Pki: Perjuangan
Ekonomi Politik Dalam Melawan Imperialisme Paska Proklamasi Hingga Tahun 1949[1][1]
PKI
adalah sebuah partai revolusioner yang menjadi salah satu tonggak dari
perjuangan rakyat di Indonesia dalam melawan Imperialisme. PKI menjadi musuh
utama dari pergerakan-pergerakan kaum kanan seperti Masyumi, PSI, bahkan
Amerika Serikat karena PKI berhasil menanamkan kesadaran kelas ke tubuh rakyat
Indonesia bahwa kaum kanan yang mendukung perkembangan Imperialisme adalah kaum
yang menghisap darah rakyat. Bagaimana PKI dengan pesatnya memperjuangkan
ekonomi politik kerakyatakan paska proklamasi hingga tahun 1949 dalam melawan
Imperialisme?
Lahirnya PKI
Sebagai Anak Zaman
Lahirnya
suatu partai revolusioner tidak pernah lepas dari lahirnya satu kelas yang
dibelanya, yaitu kelas buruh. Begitupun juga dengan PKI, lahir di awal abad 20
sebagai pembela terdepan dari kelas buruh Indonesia yang pada saat itu masih
berumur sangat muda. Walaupun masih berumur muda, namun kelas buruh Indonesia
telah mampu bergerak secara militan dan disiplin dalam pertempurannya melawan
kelas-kelas borjuasi yang pada saat itu juga masih berumur muda.
Militansi
kelas buruh dan kecerdasannya terbukti dalam sejarah ketika SS-Bond
(Staat-Spoor Bond) lahir tahun 1905 dan VSTP (vereniging van Spoor en Tram
Personeel – Perkumpulan Pegawai Spoor dan Trem) yang lahir tahun 1908. Keduanya
berasal dari rahim yang sama, yaitu rahim perusahaan kereta api dan trem[2][2].
Diantara kedua serikat buruh tersebut, Aidit menjelaskan bahwa SS-Bond bukan
merupakan organisasi yang militan dan tidak mempunyai pemimpin dari orang
pribumi[3][3].
Sejak kemunculan Sneevliet di Indonesia, maka dimulailah periode Marxisme di
Indonesia. Sneevliet bersama P. Bregsma, J. A. Brandstender, dan H. W. Dekker
mendirikan ISDV (de Indische Sociaal Democratishe Vereniging) pada bulan Mei
1914[4][4]
dengan tujuan menyebarkan Marxisme di Indonesia.
PKI
sendiri sebagai suatu partai revolusioner lahir dari dua rahim organisasi
revolusioner saat itu, yaitu Sarekat Islam Merah (yang dipelopori oleh SI
Semarang) dan ISDV. Pada 23 Mei 1920, perkumpulan ISDV akhirnya merubah namanya
menjadi Partai Komunis Indonesia[5][5].
Perubahan nama ini dilakukan karena adanya anjuran dari Maring (Sneevliet) dari
Shanghai agar ISDV masuk Komintern. Untuk memasuki Komintern, ISDV harus
memenuhi 21 persyaratan, termasuk perubahan nama menjadi Partai Komunis[6][6].
Lahirnya PKI dirasa sangat tepat pada masa itu karena ada beberapa faktor
mendukung yang mempengaruhi lahirnya PKI saat itu, yaitu:
1.
Adanya penanaman kapital sejak munculnya
UU Agraria sejak 1870 dimana tanah dapat dikelola oleh kapital partikelir, era
muncul UU Agraria – menurut Aidit – adalah tanda dari transformasi era kapital
dagang menuju era kapital industri di Indonesia;[7][7]
2.
Lahirnya serikat-serikat buruh
revolusioner yang dipelopori oleh VSTP, juga lahirnya PPKB (Persatoean
Pergerakan Kaoem Boeroeh) yang dikuasai VSTP sebagai konfederasi aliansi
serikat buruh pertama di Indonesia;
3.
Munculnya pemberontakan-pemberontakan tani
di berbagai daerah;
4.
Revolusi Februari dan Oktober 1917 di
Rusia yang dipopulerkan beritanya oleh Sneevliet dalam artikelnya Zegepraal
yang dimuat dalam De Indier (suratkabar National Indische Partij);[8][8]
dan
5.
Hasil kongres Sarikat Islam kedua yang
salah satu poinnya berbunyi menentang Kapitalisme yang jahat, dari hasil
tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa adanya radikalisasi gerakan Sarikat Islam
sejak Oktober 1917[9][9].
Dengan
demikian jelas bahwa PKI lahir bukan tanpa ada sebab-sebab tertentu melainkan
karena adanya hal-hal yang mendukung kelahirannya, terutama sebab-sebab ekonomi
politik yang menjadi sebab utama lahirnya PKI dalam panggung sejarah.
PKI dan
Pemerintahan Sosialisme Indonesia: 1945-1948
Setelah
kita mengetahui sebab-sebab lahirnya partai revolusioner PKI, kita patut
mengetahui pula bahwa dalam perkembangannya, PKI mengalami pasang surut
perjuangan. Tahun 1926, PKI tampil sebagai partai pertama yang berani menantang
Kapitalisme Belanda dengan melakukan Putsch[10][10]. Selain
itu, PKI yang hancur pada masa itu kembali mengorganisir kekuatan dan bergabung
dengan partai-partai borjuasi progresif seperti PNI. Pada masa perjuangan
rakyat bersama PNI mengalami masa-masa sulit dimana saat itu terjadi krisis
Malaise tahun 1929-1930. Namun, PNI dalam perjuangannya mengalami kemajuan
pesat karena di dukung oleh faktor-faktor tertentu seperti pemberontakan kapal
Zeven Provincien pada Februari 1933, pemogokan buruh kereta api di seluruh Jawa
pada Juli 1933[11][11],
dan semakin melemahnya pengaruh pemerintah kolonial di Indonesia.
Beberapa
anggota PKI di Boven Digoel yang dibuang akhirnya mengorganisir kekuatan baru
sejak tahun 1932 dengan mendasarkan aktivitasnya pada 18 pasal. Selain itu,
sejak kedatangan Musso tahun 1935 yang membawa garis kebijakan Anti Fasis dari
Komintern, PKI berhasil menyusun kekuatan baru secara ilegal. Dalam kegiatan
legalnya, para anggota PKI juga bergabung dalam Gerindo (Gerakan Rakyat
Indonesia) dan bersama partai-partai borjuasi progresif lainnya membentuk GAPI
(Gabungan Politik Indonesia) yang melaksanakan kongres pertamanya tanggal 23-25
Desember 1939. Sejak kedatangan Jepang
tahun 1942, PKI yang bergerak dibawah tanah pada akhirnya memfokuskan dirinya
pada perjuangan melawan Fasisme hingga tahun 1945[12][12].
Tahun
1945 adalah tahun awal revolusi Indonesia dimana proklamasi dilaksanakan.
Terbentuknya pemerintahan borjuasi pertama di Indonesia dengan susunan
pemerintahan dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri dan Soekarno
sebagai kepala negara. Dalam aturan kekuasaan yang baru, dari pihak Tan Malaka
maupun pihak PKI pada masa itu sepakat bahwa Syahrir dalam perjuangannya
memakai taktik diplomasi, maka dari itu membuat posisi republik menjadi lemah
dihadapan Imperialis Belanda. Berkenaan dengan pemerintahan Syahrir, Tan Malaka
mendefinisikannya dengan musim jaya berjuang dengan Persatuan Perjuangan
sebagai pelopornya[13][13],
sedangkan Aidit dan kawan-kawannya lebih suka menyebut Pemerintahan Syahrir
sebagai pemerintahan Sosialis Kanan yang memusuhi perjuangan rakyat bersenjata.
Kebobrokan pemerintahan Syahrir bisa dilihat dari disetujuinya perundingan
Linggarjati tanggal 15 November 1946 yang sangat merugikan bangsa Indonesia
pada kala itu.Secara ekonomi politik, perundingan Linggarjati menyebabkan
rakyat Indonesia harus kehilangan aset-aset produksi di wilayah Sumatera
sebagian, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku.
Karena
kebobrokannya, Syahrir digantikan oleh Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri
yang baru sejak tahun 1947. Dalam pemerintahan Amir Syarifuddin, rakyat
memperoleh beberapa kemenangan seperti disahkannya UU Kerja oleh Menteri
Perburuhan, SK Trimurti dan berdirinya SOBSI (Sentraal Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia) pada Mei 1947 dengan pimpinan utama yaitu Harjono, Oei Gee Hwat,
Njono, Asraroeddin, Djokosoejono, SK Trimurti, R. H. Koesnan, K. Werdoejo, dan
lain-lain[14][14].
Keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi politik bertambah dengan
bergabungnya SOBSI dengan WFTU (World Federation of Trade Union) – sebuah
aliansi serikat buruh internasional yang didirikan 3 Oktober 1945 di Praha,
Cekoslowakia.
Namun,
selain kesuksesan-kesuksesan tersebut, ternyata pemerintahan Amir Syarifuddin
juga mempunyai kebobrokan yang fatal, yaitu menyetujui perundingan Renville 12
Januari 1948 dimana perundingan tersebut sangat merugikan rakyat Indonesia
secara ekonomi politik. Perundingan tersebut menyebabkan kekuasaan ekonomi
politik Republik Indonesia secara de jure hanya tersisa wilayah Jawa Bagian
Tengah, Sumatera Bagian Timur, dan Sumatera Bagian Selatan. Karena kebobrokan
tersebut, akhirnya Amir Syarifuddin turun dari jabatannya sebagai perdana
menteri tahun 1948.
Ternyata
akibat dari perundingan Renville mengakibatkan dampak yang hebat yang pada
akhirnya nanti membuat rakyat Indonesia mengalami bentrok antar sesamanya
akibat seruan provokasi dair pemerintah. Aidit menyebut kejadian tersebut
dengan istilah teror putih kedua[15][15].
Akibat perjuangan-perjuangan dalam mempertahankan aset produksi di Madiun dan
wilayah Jawa Timur lainnya, pemerintah memprovokasi tentara dan memanfaatkan
konflik internal tentara untuk membasmi kekuatan kaum kiri di Madiun yang
dipelopori oleh Musso dan Amir Syarifuddin.[16][16]
Pemerintahan Hatta
Hingga Tahun 1949: Provokasi Madiun dan Perundingan KMB
Dalam
catatan sejarah dari perspektif kaum kiri hingga kini telah menyebutkan bahwa
kebobrokan-kebobrokan kaum Sosialis Kanan yang dipelopori oleh Hatta dan Syahrir
terletak pada bentuk kerjasamanya dengan Imperialisme serta menolak perjuangan
rakyat bersenjata. Selain itu, catatan sejarah dari perspektif kaum kiri juga
selalu meyakini bahwa Hatta-lah yang memprovokasi tentara dan rakyat untuk
melakukan pemberontakan di Madiun dengan memanfaatkan konflik internal tentara
di Surakarta dan hadirnya Musso dan Amir Syarifuddin sebagai pimpinan dari FDR
(Front Demokrasi Rakyat)[17][17].
Selain
dalam lapangan politik yang menyebabkan hancurnya gerakan kiri tahun 1948, dalam
lapangan ekonomi politik juga Hatta melakukan kebobrokan-kebobrokan seperti
misalnya tanggal 2 November 1949, pemerintah melakukan persetujuan KMB dengan
pemerintahan Belanda atas inisiatif KTN (Komisi Tiga Negara). Persetujuan
tersebut menghasilkan poin-poin penting diantaranya ialah Republik Indonesia
diwajibkan membayar hutang Hindia Belanda kepada negeri Belanda dan
negeri-negeri Imperialis lainnya sebesar 5 miliar Rupiah, perusahaan-perusahaan
dilapangan industri, perdagangan, dan keuangan yang dimiliki kaum imperialis
Belanda tidak boleh diganggu gugat, serta adanya hak istimewa terhadap
orang-orang asing. Hatta menyebutkan dari perspektif lain bahwa dengan adanya
persetujuan KMB, maka Indonesia telah lepas dari imperialis Belanda[18][18].
Dengan begitu, persetujuan KMB lebih banyak merugikan daripada menguntungkan
bangsa Indonesia.
Selain
itu, persetujuan KMB juga melahirkan Uni Indonesia-Belanda atau dengan nama
lain disebut juga Republik Indonesia Serikat. Kebobrokan yang paling utama dalam
pelaksanaan RIS yaitu terjadinya penguasaan-penguasaan alat produksi oleh
imperialis Belanda di luar wilayah Jawa dan Sumatera. Setelah periode
kehancuran RIS tahun 1950, Hatta mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri
dan digantikan oleh Natsir dan Sukiman yang sangat reaksioner. Dibawah
pemerintahan Sukiman, terjadi peristiwa razia Agustus, dimana kaum kiri dibasmi
oleh pemerintah atas tuduhan serangan pos polisi Tanjung Priok yang dituduhkan
kepada kaum komunis. Kejadian tersebut terjadi pada 16 Agustus 1951[19][19]
Penutup:
Pencapaian-pencapaian Ekonomi Politik PKI Setelah Tahun 1949 dan
Kesimpulan
Setelah
kita melihat catatan-catatan sejarah dari perspektif kiri mengenai dinamika
perjuangan PKI dalam mempertahankan ekonomi politik kerakyatan dari
Imperialisme, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa PKI belum berhasil
melaksanakan ekonomi politik kerakyatan hingga tahun 1949 disebabkan oleh
hal-hal tertentu, seperti Provokasi Madiun 1948, perundingan-perundingan
reaksioner (Linggarjati, Renville, hingga KMB), dan naiknya pemerintahan yang
mendukung klik Imperialis.
Hingga
tahun 1955, PKI baru berhasil menjadi pemenang pemilu terbanyak keempat setelah
PNI, Masyumi, dan NU. Dengan masuknya PKI ke pemerintahan sejak Wilopo berkuasa
tahun 1951, PKI melakukan beberapa perubahan-perubahan ekonomi politik yang
progresif. Hingga tahun 1965, pencapaian terbesar PKI ialah munculnya UU Kerja
pada masa Amir Syarifuddin, terbentuknya barisan SOBSI dan BTI sebagai aliansi
organisasi yang mewakili massa buruh industri dan buruh tani, Pelaksanaan
Landreform, pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), dan bersama-sama
dengan Soekarno menasionalisasi sebagian besar perusahaan asing di wilayah
Republik dengan melaksanakan kontrol buruh atas pabrik dibawah pengawasan
partai.
Pencapaian-pencapaian
tersebut bukan datang dari langit secara tiba-tiba, tetapi karena
perjuangan-perjuangan sejak tahun 1914, dimana kaum Marxis pertama kali
bercokol di Indonesia.
Sejak
awal, tujuan kaum Marxis di Indonesia ialah merebut alat produksi dari
Imperialis-imperialis dengan melakukan klik-klik revolusioner seperti
nasionalisasi aset industri, landreform, hingga melaksanakan kontrol buruh.
Aidit mencatat bahwa keadaan ekonomi Indonesia di masa Sukiman sangat lemah dan
keadaan ekonomi Indonesia di masa Wilopo, Ali Sastroamidjojo, dan Demokrasi
Terpimpin mengalami kemajuan pesat[20][20].
Kemajuan-kemajuan ekonomi tersebut tidak lepas dari proses nasionalisasi aset
industri yang dijalankan pada masa itu. Ketidaksetujuan rakyat terhadap persetujuan
KMB melancarkan proses nasionalisasi tersebut sehingga kemajuan ekonomi secara
berdikari dianggap sangat berhasil pada masa itu.
Terlebih
lagi masa Demokrasi Terpimpin dimana program landreform mendapat perhatian
utama. UU Pokok Agraria yang direncanakan sejak tahun 1957 pada akhirnya
disahkan tahun 1960. Dalam pelaksanaan UU Tersebut, PKI terus mengawal melalui
Barisan Tani Indonesia (BTI) melawan kaum-kaum tuan tanah dan petani kaya.
Dalam aksi tersebut, tidak jarang para petani miskin dan buruh tani melakukan
aksi penyerobotan lahan sebagai konsekuensi taat akan UU Pokok Agraria.
Pencapaian-pencapaian ekonomi politik inilah yang nantinya akan menjadi
provokasi dari pihak Angkatan Darat dan klik borjuasi kanan untuk menghancurkan
PKI di tahun 1965.
Terlepas
dari itu semua, kita patut menyimpulkan secara garis besar bahwa dalam
perjalanannya, PKI tidak pernah putus dari garis massa rakyat luas dalam
melaksanakan program-programnya. Walaupun dalam perjalanannya, dalam perspektif
Marxisme-Leninisme, PKI sangat revisionis sifatnya. Sifat bekerjasama dengan
borjuasi nasional adalah kesalahan utama dari PKI sehingga PKI tidak pernah
punya kesempatan dalam taktik perebutan kuasa. Selain itu, kesalahan lainnya
ialah PKI tidak pernah jelas dalam memegang garis ideologi dan terkesan sangat
nasionalistik sehingga melupakan tujuan utama, yaitu Sosialisme Internasional.
Tetapi walaupun begitu, dalam perjuangan melawan Imperialisme paska proklamasi,
PKI mengalami keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi politik serta seni
dan budaya sehingga PKI tidak sepenuhnya mengalami kesalahan-kesalahan.
Selebihnya, seharusnya buruh dan tani tidak boleh lupa akan perjuangan PKI
dalam membela kedua kaum tersebut melawan kelas yang menyiksanya – yaitu
borjuasi dan tuan tanah.
Sumber Pustaka
Aidit. 1952. Sedjarah Gerakan Buruh
Indonesia (Dari Tahun 1905 Sampai Tahun 1926). Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1953. Menudju Indonesia Baru.
Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1955. Lahirnja PKI dan
Perkembangannja (1920-1955). Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1955. Djalan ke Demokrasi Rakyat
Bagi Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Aidit. 1957. Konfrontasi Peristiwa Madiun
1948 – Peristiwa Sumatera 1956. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Gie, Soe Hok. 1999. Dibawah Lentera Merah.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Depatgiprop Comitte Centraal PKI. 1958.
Apa Partai Komunis Itu. Jakarta: Depatgiprop CC PKI.
Malaka, Tan. 2008. Gerpolek: Gerilya –
Politik – Ekonomi. Yogyakarta: Resist Book.
Musso. 1953. Djalan Baru untuk Republik
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembaharuan.
Suar Suroso. 2013. Akar dan Dalang:
Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno. Bandung: Ultimus.
[1][1] Artikel ini dibuat dengan mengambil sudut pandang kaum
kiri dan mengambil sumber-sumber catatan sejarah dari perspektif kaum kiri.
[2][2] Dokumen Depatgiprop PKI. Apa Partai Komunis Itu.
(Jakarta. Depatgriprop PKI. 1958). Hal. 1. Lih, pula, DN Aidit dalam Sejarah
Gerakan Buruh Indonesia (Dari Tahun 1905 sampai Tahun 1926). (Jakarta.
Yayasan Pembaharuan. 1952). Hal. 37.
[4][4] Ibid. Hal. 38. Lih. Pula, Suar Suroso dalam Akar
dan Dalang Pembantaian PKI 1965. (Bandung. Ultimus. 2013). Hal. 108.
[8][8] Ketiga poin diatas diambil dari keterangan Aidit dalam
karyanya Lahirnya PKI dan Perkembangannya (Jakarta. Yayasan Pembaharuan.
1955) dalam bab Pembentukan Partai dan Perdjuangan Melawan Teror Putih
Pertama.
[9][9] Poin terakhir merupakan tambahan dari penulis dengan
mempertimbangkan hal-hal tertentu seperti misalnya adanya pengaruh Semaun, dkk
dalam tubuh CSI pada kala itu dan perluasan gerakan Marxis dalam tubuh Sarekat
Islam itu sendiri sebagai konsekuensi atas hasil kongres tersebut. Lih. Pula
Soe Hok Gie. Op. cit. Hal. 28-29.
[10][10]Putsch atau pemberontakan tahun 1926 memiliki
perspektif berbeda dalam penjelasannya. Antara Tan Malaka dan kubunya dengan
Alimin, Aidit, dan kubunya saling melempar tuduhan atas kegagalan pemberontakan
tersebut. Lihat Tan Malaka dalam karyanya Thesis dan Alimin dalam
karyanya Analisis.
[13][13] Tan Malaka melihat keadaan tersebut melalui
perspektif keberpihakannya terhadap Persatuan Perjuangan, sebagai aliansi yang
beroposisi terhadap Pemerintahan Syahrir. Persatuan Perjuangan dihancurkan oleh
pemerintahan Syahrir tanggal 17 Maret 1946. Lih. Pula Tan Malaka dalam Gerpolek
bab pertama Republik Indonesia ke Dalam dan Ke Luar. (Yogyakarta. Resist
Book. 2008).
[16][16] Dalam pembahasan yang lebih mendalam soal
Pemberontakan Madiun 1948 dari perspektif PKI, lihat Aidit dalam Menggugat
Peristiwa Madiun (Jakarta, Yayasan Pembaharuan, 1955) dan Aidit dalam Konfrontasi
Peristiwa Madiun 1948 – Peristiwa Sumatera 1956 (Jakarta, Yayasan
Pembaharuan, 1957).
[17][17] Suar Suroso. Op. cit. Hal. 153-154. Catatan
tambahan: Front Demokrasi Rakyat adalah front yang dibentuk oleh Musso dengan
menggabungkan antara PKI dengan Partai Buruh dan Partai Sosialis. FDR dibentuk
atas dasar teori dari garis-garis Komintern yang menekankan kerjasama dengan
membentuk Front Nasional. Lih. Pula Musso dalam Jalan Baru Republik
Indonesia (Jakarta, Yayasan Pembaharuan, 1953) dalam bab Front Nasional.
Musso melanjutkan dengan memberikan usul agar segera anggota PBI dan Partai
Sosialis melebur dengan PKI dengan mengadakan Front Nasional yang lebih luas
lagi dalam melawan Imperialisme.
[20][20] Lih. Aidit dalam Menuju Indonesia Baru.
(Jakarta. Yayasan Pembaharuan. 1953). Hal. 32-36. Lih. Pula Aidit dalam Djalan
Ke Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pembaharuan. 1955).
Hal. 47-48.
0 comments:
Post a Comment