Wednesday, June 28, 2017

Mengenai Distorsi Sejarah


Menapaki jejak suatu peristiwa sejarah lokal sangat menantang bagi para sejarawan. Karena pada dasarnya, peristiwa sejarah lokal mempunyai lokalitas sumber yang cukup terbatas sehingga para sejarawan harus kuat merangkai interpretasi untuk mencapai kesimpulan penulisan yang tepat. Tantangan para sejarawan lainnya terletak pada kebenaran hasil penulisan tersebut. Pantas saja jika pernyataan sejarawan mempunyai kuasa lebih Tuhan karena bisa merubah peristiwa masa lampau di rasa sangat tepat untuk diungkapkan mengingat berbagai peristiwa sejarah disampaikan hanya dari sudut para sejarawan saja.
Louis Gottschalk berpendapat bahwa fakta-fakta sejarah bahkan tidak mempunyai kenyataan yang objektif karena hanya terdapat dalam pikiran para sejarawan saja. Untuk memiliki kenyataan objektif, ia harus mempunyai eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Namun, rasanya tidak mungkin karena pada dasarnya fakta sejarah yang diteliti kemudian mendapat interpretasi dari para sejarawan itu sendiri[1]. Dengan perkataan lain, hampir semua peristiwa sejarah yang diteliti tidak mempunyai kenyataan objektif sama sekali.

Dari pernyataan tersebut, kita pantas menyebut para sejarawan mempunyai kuasa melebihi Tuhan karena ia dapat merubah kenyataan masa lalu. Kenyataan subjektif yang diciptakan para sejarawan telah membuktikan bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Namun, para sejarawan selslu dikuasai oleh subjektifitas dari kelas yang berkuasa. Maka dari itu, tepat rasanya jika kita menambahkan bahwa sejarah pada dasarnya hanyalah milik para pemenang. Dengan demikian, dosa para sejarawan bisa dikatakan akan melampaui dosa para pendeta sekalipun yang berkhotbah salah soal kebenaran surga dan neraka.
Permasalahan kita dalam menulis sejarah tidaklah hanya sampai disana. Terutama untuk sejarah lokal, bagi sumber primer lisan sekalipun, mereka menceritakan apa yang telah dialaminya dalam peristiwa masa lampau tersebut. Namun, Aesop tepat mengamanatkan dalam ceritanya, jika manusia memang telah mengalami dan melakukan perbuatan tersebut, ia harus membuktikannya juga tanpa perlu saksi sejarah lainnya. Tetapi para saksi dan pelaku sejarah tidak mungkin mengikuti perkataan hic Rhodus, hic salta![2].
Tetapi terlepas dari kesulitan-kesulitan tersebut, para sejarawan hanya bisa pasrah dalam keadaan yang demikian. Maksudnya, para sejarawan hanya meneliti semampu mereka dengan menggunakan keterbatasan sumber sejarah yang ada. Leopold Von Ranke menyebutkan bahwa sejarah harus ditulis dengan apa adanya. Ranke jauh menyebutkan bahwa penyelidikan sejarah harus dipisahkan dari interpretasi filsafat[3]. Tetapi, bagi para Marxian yang menulis sejarah dan juga para Historian tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, sebagai gantinya mereka menyebutkan bahwa sejarah harus ditulis dengan menggunakan interpretasi filsafat. Penggunaan interpretasi tersebut berguna karena pada dasarnya peristiwa sejarah tersebut harus menghasilkan nilai-nilai yang memberikan keterangan dan pedoman bagi kehidupan di masa sekarang[4].
Terlepas dari semua permasalahan diatas, pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa peristiwa sejarah yang ditulis haruslah mematuhi hukum objektifitas fakta-fakta sejarah yang ada dan para sejarawan berhak menginterpretasi dalam menilai kedalaman fakta tersebut dengan bermaksud menggali nilai-nilai dalam peristiwa sejarah tersebut. Disinilah pada akhirnya penelitian sejarah berguna untuk memberikan pelajaran bagi masa mendatang bahwa tidak seharusnya sejarah menjadi sebuah peristiwa yang berulang seakan-akan semua kenyataan dan tokoh-tokoh penting dalam sejarah dunia terjadi, seakan-akan dua kali. Hegel lupa menambahkan bahwa perulangan pertama kita sebut sebagai tragedi dan yang kedua ialah lelucon[5].
Tetapi mari kita masuk ke dalam inti dari dibuatnya tulisan ini, yaitu apa yang menjadi masalah utamanya. Tulisan ini mengambil suatu kronologi suatu peristiwa sejarah lokal yaitu Sarekat Islam Semarang dalam periode kepemimpinan Semaun. Peristiwa tersebut bisa kita katakan menarik karena ada beberapa hal yang menjadikan peristiwa tersebut unik. Era kepemimpinan Semaun adalah era dimana Sarekat Islam Semarang pada akhirnya bertransformasi secara ideologis. Pada awalnya Sarekat Islam Semarang dipimpin oleh kalangan borjuis kecil, tetapi sejak 6 Mei 1917, organisasi lokal tersebut dipimpin oleh kalangan proletariat dibawah kepemimpinan Semaun[6]. Kejadian tersebut menjadi sangat menarik karena mulai dari sinilah pada akhirnya kaum Sosialisme Revolusioner-secara legal formalitas-mendapatkan hatinya dikalangan kaum pribumi. Mengapa demikian?
Walaupun organisasi Sosialisme pertama di Indonesia ialah ISDV, namun ISDV dibentuk oleh Sneevliet yang merupakan bekas anggota SDP (cikal bakal Partai Komunis Belanda). Pada pertemuan awalnya, ISDV diragukan sifat ke-Indonesia-annya karena sebagian besar dari 60 anggota yang hadir pada masa itu merupakan orang Belanda yang merupakan bekas anggota SDAP[7]. Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan suatu hal yang krusial dalam periode kesejarahan bahwa Komunisme pribumi pada awalnya muncul dalam tubuh Sarekat Islam Semarang, sedangkan ISDV bukanlah beranggotakan komunis pribumi pada awalnya, melainkan beranggotakan para sosialis Belanda. ISDV merupakan organisasi Sosialis Indonesia yang pertama, namun bukan organisasi komunis pribumi pertama.
Menariknya pembahasan tersebut akhirnya menuntun penulis untuk menulis mengenai hal itu dengan keterbatasan sumber dan waktu yang ada sehingga penulis berharap keterbatasan tersebut bisa dimaklumi oleh para pembaca sekalian. Selanjutnya, kita-sebagai seorang sejarawan sama-sama mengharapkan bahwa studi mengenai Komunisme harusnya diperdalam oleh para akademisi Indonesia untuk menghilangkan stigma yang terjadi dalam masyarakat karena awamnya pengetahuan mengenai Komunisme itu sendiri.
Sepanjang yang kita ketahui, masyarakat Indonesia membenci Komunisme karena alasan utama yaitu bapak pendirinya merupakan seorang Atheis. Muhammad Al Fayyadl-seorang santri NU-bahkan menyebutkan bahwa tidak seharusnya seorang Marxis menjadi Atheis karena pada dasarnya Marxisme bukanlah suatu hal yang dogmatis[8]. Dalam fakta kenyataannya, Sarekat Islam Semarang telah membuktikan bahwa untuk menjadi seorang komunis tidak perlu pula menjadi seorang Atheis. Titik persinggungan agama dengan Komunisme juga bisa kita lihat dalam perjuangan Haji Misbach di Surakarta hingga kematiannya di Digul.
Maka dari itu, kita mengharapkan studi tentang Komunisme harus diperbanyak sehingga stigma tersebut menghilang. Studi tersebut juga pada akhirnya berguna untuk mendekatkan ilmu Komunisme sebagai ilmu perjuangan kelas tertindas dengan kelas tertindas itu sendiri untuk menyadarkan mereka bahwa kita semua sedang dalam penindasan secara ideologis-melalui hegemoni borjuasi-lalu penindasan ekonomi (penekanan upah minimum atau dalam kasus akademik kita melihat penerapan uang kuliah tunggal dan penerapan PTNBH) serta penindasan fisik.
Selanjutnya, melalui risalah yang banyak kekurangan ini, penulis berharap bahwa studi mengenai hal tersebut tidak hanya menjadi alasan untuk mengejar nilai akademik semata, namun juga menjadi studi komprehensif agar masyarakat dapat mengerti bahwa generalisasi terhadap sesuatu pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang fatal mengenai sesuatu tersebut sehingga tindakan yang merealisasikan kesimpulan tersebut juga berujung pada tindakan fatal pula. Hal ini dapat kita lihat dalam kejadian pembantaian beratus ribu hingga berjuta-juta rakyat tahun 1965-1966 akibat adanya tuduhan subversif dari militer Angkatan Darat terhadap PKI.


Referensi


[1] Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2008). Hal. 34.
[2] Disini mawar, disinilah berdansa!-ungkapan yang diambil dari salah satu dongeng Aesop yang menceritakan seorang pejalan yang bergaya angkuh mengklaim mempunyai saksi untuk membuktikan bahwa dirinya telah pernah melakukan sebuah lompatan yang menakjubkan di Rhodes, yang untuk itu ia menerima jawaban: “Buat apa menyebutkan saksi-saksi apabila kisah itu benar? Di sini Rhodes, melompatlah disni!”.
[3] Ibid hal. 189.
[4] Ibid hal. 190.
[5] Karl Marx. Brumaire XVIII Louis Bonaparte. (Bandung: Hasta Mitra, 2007). Hal. 1.
[6] Soe Hok Gie. Dibawah Lentera Merah. (Yogyakarta: Yayasan Benteng, 1999). Hal. 6
[7] Ruth Mcvey. Kemunculan Komunisme Indonesia. (Depok: Komunitas Bambu, 2010). Hal. 22.
[8] Muhammad Al Fayyadl dalam artikel Marxisme dan Atheisme yang diterbitkan dalam jurnal LKIP Indoprogress tahun 2013.


0 comments:

Post a Comment

 
;