Wednesday, May 24, 2017

Iman Kaum Materialisme


Agama dan Materialisme, apa kalian percaya dua hal ini sebenarnya bertentangan satu dengan yang lainnya? Sebagian besar kaum Materialisme memang benar-benar menolak agama karena berbagai alasan, tetapi alasan utama penolakan agama ini adalah bahwa kaum Materialisme tidak percaya hal-hal yang ghaib, hal yang ada di luar nalar dan akal manusia. Tetapi sebagian besar Marxis di Indonesia adalah umat yang beragama. Kita menemukan fenomena bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki kaum Materialisme Dialektika yang beragama terbesar di dunia.
Mengapa bisa begitu? Indonesia adalah negara yang memiliki orang-orang yang beragama Islam terbesar di dunia dan pada masa pra kemerdekaan serta orde lama bahkan hingga kini, orang-orang Islam itu sebagian adalah kaum Marxis yang bermaterialisme Dialektika. Kontradiksi ini mereka satukan dan mereka ramu menjadi suatu ajaran agama yang modern dan non konservatif. Mereka percaya bahwa agama Islam adalah agama yang paling rasional di antara agama lainnya (walaupun kita melihat bahwa Monisme ala Einstein di rasa paling rasional di antara yang lainnya).

Dalam artikel yang singkat ini, kita akan mengambil batasan bukan pada umat beragama, namun pada kaum Materialisme yang beragama. Fenomena ini sungguh unik, kaum Materialisme yang beragama, terutama agama Islam sangat berusaha agar agama tersebut selamat dari lembah konservatif dan bisa bertahan di era ketika Tuhan telah mati (ungkapan ala Nietzche mungkin tepat untuk menggambarkan suasana dunia pada masa kini). Dalam hal ini, saya akan mengonsepkan Materialisme subjektif, bahwa tidak selamanya Materialisme itu anti dengan agama, terutama Islam karena agama Islam adalah agama yang paling rasional dan masuk akal, sesuai dengan jalan dan nalar Materialisme yang notabene memang merupakan jalan filsafat yang paling sempurna.
Pada dasarnya, Materialisme pra Marxisme merupakan Materialisme yang sebagian besar masih bergantung dengan adanya Tuhan. Hal ini jelas ketika beberapa filsuf mencoba merasionalkan Tuhan itu sendiri sehingga mereka dapat menarik kesimpulan bahwa Materialisme yang mereka anut tidak akan bertentangan dengan agama. Para filsuf Materialisme pra Marxisme yang merupakan orang beragama misalnya adalah John Locke, David Hume, dam Francis Bacon.
Feuerbach sebagai filsuf Materialisme terakhir sebelum Marx dan Engels yang memang mengungkapkan Materialisme yang hampir sempurna seperti yang disebutkan dalam bukunya “Hakikat Agama Kristen” masih mengandung unsur Idealisme agama dalam teorinya. Bagaimana dengan Marx? Materialisme Dialektika merupakan suatu filsafat terakhir dan paling relevan hingga kini akhirnya membebaskan diri dari ajaran agama. Hal ini bisa terlihat ketika Marx dan Engels mendukung teori evolusi Darwin juga menentang keras Idealisme ala Plato. Marx akhirnya juga mengkritik Hegel yang merupakan guru filsafatnya sebagai filsafat yang using. Dialektika Marx yang merupakan kunci utama dalam filsafatnya akhirnya berbanding terbalik dengan Dialektika Hegel yang di dasarkan pada keutamaan ide sebagai pengubah sejarah.
Materialisme Dialektika benar-benar bebas dari segala ajaran mistisme yang selama ini hinggap dalam sejarah manusia selama ribuan tahun. Kita mengenal abad kegelapan (abad 5-15 M) karena manusia pada masa ini terlalu percaya pada dogma agama. Kita menyebut Rennaissance setelah abad kegelapan karena manusia telah terbebas dari dogma-dogma tersebut dan mencapai tahap yang merasionalkan akal. Materialisme Dialektika sebagai filsafat yang paling relevan hingga kini bahkan mengungkapkan bahwa beberapa metode ilmu pengetahuan yang mengandung unsur adanya Perancangan Cerdassebagai penggerak alam semesta itu adalah suatu kesalahan sains paling fatal.
Para kaum Materialisme Marxisme tidak percaya dengan adanya big bang dan materi gelap, juga tidak percaya dengan adanya penciptaan manusia dan tidak percaya soal Perancangan Cerdas yang mengatur tatanan Alam Semesta ini secara keseluruhan (dalam buku Reason in Revolt karya Alan Woods jelas memaparkan hal ini, bahwa apa yang di sebut Materialisme Dialektika yang sejalan dengan ilmu pengetahuan juga berguna untuk mengkritik sains mutakhir yang masih mengandung unsur Idealisme yang cukup kuat).
Namun, Materialisme Dialektika bukanlah suatu filsafat yang terus menerus fokus terhadap kebenaran ilmu pengetahuan, melainkan lebih kepada metode analisis masyarakat serta sejarahnya. Materialisme Dialektika benar-benar menjadi induk dari segala ajaran Marxisme. Tidak ada satupun metode dan teori Marxisme yang tidak bersandar pada Materialisme Dialektika. Marxisme sebagai suatu ideologi sendiri memang khusus di peruntukkan untuk menciptakan kesadaran masyarakat tanpa kelas dan memberangus Kapitalisme.
Namun pada akhirnya, ketika umat Islam (agama yang paling banyak menganut Materialisme) bergabung dalam perjuangan kaum Marxisme, umat Islam banyak mendapat cercaan bahwa mereka tidak sanggup untuk menanggalkan agamanya demi sebuah perjuangan. Hal ini merupakan cemoohan yang paling kasar diterima oleh kaum beragama Karena pada dasarnya kaum Marxis yang beragama merupakan kaum Marxis yang percaya bahwa metode Marxisme dapat memberangus penindasan, bukan memberangus agama. Hal ini akhirnya memunculkan konsep Rasionalitas Agama. Para kaum Marxis beragama tersebut akhirnya memakai agama mereka sebagai wadah perjuangan Marxisme. Lebih dari pada itu, mereka merasionalkan agama mereka sehingga tidak menjadi agama yang konservatif dan bertentangan dengan Materialisme Dialektika. Hal ini membuat mereka lebih memprioritaskan Materialisme Dialektika daripada agama mereka sendiri. Sungguh merupakan kecelakaan yang fatal.
Bagi saya, agama sebagai sumber hukum moral utama merupakan sesuatu yang paling urgent daripada filsafat. Namun bukan berarti saya akan menyingkirkan Materialisme Dialektika sebagai sumber analisis utama dalam perjuangan. Saya tidak akan mematerialisasikan agama, melainkan mengagamakan Materialisme. Hal ini lah yang menjadi inti utama dalam artikel ini. Bahwa ada kalanya kaum Materialisme harus mempunyai iman sebagai dasar moral dan tuntunan mereka sehingga mereka tidak tersesat dalam lembah amoral yang biasa terjadi pada masa Stalin, Mao, ataupun Pol Pot. Mereka adalah orang-orang Marxis Atheis yang mengaku Marxis namun menyimpang dari ajaran sesungguhnya karena tidak adanya moral yang bisa menuntun mereka ke aturan dan hukum, bukan sistem atau pengontrolan karena hal ini di rasa sangat dictator, namun moral dan etika lah yang pantas di terapkan sehingga masyarakat akan nyaman berada di dalam satu negara Sosialisme.
Kaum agama yang Materialis harus menyatakan bahwa dalam suatu hubungan horizontal harus sangat rasional karena agama merupakan hal pribadi. Maka dalam hubungan horizontal tersebut, kita sebagai orang yang beragama harus menjadi seorang Materialisme Dialektis karena seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa Materialisme Dialektika merupakan filsafat analisa masyarakat juga kritik sains. Tetapi dalam konsep hubungan vertikal, kita sebagai seorang Materialisme harus mejadi seorang yang beragama karena tidak ada Tuhan yang di nalarkan oleh pemikiran Materialisme Dialektika. Tan Malaka dalam “Islam dalam Tinjauan Madilog” mengungkapkan bahwa Tuhan, Surga, dan Neraka merupakan hal yang berada di luar nalar Madilog. Hal ini tidak sepenuhnya benar juga tidak sepenuhnya salah. Dalam satu sisi, pernyataan tersebut benar adanya karena Tuhan adalah Maha Objektif, melampaui Materi yang di ciptakannya. Tuhan sebagai pencipta materi harus berada di luar konsep dan terbebas dari hukum materi yang di ciptakannya. Pernyataan Tan Malaka tersebut juga mengandung kesalahan karena beliau secara tegas meninggalkan tinjauan tersebut dalam suatu pernyataan singkat yang mengandung tanda Tanya besar. Apakah orang beragama dan Materialisme bisa di satu padukan?
Pada dasarnya dalam Materialisme mengenal gejala dan fenomena sebagai satu kesatuan pemahaman nalar yang masih samar-samar. Metode gejala dan fenomena di pakai untuk mengungkapkan suatu materi yang masih belum jelas bagaimana pergerakan dan bentuknya, namun jelas ada karena indrawi kita tidak bisa merasakan secara penuh. Materi-materi yang demikian banyak contohnya, seperti atom, galaksi, berat proton, loncatan listrik, medan magnet, dan lain-lain. Apakah hal tersebut masuk akal? Hal tersebut sangat masuk akal, namun perlu penelitian lebih lanjut dalam mengungkapkan kejelasan keberadaannya. Bagaimana dengan Tuhan dan iman?
Ketika kita berjalan bersama teman kita, kita menebak bahwa teman kita memiliki uang, lalu teman kita memberikan minuman kepada kita berupa whisky. Pertanyaan awal kita adalah darimana whisky itu berasal? Kita pasti melihat fenomena bahwa Whisky tersebut ada di tangan kita, lalu gejala adanya whisky tersebut kita asumsi kan bahwa teman kita memiliki uang untuk membelinya. Darimana kita tahu bahwa teman kita memiliki uang? Sederhana, dengan adanya fenomena whisky tersebut dapat kita simpulkan bahwa teman kita memiliki uang, tetapi kita bisa menyimpulkan hal lain yaitu bahwa teman kita di beri whisky oleh orang lain. Maka gejala kedua adalah bahwa teman kita baru saja keluar dari bar tempat menjual whisky. Tentu hal ini menguatkan dugaan bahwa teman kita memiliki uang untuk membelinya. Fenomena dan gejala tersebut membuktikan bahwa teman kita memang memiliki uang.
Sama halnya dengan Tuhan. Ketika kita melihat fenomena Tuhan sebagai maha objektif, maha besar dan maha pencipta maka kita harus lepas dari dogmatis agama yang mengharuskan pernyataan bahwa Tuhan itu ada. Perlu adanya gejala-gejala yang membuktikan hal tersebut. gejala-gejala tersebut kita asumsikan dengan banyak nya kehadiran materi yang teratur pergerakannya. Keakuratan hukum 4 gerak yang menjaga keseimbangan alam semesta merupakan satu gejala utama. Selain daripada itu, gejala-gejala lain juga membuktikan adanya Tuhan, yaitu adanya kedinamisan dialektika alam yang tidak mungkin ada begitu saja.
Suatu hal konyol ketika menyatakan bahwa materi bergerak terus menerus dan tiada awal atau akhir dalam gerak tersebut, ini merupakan konsep sempit dari Materialisme Mekanis yang pernah di ucapkan Hume maupun Descartes. Gerak dialektika materi yang teratur tersebut di ciptakan sesuatu di luar nalar materi sehingga dapat masuk akal ketika kita menyatakan bahwa alam semesta mempunyai awal dan akan berakhir dalam suatu chaos. Hal ini merupakan suatu hukum alam bahwa materi mengalami siklus hidup matinya secara terus menerus. Setiap materi mengalami kematian, maka materi tersebut akan menciptakan hidup baru yang lebih tinggi tarafnya daripada sebelumnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa materi dalam pergerakannya mengalami perkembangan karena adanya kontradiksi hidup dan mati yang teratur.
Bagaimana dengan iman? bagi kaum beragama, iman adalah sesuatu yang menjadi inti pokok ajaran keagamaan. Dalam Islam, kita mengenal konsep rukun iman yang berjumlah 6 yaitu Tuhan, malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat, dan Ketentuan Takdir. Bagi orang-orang Islam yang konservatif maka ada larangan keras untuk mempertanyakan lebih lanjut soal rukun iman tersebut karena hal tersebut dapat menimbulkan dosa. Namun bagi kita, kaum Islam non konservatif bahwa hal tersebut harus di pertanyakan.
Ketika kita telah menjelaskan keberadaan Tuhan dengan konsep fenomena dan gejala, kita perlu menjelaskan 5 lagi. Malaikat adalah materi, ketika saya menyatakan hal ini maka secara vulgar juga saya di anggap sebagai ahli bid’ah atau murtad dari agama saya sendiri. Tetapi malaikat memang sebuah materi halus, bukan merupakan barang ghaib. Hal ini bisa di jelaskan secara singkat dan sederhana. Malaikat terbentuk dari suatu materi yang bernama cahaya. Cahaya sebagai materi halus juga bersifat gelombang dalam kecepatan yang tinggi, hal ini yang membuat malaikat mempunyai anugerah yang lebih di bandingkan manusia. Malaikat bisa dikatakan sebagai materi cahaya yang hidup layaknya manusia. Bagi kaum Materialisme beragama, wajib bagi kita mengimaninya karena hal tersebut di rasa rasional.
Bagaimana dengan rasul? Hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah karena rasul juga merupakan manusia, hanya bedanya terletak dari kemoralannya. Moral rasul di rasa paling sempurna di antara manusia yang lainnya, maka tidak heran jika kaum beragama seperti kita menjadikan rasul kita sebagai panutan utama untuk menciptakan moral yang baik. Mukjizat-mukjizat rasul perlu di buktikan secara ilmiah karena hal ini menyangkut hal-hal yang mistis. Mukjizat-mukjizat kenabian tersebut sebagian besar merupakan hal yang berada di luar nalar manusia. Perlu di adakan penelitian lebih lanjut tentang relevansi mukjizat-mukjizat tersebut dalam sejarah.
Hal yang di rasa perlu di teliti adalah kitab suci, kitab suci dalam konsep agama di jadikan asas pedoman hidup dan historis alam semesta. Dalam beberapa kasus, kitab suci memang cocok di jadikan pedoman historis karena kecocokan data yang ada dengan lapangan fakta. Tetapi jika kitab suci telah berbicara hal-hal yang fantastis, maka hal ini jauh di luar daya nalar kita. Namun tidak ada salahnya kita membuktikan hal-hal tersebut agar kitab suci menjadi suatu kitab yang masuk akal. Asas pedoman hidup masyarakat juga akhirnya menjadi sesuatu yang perlu di pertanyakan. Hukum-hukum dalam kitab suci terutama Al Quran sangat cocok bagi kaum Materialisme Dialektika yang berorientasi pada Sosialisme. Juga Al Quran merupakan kitab yang paling rasional di antara semua kitab suci yang lainnya.
Chaos juga merupakan hal yang kontradiksi bagi kaum Materialisme. Bagi Marxisme, tiada awal dan akhir bagi materi, namun bagi kami, materi mempunyai awal dan akhir. Siklus hidup dan mati sebuah materi menentukan perkembangan materi menjadi tingkat yang lebih tinggi lagi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa chaos atau hari kiamat merupakan suatu hal yang pasti, hal tersebut mendekati ramalan. Hari kiamat bukan lah sebuah ramalan, namun memang merupakan bagian dari siklus hidup dan matinya materi. Dalam teori osilasi, alam semesta mengalami reinkarnasi beberapa kali, mengalami siklus hidup dan matinya sebagai sebuah materi. Hal ini di rasa rasional maka kita sebagai kaum beragama perlu mengimaninya.
Terakhir, dalam ketentuan takdir kita perlu meneliti lebih lanjut. Dalam Islam dikenal konsep Qadha (ketentuan takdir yang tidak bisa di rubah) dan Qadhar (ketentuan takdir yang bisa di rubah), kedua konsep tersebut menyangkut masalah Ketuhanan. Takdir merupakan suatu bentuk ketentuan yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai bentuk pengandaian. Takdir juga berarti nasib. Kita sebagai kaum Materialisme tidak harus mempercayai takdir dan nasib karena hal ini bertentangan dengan kodrat manusia yang harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu kebutuhan. Tetapi kita tidak perlu menafikkan takdir, karena takdir berguna untuk bentuk pengandaian dan penyesalan diri ketika kita gagal dalam berusaha, namun bukan jadi titik acuan kemalasan karena agama pun melarang hal yang demikian. Sudah jelas konsep ini memang sangat diragukan. Namun konsep ini mendekati rasionalitas.
Materialisme Dialektika menjadi suatu filsafat yang sempurna, sebenarnya tidak terlalu bertentangan dengan agama itu sendiri. Kebanyakan para Materialis mencemooh agama hanya karena satu hal, yaitu bahwa Materialisme tidak mempercayai hal-hal yang ghaib. Namun agama non konservatif bukan lah sesuatu yang mistis, malah mendekati rasionalitas. Ketika tatanan masyarakat telah mencapai tahapan masyarakat Komunisme, agama-agama tersebut akan lenyap dengan sendirinya karena tatanan moral sudah tidak lagi di butuhkan, sudah merupakan suatu kewajiban yang lumrah ketika moral tersebut menjadi bagian dari masyarakat Komunisme. Ketika masa itu terjadi, maka manusia telah mencapai tahap yang paling sempurna.
Sudah jelas kita sebagai kaum Materialisme harus beriman dan beragama, namun agama yang harus di pilih merupakan agama yang non konservatif karena agama yang konservatif merupakan agama yang paling tidak bertahan dalam tantangan zaman dan penuh dengan kemistisan. Pernyataan saya ini tentunya akan di tentang oleh sebagian besar kaum Materialisme yang sebenarnya Atheis, namun hal ini di rasa perlu karena agama merupakan sumber tatanan moralitas manusia yang paling kompleks. Namun cukuplah urusan beragama di jadikan persepsi pribadi saja, karena dalam kemasyarakatan kita adalah kaum Komunisme yang sesuai dengan konsep Marxisme. Toh, konsep Marxisme tidak sepenuhnya bertentangan dengan agama itu sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 
;