang pasti, hal
tersebut mendekati ramalan. Hari kiamat bukan lah sebuah ramalan, namun memang
merupakan bagian dari siklus hidup dan matinya materi. Dalam teori osilasi,
alam semesta mengalami reinkarnasi beberapa kali, mengalami siklus hidup dan
matinya sebagai sebuah materi. Hal ini di rasa rasional maka kita sebagai kaum
beragama perlu mengimaninya.
Terakhir,
dalam ketentuan takdir kita perlu meneliti lebih lanjut. Dalam Islam dikenal
konsep Qadha (ketentuan takdir yang tidak bisa di rubah) dan Qadhar (ketentuan
takdir yang bisa di rubah), kedua konsep tersebut menyangkut masalah Ketuhanan.
Takdir merupakan suatu bentuk ketentuan yang diberikan Tuhan kepada manusia
sebagai bentuk pengandaian. Takdir juga berarti nasib. Kita sebagai kaum
Materialisme tidak harus mempercayai takdir dan nasib karena hal ini
bertentangan dengan kodrat manusia yang harus berusaha untuk mendapatkan
sesuatu kebutuhan. Tetapi kita tidak perlu menafikkan takdir, karena takdir
berguna untuk bentuk pengandaian dan penyesalan diri ketika kita gagal dalam
berusaha, namun bukan jadi titik acuan kemalasan karena agama pun melarang hal
yang demikian. Sudah jelas konsep ini memang sangat diragukan. Namun konsep ini
mendekati rasionalitas.
Materialisme
Dialektika menjadi suatu filsafat yang sempurna, sebenarnya tidak terlalu
bertentangan dengan agama itu sendiri. Kebanyakan para Materialis mencemooh
agama hanya karena satu hal, yaitu bahwa Materialisme tidak mempercayai hal-hal
yang ghaib. Namun agama non konservatif bukan lah sesuatu yang mistis, malah
mendekati rasionalitas. Ketika tatanan masyarakat telah mencapai tahapan
masyarakat Komunisme, agama-agama tersebut akan lenyap dengan sendirinya karena
tatanan moral sudah tidak lagi di butuhkan, sudah merupakan suatu kewajiban
yang lumrah ketika moral tersebut menjadi bagian dari masyarakat Komunisme.
Ketika masa itu terjadi, maka manusia telah mencapai tahap yang paling
sempurna.
Sudah
jelas kita sebagai kaum Materialisme harus beriman dan beragama, namun agama yang
harus di pilih merupakan agama yang non konservatif karena agama yang
konservatif merupakan agama yang paling tidak bertahan dalam tantangan zaman
dan penuh dengan kemistisan. Pernyataan saya ini tentunya akan di tentang oleh
sebagian besar kaum Materialisme yang sebenarnya Atheis, namun hal ini di rasa
perlu karena agama merupakan sumber tatanan moralitas manusia yang paling
kompleks. Namun cukuplah urusan beragama di jadikan persepsi pribadi saja,
karena dalam kemasyarakatan kita adalah kaum Komunisme yang sesuai dengan
konsep Marxisme. Toh, konsep Marxisme tidak sepenuhnya bertentangan dengan
agama itu sendiri.
0 comments:
Post a Comment