Beberapa waktu lalu, banyak pengkritik
Marxisme yang vulgar menyatakan bahwa kebangkitan Marxisme – Leninisme di
Indonesia dianggap sebagai awal dari kehancuran Pancasila itu sendiri. Banyak
yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan para Marxis di Indonesia adalah ingin
mengganti ideologi Pancasila menjadi Marxisme – Leninisme. Banyak pula yang
serampangan mengatakan bahwa para Marxis di Indonesia sedang mempersiapkan diri
tuk mengulang sejarah masa lalu yaitu untuk menghancurkan sendi-sendi Pancasila
dengan revolusi.
Menurut anggapan mereka, apa yang
dilakukan oleh PKI, SR, FDR, dan beberapa serikat yang tergabung ke dalam
aliansi organisasi Marxis di Indonesia adalah untuk meruntuhkan Pancasila. Padahal
tidak demikian, Pancasila adalah suatu ideologi yang sempurna. Menurut para
pakar, Pancasila bukan berdiri diantara Liberalisme-Kapitalisme dengan
Sosialisme, melainkan bahwa Pancasila merupakan bagian cabang dari ideologi
kiri yang berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Seperti halnya
Juche, Pancasila hanya cocok di terapkan dalam negara Indonesia sebagai
ideologi transisi menuju pelenyapan negaranya.
Pancasila mempunyai kelima sila yang
memang merupakan gabungan dari para pemikir Indonesia kala itu. Ketika Soekarno
sebagai bapak bangsa menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan ideologi dari
Indonesia, Pancasila merupakan bentuk penerapannya. Pancasila merupakan
perpanjangan dari asas bangsa yaitu “gotong royong”. Soekarno menyatakan bahwa
Nasionalisme, Agama, dan Marxisme merupakan satu kesatuan ideologi yang cocok
di terapkan di Indonesia.
Pancasila mengandung dari ketiganya.
Menurut Soekarno, Marxisme yang relevan dengan zaman sekarang adalah Marxisme
yang Nasionalis dan kaum Islam yang mengikuti perkembangan zaman adalah kaum
Islam yang pemikirannya rasional serta bisa berjalan beriringan dengan
Marxisme. Hal ini kita perlu analisis kembali terkait dengan pemahaman
Pancasila sebagai salah satu ideologi kiri. Sebelumnya, kita menganalisis
kelima sila Pancasila yang merupakan bagian dari pemikiran para tokoh
pergerakan nasional yang kepincut Marxisme.
Pancasila terdiri dari lima sila yang
merupakan bangunan dasar dari segala pandangna hidup bangsa Indonesia. Kelima
sila tersebut adalah :
1.
Ketuhanan
yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Ketika kita perhatikan kelima sila
tersebut, maka kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada hal yang mengandung asas
Marxisme sama sekali. Namun, sekali lagi kita analisis lebih jauh lagi soal
kelima sila tersebut.
Indonesia
Merupakan Negara yang Berketuhanan yang Maha Esa
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan
yang Maha Esa” merupakan asas Ketuhanan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
mempunyai Tuhan. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang Atheis atau tidak beragama.
Ketuhanan merupakan sendi utama dari kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
berkaitan dengan moral. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermoral adalah
bangsa yang di atur dan dibatasi gerak, sikap, dan perilakunya oleh peraturan
Ketuhanan atau keagamaan. Bahkan, prinsip utama bangsa yaitu ‘gotong royong’
berasal dari kerukunan masyarakat yang mempunyai moral Ketuhanan. Perlu di
tegaskan disini, seseorang yang mempunyai Tuhan, tidak perlu beragama dan
seseorang yang beragama bahkan bisa saja tidak mempunyai Tuhan. Maka agama yang
diterima oleh bangsa adalah agama yang mempunyai Tuhan yang Maha Esa atau lebih
tepatnya lagi agama yang paling rasional dari agama yang ada. Bangsa Indonesia
memahami bahwa, Ketuhanan yang Maha Esa merupakan hal yang rasional karena
segala material yang ada dalam alam semesta hanya di atur oleh satu Tuhan saja,
bukan oleh banyak Tuhan yang menimbulkan pertentangan kebijakan Ketuhanan yang
menimbulkan kebingungan di kalangan ciptaanNya.
Dalam masyarakat yang berKetuhanan yang
Maha Esa, moral merupakan prinsip utama dalam kehidupannya. Tiada agama yang
tidak mengajarkan moral, namun bukan berarti orang tidak beragama juga tidak
bermoral. Perlu di tekankan bahwa bangsa Indonesia tidak menerima sama sekali
masyarakat yang tidak mempunyai Tuhan. Sebisa mungkin, masyarakat mereduksi
Atheisme sebagai sumber kehancuran moral bangsa, walaupun kita mengetahui tidak
semua orang Atheis itu tidak bermoral.
Kebebasan dalam beragama perlu di
junjung tinggi sebagai prinsip utama dari toleransi. Kegotong royongan
Indonesia dibangun juga berdasarkan toleransi antar umat beragama yang tercipta
dari masyarakat yang heterogen seperti bangsa Indonesia. Bentuk masyarakat
Indonesia yang notabene merupakan masyarakat komunal mengandung heterogenitas
kepercayaan tradisional Monotheistik ataupun semi Monotheistik merupakan
masyarakat yang dibangun berdasarkan aturan moral serta toleransi yang kuat
sehingga tidak heran bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
berKetuhanan yang heterogen. Bentuk Tuhan dari masing-masing kepercayaan memang
berbeda, namun aturan moral tetap sama. Hal ini lah yang menyatukan masyarakat.
Perekat itu diperkuat dengan adanya toleransi antar umat beragama.
Humanisme
Bangsa Indonesia
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
merupakan bentuk dari Humanisme bangsa. Pancasila mempunyai asas Humanisme nya
sendiri yang sesuai dengan kondisi bangsa. Humanisme yang dimaksud adalah
humanisme yang dibangun berdasarkan hak asasi kolektif masyarakat, bukan hak
asasi manusia yang berbentuk individual. Masyarakat Indonesia yang menjunjung
tinggi nilai gotong royong merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi
Humanisme Sosial. Hal ini berarti menyiratkan bahwa bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang menganut keseluruhan prinsip Sosialisme, bahkan Humanismenya itu
sendiri.
Bentuk keadilan dan keberadaban yang
dimaksud adalah bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang adil dalam
pemerataan ekonomi sosial serta bangsa yang menjunjung tinggi adab. Adab
tersebut lahir dari hak asasi yang kolektif serta moral yang telah dijelaskan
di awal. Aturan adab tersebut berdasarkan aliran kepercayaan suku masing-masing.
Namun saya menekankan bahwa walaupun proses pembentukan moral dan adab di
setiap kepercayaan berbeda-beda, namun tujuannya tetap sama yaitu menciptakan
masyarakat yang patuh terhadap norma yang ada. Norma bangsa yang dimaksud ada 4
yaitu norma Ketuhanan, sosial, hukum, dan susila. Norma tersebut disepakati
oleh anggota masyarakat untuk menjaga sikap dan perilaku anggota masyarakat
dalam beraktivitas.
Ketika masyarakat Indonesia telah
berhasil menegakkan adab dan moral yang benar, maka yang tercipta adalah bentuk
masyarakat yang memanusiakan manusia. Konsep tersebut sama dengan konsep
alienasi dalam Marxisme. Marx menyatakan bahwa untuk keluar dari alienasi,
hubungan antar manusia bukan lagi sebagai bentuk hubungan antar material namun
harus hubungan antar manusia, memanusiakan manusia. Ketika hubungan tersebut
sudah merupakan bentuk hubungan sosial, manusia berhasil menjalankan fungsinya
sebagai makhluk sosial. Makhluk yang menjunjung tinggi norma, moral, serta
kolektivitas di atas segalanya. Humanisme yang diterapkan bangsa menempatkan
manusia di posisi tertinggi dari segala material yang ada. Manusia yang
menggunakan nalarnya untuk menciptakan kesadaran sosial yang tinggi, bukan
manusia yang menggunakan nalarnya untuk mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Humanisme bangsa juga mengatur hubungan
manusia sebagai makhluk sosial dengan alam sebagai tempat ia bertahan hidup.
Manusia dan alam merupakan satu kesatuan material yang bersimbiosis mutualisme.
Manusia bukanlah makhluk yang hidup sebagai parasit terhadap alam, melainkan
harus saling menguntungkan. Ketika salah satu tidak seimbang, yang terjadi
adalah bentuk pemberontakan dari salah satu pihak. Manusia atau alam akan
mengalami bencana yang tidak tertanggulangi akibat ketidakseimbangan dalam
hubungannya. Bisa disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
humanis yang menjunjung tinggi kelestarian alam.
Nasionalisme
dan Persatuan
Sila ketiga berbunyi “Persatuan
Indonesia” merupakan satu-satunya asas Nasionalisme yang disebutkan secara
tersurat dalam Pancasila. Menurut Soekarno, bangsa yang menjunjung tinggi
Nasionalisme adalah bangsa yang tinggi peradabannya, bangsa yang berhasil
melepaskan diri dari segala bentuk Imperialisme atau Kolonialisme. Kita
sama-sama mengingat masa lalu bahwa ketika muncul kesadaran Nasionalisme di
berbagai bangsa di dunia, maka bangsa-bangsa tersebut berusaha untuk melepaskan
diri dari para penindas dan penghisap yang tidak manusiawi. Bangsa yang
mempunyai kesadaran Nasionalisme tinggi adalah bangsa yang berhasil bebas dari
alienasi atau keterasingan individual.
Soekarno juga menyebutkan bahwa
Nasionalisme Indonesia bukan Nasionalisme yang Chauvinisme atau Fasisme. Kita
sama-sama mengetahui bahwa bentuk Fasisme merupakan salah satu bentuk dari
Ultra-Nasionalisme. Ultra-Nasionalisme benar-benar menciptakan kelas-kelas
dalam bangsa. Faktanya bahwa Fasisme yang sangat mengagungkan rasnya akhirnya
menganggap ras lain sebagai sampah. Itulah yang terjadi pada Jerman ketika pada
masa Hitler atau Italia pada masa Mussolini. Fasisme telah menciptakan perang
antar bangsa.
Lalu Nasionalisme kita ini Nasionalisme
yang seperti apa ? Nasionalisme kita adalah Sosio-Nasionalisme, Nasionalisme
yang menjunjung tinggi asas Sosialisme. Walaupun Marxisme merupakan suatu ideologi
yang bersifat Internasionalisme, namun Marxis yang relevan dengan keadaan zaman
yaitu Marxis yang Nasionalis. Marxis yang membangun bangsanya baru bergabung
dengan bangsa lain tuk membentuk federasi sosial. Seperti halnya Soekarno, Tan
Malaka juga demikian. Tan Malaka adalah seorang Marxis yang nasionalis. Saya
bahkan tidak sependapat dengan Musso yang terlalu memaksakan Internasionalisme
kepada bangsa.
Kita beralih dari Nasionalisme, jika
kita menganalisis bagaimana historis dari Nasionalisme Indonesia itu sendiri
secara sifat dan sikap masyarakat. Nasionalisme lahir dari masyarakat komunal
yang bergotong royong seperti halnya bangsa Indonesia. Nasionalisme tersebut
adalah Nasionalisme yang bermoral dan tercipta sebagai bentuk dari sifat sosial
masyarakat itu sendiri. Berkaitan dari konsep alienasi dalam Marxisme,
Nasionalisme yang tercipta merupakan Nasionalisme yang humanis, Nasionalisme
yang keluar dari keterasingan individual. Keterasingan individual tidak akan
menciptakan kesadaran untuk berNasionalisme, keegoisan manusia yang akhirnya
menciptakan masyarakat Kapitalisme merupakan musul dari Nasionalisme itu
sendiri. Kesimpulannya bahwa baik Marxisme maupun Nasionalisme adalah musuh
utama dari Kapitalisme-Liberalisme. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat
yang Liberal, namun masyarakat yang mempunyai kesadaran Nasionalisme yang
menjunjung tinggi nilai-nilai Sosialisme dalam kehidupannya.
Demokrasi
Indonesia dan Marxisme
Hal inilah yang membuat Pancasila
secara sekilas menjadi bagian dari Sosial Demokrat. Namun, sebenarnya demokrasi
Indonesia yang tertuang dalam sila ke – 4 dari Pancasila merupakan Demokrasi
yang lebih dari itu. Kebebasan dalam berpolitik di Indonesia sangat di junjung
tinggi. Masyarakat Indonesia yang berprinsip gotong royong merupakan masyarakat
yang mempunyai hak menyatakan pendapat dalam menentukan kebijakan yang pantas
di terapkan dalam masyarakat. Pemaksaan pendapat individual merupakan suatu
bentuk pengkhianatan demokrasi. Pendapat tersebut harus disetujui secara
kolektif oleh anggota masyarakat.
Dalam perspektif Marxisme, kaum
proletar mempunyai hak kebebasan yang tiada berbatas dalam menyatakan
pendapatnya dalam dewan selama pendapat tersebut bisa menyejahterakan
masyarakat. Hak kebebasan berpendapat tersebut tentu di kontrol penuh oleh
partai sebagai institusi yang mempunyai kecerdasan politik yang tinggi. Dewan
yang terdiri dari proletariat harus di didik secara politik sehingga bisa
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memang dapat membawa masyarakat ke
kesejahteraan. Negara sebagai alat politik harus di pimpin oleh musyawarah,
bukan di pimpin oleh individual saja (misalnya presiden, ratu, dan lainnya).
Negara haruslah merupakan negara kerakyatan, negara yang menjunjung tinggi
demokrasi kerakyatan. Ketika kebijakan-kebijakan rakyat berhasil menghapus
segala bentuk borjuasi di masyarakat, maka secara otomatis sifat politik dalam
negara dapat hilang seiring terhapusnya kelas-kelas.
Demokrasi yang demikianlah yang dianut
masyarakat Indonesia. Demokrasi kerakyatan yang tentunya berbeda dengan
Demokrasi Sosial apalagi Demokrasi Liberal ala Amerika Serikat. Dalam Demokrasi
Kerakyatan, rakyat benar-benar berperan penuh dalam mengatur negaranya dalam
prinsip musyawarah atau perwakilan dalam dewan musyawarah. Negara Indonesia yang
dibangun dalam prinsip gotong royong, maka dalam demokrasinya harus bersifat
gotong royong juga. Seperti halnya masyarakat komunal yang di cita-citakan
Marx, maka masyarakat Indonesia harus kolektif dalam membangun demokrasinya.
Demokrasi kita juga bukan merupakan
demokrasi yang multipartai seperti halnya Demokrasi Liberal. Demokrasi
Indonesia adalah demokrasi yang berpartai tunggal dengan bentuk kebebasan
berpendapat dalam dewan yang di kontrol partai. Sistem multipartai yang
dibangun oleh para borjuis dapat mengakibatkan pecahnya persatuan masyarakat
itu sendiri. Asas Indonesia yang bersifat Sosialisme akan bertransformasi
menjadi masyarakat Liberal. Akibatnya, kebanyakan partai hanya mengurusi
perkembangan partainya daripada perkembangan negaranya. Hal inilah yang
menimbulkan banyaknya pertentangan antar partai yang mewakili masyarakat. Tidak
heran dalam Demokrasi Liberal banyak terjadi konflik antar partai. Bahkan di
Indonesia sendiri, konflik antar partai bahkan terjadi di tubuh Dewannya itu
sendiri.
Demokrasi Liberal sungguh merupakan
suatu bentuk kehancuran Nasionalisme. Tidak heran bahwa banyak para pakar ahli
politik menilai demokrasi yang terjadi di Indonesia di masa kini adalah
demokrasi yang kebablasan. Sudah saatnya Indonesia kembali ke konsep awal
masyarakatnya yaitu gotong royong, maka demokrasi yang kita pilih merupakan
demokrasi kerakyatan yang berasaskan Sosialisme, bukan demokrasi Liberal yang
bahkan bertentangan dengan prinsip gotong royong itu sendiri.
Indonesia
: Negara yang Berkeadilan Sosial
Sila kelima Pancasila jelas secara
tersurat sangat berkaitan dengan Sosialisme Ilmiah. Keadilan sosial yang
dimaksud merupakan keadilan kolektif yang sesuai dengan moral yang sudah
dijelaskan di atas. Keadilan sosial tersebut yang akhirnya akan akan
menciptakan hukum yang di atur sesuai keadaan moral masyarakat. Masyarakat
Indonesia sangat menjunjung tinggi keadilan yang demikian.
Dalam prosesnya, keadilan sosial tidak
terbentuk begitu saja. Keadilan sosial itu sendiri tercipta ketika masyarakat
sudah berprinsip gotong royong dan mempunyai aturan moral yang terikat dalam
Ketuhanan. Keadilan yang melalui proses demikian akan mencapai tahapan keadilan
sosial yang merupakan bentuk sempurna dari keadilan itu sendiri.
Kita sama-sama mengetahui bahwa jika
suatu masyarakat menjunjung tinggi hukum, maka keadilan akan diabaikan, dan
jika masyarakat itu menjunjung tinggi keadilan, maka hukum akan dipertanyakan.
Namun, jika kita membangun keadilan secara kolektif, bukan tidak mungkin hukum
yang adil itu sendiri tercipta. Namun yang masih menjadi polemik sekarang ini
adalah institusi atau lembaga hukum yang ada menerapkan hukum yang tidak adil,
tidak heran banyak orang mulai luntur kepercayaannya pada institusi hukum yang
demikian.
Dalam perspektif Marxisme, keadilan
merupakan basis utama dari masyarakat yang berasaskan Sosialisme. Keadilan
tersebut di peroleh dengan revolusi, bukan dengan cara lunak. Hal ini telah
diterapkan oleh bangsa Indonesia ketika mereka berhasil melepaskan dirinya dari
penindasan. Kekerasan menjadi jalan terakhir dari menciptakan keadilan sosial.
Keadilan sosial yang tercipta akan menciptakan pemerataan sosial dan akhirnya
akan membangun masyarakat Sosialisme yang di idam-idamkan. Tentunya
tahapan-tahapan tersebut melalui metode sehingga Keadilan sosial yang tercipta
merupakan keadilan sosial yang ilmiah.
Kesimpulan
Jelas dalam keterangan-keterangan di
atas, terdapat hubungan yang erat antara Pancasila dengan Marxisme. Para
penggagas Pancasila memang mengarahkan Pancasila sesuai dengan prinsip utama
masyarakat Indonesia yaitu ‘gotong royong’. Prinsip tersebut juga merupakan
basis dasar dari Marxisme itu sendiri. Dari keterangan di atas juga bisa
diambil kesimpulan bahwa Pancasila yang merupakan sebuah pandangan hidup mengambil
banyak teori-teori Marxisme. Bahkan secara keseluruhannya, Pancasila yang di
reduksi menjadi Tri Sila oleh Soekarno sendiri mengandung asas Sosialisme yaitu
Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan. Hal ini dimaksudkan agar
bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang Sosialis dan sesuai dengan asas-asas
Marxisme dan Ketuhanan.
Penjelasan-penjelasan singkat tersebut
juga merupakan kritik atas kritik Marxisme yang hendak meruntuhkan eksistensi
Pancasila di Indonesia itu sendiri. Saya secara pribadi bahkan tidak ingin
menghancurkan Pancasila, namun hanya ingin mengembalikan Pancasila ke ajaran
murninya seperti yang di gagas para tokoh pergerakan nasional. Pada
kenyataannya, para penggagas Pancasila juga merupakan orang-orang yang notabene
banyak meminjam teori Marxisme untuk melakukan revolusi skala nasional. Perlu
di tekankan lagi, bahwa Pancasila merupakan bagian dari ideologi Sosialisme
Ilmiah, bukan Sosialisme Utopis. Karena untuk menuju masyarakat yang
Pancasilais, tahapan atau metode tertentu bahkan di jelaskan secara singkat
oleh para penggagasnya. Pancasila menjadi suatu ilmu yang di dasari oleh
filsafat, bukan sekedar cita-cita atau impian belaka.
0 comments:
Post a Comment