Tuesday, May 9, 2017

PKI: Perjuangan Ekonomi Politik Dalam Melawan Imperialisme Paska Proklamasi Hingga Tahun 1949

Pki: Perjuangan Ekonomi Politik Dalam Melawan Imperialisme Paska Proklamasi Hingga Tahun 1949[1][1]
PKI adalah sebuah partai revolusioner yang menjadi salah satu tonggak dari perjuangan rakyat di Indonesia dalam melawan Imperialisme. PKI menjadi musuh utama dari pergerakan-pergerakan kaum kanan seperti Masyumi, PSI, bahkan Amerika Serikat karena PKI berhasil menanamkan kesadaran kelas ke tubuh rakyat Indonesia bahwa kaum kanan yang mendukung perkembangan Imperialisme adalah kaum yang menghisap darah rakyat. Bagaimana PKI dengan pesatnya memperjuangkan ekonomi politik kerakyatakan paska proklamasi hingga tahun 1949 dalam melawan Imperialisme?

Lahirnya PKI Sebagai Anak Zaman
Lahirnya suatu partai revolusioner tidak pernah lepas dari lahirnya satu kelas yang dibelanya, yaitu kelas buruh. Begitupun juga dengan PKI, lahir di awal abad 20 sebagai pembela terdepan dari kelas buruh Indonesia yang pada saat itu masih berumur sangat muda. Walaupun masih berumur muda, namun kelas buruh Indonesia telah mampu bergerak secara militan dan disiplin dalam pertempurannya melawan kelas-kelas borjuasi yang pada saat itu juga masih berumur muda.

Militansi kelas buruh dan kecerdasannya terbukti dalam sejarah ketika SS-Bond (Staat-Spoor Bond) lahir tahun 1905 dan VSTP (vereniging van Spoor en Tram Personeel – Perkumpulan Pegawai Spoor dan Trem) yang lahir tahun 1908. Keduanya berasal dari rahim yang sama, yaitu rahim perusahaan kereta api dan trem[2][2]. Diantara kedua serikat buruh tersebut, Aidit menjelaskan bahwa SS-Bond bukan merupakan organisasi yang militan dan tidak mempunyai pemimpin dari orang pribumi[3][3]. Sejak kemunculan Sneevliet di Indonesia, maka dimulailah periode Marxisme di Indonesia. Sneevliet bersama P. Bregsma, J. A. Brandstender, dan H. W. Dekker mendirikan ISDV (de Indische Sociaal Democratishe Vereniging) pada bulan Mei 1914[4][4] dengan tujuan menyebarkan Marxisme di Indonesia.
PKI sendiri sebagai suatu partai revolusioner lahir dari dua rahim organisasi revolusioner saat itu, yaitu Sarekat Islam Merah (yang dipelopori oleh SI Semarang) dan ISDV. Pada 23 Mei 1920, perkumpulan ISDV akhirnya merubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia[5][5]. Perubahan nama ini dilakukan karena adanya anjuran dari Maring (Sneevliet) dari Shanghai agar ISDV masuk Komintern. Untuk memasuki Komintern, ISDV harus memenuhi 21 persyaratan, termasuk perubahan nama menjadi Partai Komunis[6][6]. Lahirnya PKI dirasa sangat tepat pada masa itu karena ada beberapa faktor mendukung yang mempengaruhi lahirnya PKI saat itu, yaitu:
1.             Adanya penanaman kapital sejak munculnya UU Agraria sejak 1870 dimana tanah dapat dikelola oleh kapital partikelir, era muncul UU Agraria – menurut Aidit – adalah tanda dari transformasi era kapital dagang menuju era kapital industri di Indonesia;[7][7]
2.             Lahirnya serikat-serikat buruh revolusioner yang dipelopori oleh VSTP, juga lahirnya PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh) yang dikuasai VSTP sebagai konfederasi aliansi serikat buruh pertama di Indonesia;
3.             Munculnya pemberontakan-pemberontakan tani di berbagai daerah;
4.             Revolusi Februari dan Oktober 1917 di Rusia yang dipopulerkan beritanya oleh Sneevliet dalam artikelnya Zegepraal yang dimuat dalam De Indier (suratkabar National Indische Partij);[8][8] dan
5.             Hasil kongres Sarikat Islam kedua yang salah satu poinnya berbunyi menentang Kapitalisme yang jahat, dari hasil tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa adanya radikalisasi gerakan Sarikat Islam sejak Oktober 1917[9][9].
Dengan demikian jelas bahwa PKI lahir bukan tanpa ada sebab-sebab tertentu melainkan karena adanya hal-hal yang mendukung kelahirannya, terutama sebab-sebab ekonomi politik yang menjadi sebab utama lahirnya PKI dalam panggung sejarah.

PKI dan Pemerintahan Sosialisme Indonesia: 1945-1948
Setelah kita mengetahui sebab-sebab lahirnya partai revolusioner PKI, kita patut mengetahui pula bahwa dalam perkembangannya, PKI mengalami pasang surut perjuangan. Tahun 1926, PKI tampil sebagai partai pertama yang berani menantang Kapitalisme Belanda dengan melakukan Putsch[10][10]. Selain itu, PKI yang hancur pada masa itu kembali mengorganisir kekuatan dan bergabung dengan partai-partai borjuasi progresif seperti PNI. Pada masa perjuangan rakyat bersama PNI mengalami masa-masa sulit dimana saat itu terjadi krisis Malaise tahun 1929-1930. Namun, PNI dalam perjuangannya mengalami kemajuan pesat karena di dukung oleh faktor-faktor tertentu seperti pemberontakan kapal Zeven Provincien pada Februari 1933, pemogokan buruh kereta api di seluruh Jawa pada Juli 1933[11][11], dan semakin melemahnya pengaruh pemerintah kolonial di Indonesia.
Beberapa anggota PKI di Boven Digoel yang dibuang akhirnya mengorganisir kekuatan baru sejak tahun 1932 dengan mendasarkan aktivitasnya pada 18 pasal. Selain itu, sejak kedatangan Musso tahun 1935 yang membawa garis kebijakan Anti Fasis dari Komintern, PKI berhasil menyusun kekuatan baru secara ilegal. Dalam kegiatan legalnya, para anggota PKI juga bergabung dalam Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) dan bersama partai-partai borjuasi progresif lainnya membentuk GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang melaksanakan kongres pertamanya tanggal 23-25 Desember 1939.  Sejak kedatangan Jepang tahun 1942, PKI yang bergerak dibawah tanah pada akhirnya memfokuskan dirinya pada perjuangan melawan Fasisme hingga tahun 1945[12][12].
Tahun 1945 adalah tahun awal revolusi Indonesia dimana proklamasi dilaksanakan. Terbentuknya pemerintahan borjuasi pertama di Indonesia dengan susunan pemerintahan dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri dan Soekarno sebagai kepala negara. Dalam aturan kekuasaan yang baru, dari pihak Tan Malaka maupun pihak PKI pada masa itu sepakat bahwa Syahrir dalam perjuangannya memakai taktik diplomasi, maka dari itu membuat posisi republik menjadi lemah dihadapan Imperialis Belanda. Berkenaan dengan pemerintahan Syahrir, Tan Malaka mendefinisikannya dengan musim jaya berjuang dengan Persatuan Perjuangan sebagai pelopornya[13][13], sedangkan Aidit dan kawan-kawannya lebih suka menyebut Pemerintahan Syahrir sebagai pemerintahan Sosialis Kanan yang memusuhi perjuangan rakyat bersenjata. Kebobrokan pemerintahan Syahrir bisa dilihat dari disetujuinya perundingan Linggarjati tanggal 15 November 1946 yang sangat merugikan bangsa Indonesia pada kala itu.Secara ekonomi politik, perundingan Linggarjati menyebabkan rakyat Indonesia harus kehilangan aset-aset produksi di wilayah Sumatera sebagian, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku.
Karena kebobrokannya, Syahrir digantikan oleh Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri yang baru sejak tahun 1947. Dalam pemerintahan Amir Syarifuddin, rakyat memperoleh beberapa kemenangan seperti disahkannya UU Kerja oleh Menteri Perburuhan, SK Trimurti dan berdirinya SOBSI (Sentraal Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) pada Mei 1947 dengan pimpinan utama yaitu Harjono, Oei Gee Hwat, Njono, Asraroeddin, Djokosoejono, SK Trimurti, R. H. Koesnan, K. Werdoejo, dan lain-lain[14][14]. Keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi politik bertambah dengan bergabungnya SOBSI dengan WFTU (World Federation of Trade Union) – sebuah aliansi serikat buruh internasional yang didirikan 3 Oktober 1945 di Praha, Cekoslowakia.
Namun, selain kesuksesan-kesuksesan tersebut, ternyata pemerintahan Amir Syarifuddin juga mempunyai kebobrokan yang fatal, yaitu menyetujui perundingan Renville 12 Januari 1948 dimana perundingan tersebut sangat merugikan rakyat Indonesia secara ekonomi politik. Perundingan tersebut menyebabkan kekuasaan ekonomi politik Republik Indonesia secara de jure hanya tersisa wilayah Jawa Bagian Tengah, Sumatera Bagian Timur, dan Sumatera Bagian Selatan. Karena kebobrokan tersebut, akhirnya Amir Syarifuddin turun dari jabatannya sebagai perdana menteri tahun 1948.
Ternyata akibat dari perundingan Renville mengakibatkan dampak yang hebat yang pada akhirnya nanti membuat rakyat Indonesia mengalami bentrok antar sesamanya akibat seruan provokasi dair pemerintah. Aidit menyebut kejadian tersebut dengan istilah teror putih kedua[15][15]. Akibat perjuangan-perjuangan dalam mempertahankan aset produksi di Madiun dan wilayah Jawa Timur lainnya, pemerintah memprovokasi tentara dan memanfaatkan konflik internal tentara untuk membasmi kekuatan kaum kiri di Madiun yang dipelopori oleh Musso dan Amir Syarifuddin.[16][16]

Pemerintahan Hatta Hingga Tahun 1949: Provokasi Madiun dan Perundingan KMB
Dalam catatan sejarah dari perspektif kaum kiri hingga kini telah menyebutkan bahwa kebobrokan-kebobrokan kaum Sosialis Kanan yang dipelopori oleh Hatta dan Syahrir terletak pada bentuk kerjasamanya dengan Imperialisme serta menolak perjuangan rakyat bersenjata. Selain itu, catatan sejarah dari perspektif kaum kiri juga selalu meyakini bahwa Hatta-lah yang memprovokasi tentara dan rakyat untuk melakukan pemberontakan di Madiun dengan memanfaatkan konflik internal tentara di Surakarta dan hadirnya Musso dan Amir Syarifuddin sebagai pimpinan dari FDR (Front Demokrasi Rakyat)[17][17].
Selain dalam lapangan politik yang menyebabkan hancurnya gerakan kiri tahun 1948, dalam lapangan ekonomi politik juga Hatta melakukan kebobrokan-kebobrokan seperti misalnya tanggal 2 November 1949, pemerintah melakukan persetujuan KMB dengan pemerintahan Belanda atas inisiatif KTN (Komisi Tiga Negara). Persetujuan tersebut menghasilkan poin-poin penting diantaranya ialah Republik Indonesia diwajibkan membayar hutang Hindia Belanda kepada negeri Belanda dan negeri-negeri Imperialis lainnya sebesar 5 miliar Rupiah, perusahaan-perusahaan dilapangan industri, perdagangan, dan keuangan yang dimiliki kaum imperialis Belanda tidak boleh diganggu gugat, serta adanya hak istimewa terhadap orang-orang asing. Hatta menyebutkan dari perspektif lain bahwa dengan adanya persetujuan KMB, maka Indonesia telah lepas dari imperialis Belanda[18][18]. Dengan begitu, persetujuan KMB lebih banyak merugikan daripada menguntungkan bangsa Indonesia.
Selain itu, persetujuan KMB juga melahirkan Uni Indonesia-Belanda atau dengan nama lain disebut juga Republik Indonesia Serikat. Kebobrokan yang paling utama dalam pelaksanaan RIS yaitu terjadinya penguasaan-penguasaan alat produksi oleh imperialis Belanda di luar wilayah Jawa dan Sumatera. Setelah periode kehancuran RIS tahun 1950, Hatta mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri dan digantikan oleh Natsir dan Sukiman yang sangat reaksioner. Dibawah pemerintahan Sukiman, terjadi peristiwa razia Agustus, dimana kaum kiri dibasmi oleh pemerintah atas tuduhan serangan pos polisi Tanjung Priok yang dituduhkan kepada kaum komunis. Kejadian tersebut terjadi pada 16 Agustus 1951[19][19]

Penutup: Pencapaian-pencapaian Ekonomi Politik PKI Setelah Tahun 1949 dan Kesimpulan 
Setelah kita melihat catatan-catatan sejarah dari perspektif kiri mengenai dinamika perjuangan PKI dalam mempertahankan ekonomi politik kerakyatan dari Imperialisme, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa PKI belum berhasil melaksanakan ekonomi politik kerakyatan hingga tahun 1949 disebabkan oleh hal-hal tertentu, seperti Provokasi Madiun 1948, perundingan-perundingan reaksioner (Linggarjati, Renville, hingga KMB), dan naiknya pemerintahan yang mendukung klik Imperialis. 
Hingga tahun 1955, PKI baru berhasil menjadi pemenang pemilu terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU. Dengan masuknya PKI ke pemerintahan sejak Wilopo berkuasa tahun 1951, PKI melakukan beberapa perubahan-perubahan ekonomi politik yang progresif. Hingga tahun 1965, pencapaian terbesar PKI ialah munculnya UU Kerja pada masa Amir Syarifuddin, terbentuknya barisan SOBSI dan BTI sebagai aliansi organisasi yang mewakili massa buruh industri dan buruh tani, Pelaksanaan Landreform, pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), dan bersama-sama dengan Soekarno menasionalisasi sebagian besar perusahaan asing di wilayah Republik dengan melaksanakan kontrol buruh atas pabrik dibawah pengawasan partai. 

Pencapaian-pencapaian tersebut bukan datang dari langit secara tiba-tiba, tetapi karena perjuangan-perjuangan sejak tahun 1914, dimana kaum Marxis pertama kali bercokol di Indonesia.
Sejak awal, tujuan kaum Marxis di Indonesia ialah merebut alat produksi dari Imperialis-imperialis dengan melakukan klik-klik revolusioner seperti nasionalisasi aset industri, landreform, hingga melaksanakan kontrol buruh. Aidit mencatat bahwa keadaan ekonomi Indonesia di masa Sukiman sangat lemah dan keadaan ekonomi Indonesia di masa Wilopo, Ali Sastroamidjojo, dan Demokrasi Terpimpin mengalami kemajuan pesat[20][20]. Kemajuan-kemajuan ekonomi tersebut tidak lepas dari proses nasionalisasi aset industri yang dijalankan pada masa itu. Ketidaksetujuan rakyat terhadap persetujuan KMB melancarkan proses nasionalisasi tersebut sehingga kemajuan ekonomi secara berdikari dianggap sangat berhasil pada masa itu.
Terlebih lagi masa Demokrasi Terpimpin dimana program landreform mendapat perhatian utama. UU Pokok Agraria yang direncanakan sejak tahun 1957 pada akhirnya disahkan tahun 1960. Dalam pelaksanaan UU Tersebut, PKI terus mengawal melalui Barisan Tani Indonesia (BTI) melawan kaum-kaum tuan tanah dan petani kaya. Dalam aksi tersebut, tidak jarang para petani miskin dan buruh tani melakukan aksi penyerobotan lahan sebagai konsekuensi taat akan UU Pokok Agraria. Pencapaian-pencapaian ekonomi politik inilah yang nantinya akan menjadi provokasi dari pihak Angkatan Darat dan klik borjuasi kanan untuk menghancurkan PKI di tahun 1965.
Terlepas dari itu semua, kita patut menyimpulkan secara garis besar bahwa dalam perjalanannya, PKI tidak pernah putus dari garis massa rakyat luas dalam melaksanakan program-programnya. Walaupun dalam perjalanannya, dalam perspektif Marxisme-Leninisme, PKI sangat revisionis sifatnya. Sifat bekerjasama dengan borjuasi nasional adalah kesalahan utama dari PKI sehingga PKI tidak pernah punya kesempatan dalam taktik perebutan kuasa. Selain itu, kesalahan lainnya ialah PKI tidak pernah jelas dalam memegang garis ideologi dan terkesan sangat nasionalistik sehingga melupakan tujuan utama, yaitu Sosialisme Internasional. Tetapi walaupun begitu, dalam perjuangan melawan Imperialisme paska proklamasi, PKI mengalami keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi politik serta seni dan budaya sehingga PKI tidak sepenuhnya mengalami kesalahan-kesalahan. Selebihnya, seharusnya buruh dan tani tidak boleh lupa akan perjuangan PKI dalam membela kedua kaum tersebut melawan kelas yang menyiksanya – yaitu borjuasi dan tuan tanah.


Sumber Pustaka
Aidit. 1952. Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia (Dari Tahun 1905 Sampai Tahun 1926). Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1953. Menudju Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1955. Lahirnja PKI dan Perkembangannja (1920-1955). Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1955. Djalan ke Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1957. Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 – Peristiwa Sumatera 1956. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Gie, Soe Hok. 1999. Dibawah Lentera Merah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Depatgiprop Comitte Centraal PKI. 1958. Apa Partai Komunis Itu. Jakarta: Depatgiprop CC PKI.
Malaka, Tan. 2008. Gerpolek: Gerilya – Politik – Ekonomi. Yogyakarta: Resist Book.
Musso. 1953. Djalan Baru untuk Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Suar Suroso. 2013. Akar dan Dalang: Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno. Bandung: Ultimus.



[1][1] Artikel ini dibuat dengan mengambil sudut pandang kaum kiri dan mengambil sumber-sumber catatan sejarah dari perspektif kaum kiri.
[2][2] Dokumen Depatgiprop PKI. Apa Partai Komunis Itu. (Jakarta. Depatgriprop PKI. 1958). Hal. 1. Lih, pula, DN Aidit dalam Sejarah Gerakan Buruh Indonesia (Dari Tahun 1905 sampai Tahun 1926). (Jakarta. Yayasan Pembaharuan. 1952). Hal. 37.
[3][3] Aidit. Op.cit. Hal. 37.
[4][4] Ibid. Hal. 38. Lih. Pula, Suar Suroso dalam Akar dan Dalang Pembantaian PKI 1965. (Bandung. Ultimus. 2013). Hal. 108.
[5][5] Dokumen Depatgiprop PKI. Op.cit. Hal. 2.
[6][6] Soe Hok Gie. Dibawah Lentera Merah. (Yogyakarta. Yayasan Bentang Budaya. 1999). Hal. 54.
[7][7] Aidit. Op.cit. Hal. 16.
[8][8] Ketiga poin diatas diambil dari keterangan Aidit dalam karyanya Lahirnya PKI dan Perkembangannya (Jakarta. Yayasan Pembaharuan. 1955) dalam bab Pembentukan Partai dan Perdjuangan Melawan Teror Putih Pertama.
[9][9] Poin terakhir merupakan tambahan dari penulis dengan mempertimbangkan hal-hal tertentu seperti misalnya adanya pengaruh Semaun, dkk dalam tubuh CSI pada kala itu dan perluasan gerakan Marxis dalam tubuh Sarekat Islam itu sendiri sebagai konsekuensi atas hasil kongres tersebut. Lih. Pula Soe Hok Gie. Op. cit. Hal. 28-29.
[10][10]Putsch atau pemberontakan tahun 1926 memiliki perspektif berbeda dalam penjelasannya. Antara Tan Malaka dan kubunya dengan Alimin, Aidit, dan kubunya saling melempar tuduhan atas kegagalan pemberontakan tersebut. Lihat Tan Malaka dalam karyanya Thesis dan Alimin dalam karyanya Analisis.
[11][11] Aidit. Lahirnya PKI dan Perkembangannya. (Jakarta. Yayasan Pembaharuan. 1955). Hal. 19-20.
[12][12] Aidit. Op. cit. Hal. 22-25.
[13][13] Tan Malaka melihat keadaan tersebut melalui perspektif keberpihakannya terhadap Persatuan Perjuangan, sebagai aliansi yang beroposisi terhadap Pemerintahan Syahrir. Persatuan Perjuangan dihancurkan oleh pemerintahan Syahrir tanggal 17 Maret 1946. Lih. Pula Tan Malaka dalam Gerpolek bab pertama Republik Indonesia ke Dalam dan Ke Luar. (Yogyakarta. Resist Book. 2008).
[14][14] Suar Suroso. Op. cit. Hal. 128-129.
[15][15] Aidit. Op. cit. Hal. 36.
[16][16] Dalam pembahasan yang lebih mendalam soal Pemberontakan Madiun 1948 dari perspektif PKI, lihat Aidit dalam Menggugat Peristiwa Madiun (Jakarta, Yayasan Pembaharuan, 1955) dan Aidit dalam Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 – Peristiwa Sumatera 1956 (Jakarta, Yayasan Pembaharuan, 1957).
[17][17] Suar Suroso. Op. cit. Hal. 153-154. Catatan tambahan: Front Demokrasi Rakyat adalah front yang dibentuk oleh Musso dengan menggabungkan antara PKI dengan Partai Buruh dan Partai Sosialis. FDR dibentuk atas dasar teori dari garis-garis Komintern yang menekankan kerjasama dengan membentuk Front Nasional. Lih. Pula Musso dalam Jalan Baru Republik Indonesia (Jakarta, Yayasan Pembaharuan, 1953) dalam bab Front Nasional. Musso melanjutkan dengan memberikan usul agar segera anggota PBI dan Partai Sosialis melebur dengan PKI dengan mengadakan Front Nasional yang lebih luas lagi dalam melawan Imperialisme.
[18][18] Aidit. Menuju Indonesia Baru. (Jakarta. Yayasan Pembaharuan. 1953). Hal. 27-28.
[19][19] Suar Suroso. Op. cit. Hal. 156.
[20][20] Lih. Aidit dalam Menuju Indonesia Baru. (Jakarta. Yayasan Pembaharuan. 1953). Hal. 32-36. Lih. Pula Aidit dalam Djalan Ke Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pembaharuan. 1955). Hal. 47-48.

0 comments:

Post a Comment

 
;