Menapaki jejak suatu
peristiwa sejarah lokal sangat menantang bagi para sejarawan. Karena pada
dasarnya, peristiwa sejarah lokal mempunyai lokalitas sumber yang cukup
terbatas sehingga para sejarawan harus kuat merangkai interpretasi untuk
mencapai kesimpulan penulisan yang tepat. Tantangan para sejarawan lainnya
terletak pada kebenaran hasil penulisan tersebut. Pantas saja jika pernyataan sejarawan
mempunyai kuasa lebih Tuhan karena bisa merubah peristiwa masa lampau di rasa
sangat tepat untuk diungkapkan mengingat berbagai peristiwa sejarah disampaikan
hanya dari sudut para sejarawan saja.
Louis Gottschalk
berpendapat bahwa fakta-fakta sejarah bahkan tidak mempunyai kenyataan yang
objektif karena hanya terdapat dalam pikiran para sejarawan saja. Untuk
memiliki kenyataan objektif, ia harus mempunyai eksistensi yang merdeka di luar
pikiran manusia. Namun, rasanya tidak mungkin karena pada dasarnya fakta
sejarah yang diteliti kemudian mendapat interpretasi dari para sejarawan itu
sendiri[1].
Dengan perkataan lain, hampir semua peristiwa sejarah yang diteliti tidak
mempunyai kenyataan objektif sama sekali.
Dari pernyataan
tersebut, kita pantas menyebut para sejarawan mempunyai kuasa melebihi Tuhan
karena ia dapat merubah kenyataan masa lalu. Kenyataan subjektif yang
diciptakan para sejarawan telah membuktikan bahwa pernyataan tersebut benar
adanya. Namun, para sejarawan selslu dikuasai oleh subjektifitas dari kelas
yang berkuasa. Maka dari itu, tepat rasanya jika kita menambahkan bahwa sejarah
pada dasarnya hanyalah milik para pemenang. Dengan demikian, dosa para
sejarawan bisa dikatakan akan melampaui dosa para pendeta sekalipun yang
berkhotbah salah soal kebenaran surga dan neraka.
Permasalahan kita
dalam menulis sejarah tidaklah hanya sampai disana. Terutama untuk sejarah
lokal, bagi sumber primer lisan sekalipun, mereka menceritakan apa yang telah
dialaminya dalam peristiwa masa lampau tersebut. Namun, Aesop tepat
mengamanatkan dalam ceritanya, jika manusia memang telah mengalami dan
melakukan perbuatan tersebut, ia harus membuktikannya juga tanpa perlu saksi
sejarah lainnya. Tetapi para saksi dan pelaku sejarah tidak mungkin mengikuti
perkataan hic Rhodus, hic salta![2].
Tetapi terlepas dari
kesulitan-kesulitan tersebut, para sejarawan hanya bisa pasrah dalam keadaan
yang demikian. Maksudnya, para sejarawan hanya meneliti semampu mereka dengan
menggunakan keterbatasan sumber sejarah yang ada. Leopold Von Ranke menyebutkan
bahwa sejarah harus ditulis dengan apa adanya. Ranke jauh menyebutkan bahwa
penyelidikan sejarah harus dipisahkan dari interpretasi filsafat[3].
Tetapi, bagi para Marxian yang menulis sejarah dan juga para Historian tidak
sepakat dengan pernyataan tersebut, sebagai gantinya mereka menyebutkan bahwa
sejarah harus ditulis dengan menggunakan interpretasi filsafat. Penggunaan
interpretasi tersebut berguna karena pada dasarnya peristiwa sejarah tersebut
harus menghasilkan nilai-nilai yang memberikan keterangan dan pedoman bagi
kehidupan di masa sekarang[4].
Terlepas dari semua
permasalahan diatas, pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa peristiwa
sejarah yang ditulis haruslah mematuhi hukum objektifitas fakta-fakta sejarah
yang ada dan para sejarawan berhak menginterpretasi dalam menilai kedalaman
fakta tersebut dengan bermaksud menggali nilai-nilai dalam peristiwa sejarah
tersebut. Disinilah pada akhirnya penelitian sejarah berguna untuk memberikan
pelajaran bagi masa mendatang bahwa tidak seharusnya sejarah menjadi sebuah
peristiwa yang berulang seakan-akan semua kenyataan dan tokoh-tokoh penting
dalam sejarah dunia terjadi, seakan-akan dua kali. Hegel lupa menambahkan bahwa
perulangan pertama kita sebut sebagai tragedi dan yang kedua ialah lelucon[5].
Tetapi mari kita
masuk ke dalam inti dari dibuatnya tulisan ini, yaitu apa yang menjadi masalah
utamanya. Tulisan ini mengambil suatu kronologi suatu peristiwa sejarah lokal
yaitu Sarekat Islam Semarang dalam periode kepemimpinan Semaun. Peristiwa
tersebut bisa kita katakan menarik karena ada beberapa hal yang menjadikan
peristiwa tersebut unik. Era kepemimpinan Semaun adalah era dimana Sarekat
Islam Semarang pada akhirnya bertransformasi secara ideologis. Pada awalnya
Sarekat Islam Semarang dipimpin oleh kalangan borjuis kecil, tetapi sejak 6 Mei
1917, organisasi lokal tersebut dipimpin oleh kalangan proletariat dibawah
kepemimpinan Semaun[6].
Kejadian tersebut menjadi sangat menarik karena mulai dari sinilah pada
akhirnya kaum Sosialisme Revolusioner-secara legal formalitas-mendapatkan
hatinya dikalangan kaum pribumi. Mengapa demikian?
Walaupun organisasi
Sosialisme pertama di Indonesia ialah ISDV, namun ISDV dibentuk oleh Sneevliet
yang merupakan bekas anggota SDP (cikal bakal Partai Komunis Belanda). Pada
pertemuan awalnya, ISDV diragukan sifat ke-Indonesia-annya karena sebagian
besar dari 60 anggota yang hadir pada masa itu merupakan orang Belanda yang
merupakan bekas anggota SDAP[7].
Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan suatu hal yang krusial dalam periode
kesejarahan bahwa Komunisme pribumi pada awalnya muncul dalam tubuh Sarekat
Islam Semarang, sedangkan ISDV bukanlah beranggotakan komunis pribumi pada
awalnya, melainkan beranggotakan para sosialis Belanda. ISDV merupakan
organisasi Sosialis Indonesia yang pertama, namun bukan organisasi komunis
pribumi pertama.
Menariknya pembahasan
tersebut akhirnya menuntun penulis untuk menulis mengenai hal itu dengan
keterbatasan sumber dan waktu yang ada sehingga penulis berharap keterbatasan
tersebut bisa dimaklumi oleh para pembaca sekalian. Selanjutnya, kita-sebagai
seorang sejarawan sama-sama mengharapkan bahwa studi mengenai Komunisme
harusnya diperdalam oleh para akademisi Indonesia untuk menghilangkan stigma
yang terjadi dalam masyarakat karena awamnya pengetahuan mengenai Komunisme itu
sendiri.
Sepanjang yang kita
ketahui, masyarakat Indonesia membenci Komunisme karena alasan utama yaitu
bapak pendirinya merupakan seorang Atheis. Muhammad Al Fayyadl-seorang santri
NU-bahkan menyebutkan bahwa tidak seharusnya seorang Marxis menjadi Atheis
karena pada dasarnya Marxisme bukanlah suatu hal yang dogmatis[8].
Dalam fakta kenyataannya, Sarekat Islam Semarang telah membuktikan bahwa untuk
menjadi seorang komunis tidak perlu pula menjadi seorang Atheis. Titik
persinggungan agama dengan Komunisme juga bisa kita lihat dalam perjuangan Haji
Misbach di Surakarta hingga kematiannya di Digul.
Maka dari itu, kita
mengharapkan studi tentang Komunisme harus diperbanyak sehingga stigma tersebut
menghilang. Studi tersebut juga pada akhirnya berguna untuk mendekatkan ilmu
Komunisme sebagai ilmu perjuangan kelas tertindas dengan kelas tertindas itu
sendiri untuk menyadarkan mereka bahwa kita semua sedang dalam penindasan
secara ideologis-melalui hegemoni borjuasi-lalu penindasan ekonomi (penekanan
upah minimum atau dalam kasus akademik kita melihat penerapan uang kuliah
tunggal dan penerapan PTNBH) serta penindasan fisik.
Selanjutnya, melalui
risalah yang banyak kekurangan ini, penulis berharap bahwa studi mengenai hal
tersebut tidak hanya menjadi alasan untuk mengejar nilai akademik semata, namun
juga menjadi studi komprehensif agar masyarakat dapat mengerti bahwa
generalisasi terhadap sesuatu pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang fatal
mengenai sesuatu tersebut sehingga tindakan yang merealisasikan kesimpulan
tersebut juga berujung pada tindakan fatal pula. Hal ini dapat kita lihat dalam
kejadian pembantaian beratus ribu hingga berjuta-juta rakyat tahun 1965-1966
akibat adanya tuduhan subversif dari militer Angkatan Darat terhadap PKI.
Referensi
[2]
Disini mawar, disinilah berdansa!-ungkapan yang diambil dari salah satu dongeng
Aesop yang menceritakan seorang pejalan yang bergaya angkuh mengklaim mempunyai
saksi untuk membuktikan bahwa dirinya telah pernah melakukan sebuah lompatan
yang menakjubkan di Rhodes, yang untuk itu ia menerima jawaban: “Buat apa
menyebutkan saksi-saksi apabila kisah itu benar? Di sini Rhodes, melompatlah
disni!”.
[8]
Muhammad Al Fayyadl dalam artikel Marxisme dan Atheisme yang diterbitkan
dalam jurnal LKIP Indoprogress tahun 2013.
0 comments:
Post a Comment