Masyarakat Ekonomi ASEAN (selanjutnya disingkat MEA)
merupakan wacana pembentukan pasar tunggal di Asia Tenggara yang akan
diberlakukan pada akhir 2015 mendatang[1][1].
Pasar tunggal yang dimaksud ialah terbukanya batas-batasnegara dalam sektor
ekonomi di seluruh Asia Tenggara. Pembentukan MEA berawal dari kesepakatan para
pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kesepakatan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN agar bisa
menyaingi Tiongkok dan India dalam menarik investasi asing[2][2].
Sebelumnya di wilayah ASEAN sendiri telah disepakati
terbentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA) sejak pertemuan tingkat ke-5 KTT
ASEAN di Singapura pada 1992 dalam jangka waktu 15 tahun[3][3]. MEA sendiri
sudah merupakan kelanjutan dari AFTA tersebut. Sedangkan, Indonesia sendiri
merupakan salah satu inisiator pembentukan MEA yaitu dalam Deklarasi ASEAN
Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003 dimana para petinggi ASEAN
mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada 2015 sebagai upaya untuk mempererat
integrasi ASEAN[4][4].
MEA membuka arus perdagangan komoditi antar
negara-negara ASEAN termasuk pasar tenaga kerja dan buruh. Staf khusus Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA
mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnnya menghalangi
perekrutan tenaga kerja asing[5][5].Maka
tidak heran, jika nantinya kita akan mengalami persaingan ketat dalam mencari
pekerjaan karena MEA dalam wajah Kapitalisme telah membuka kran persaingan yang
menyebabkan sesama kelas pekerja dari berbagai negara berbeda saling berebut
pekerjaan. Tidak terkecuali Indonesia yang menjadi sumber investasi yang paling
dicari oleh kapitalis asing. MEA sendiri adalah suatu keniscayaan sebagai
bentuk dari globalisasi Kapitalisme. Karl Marx menyebutkan bahwa :
“Kebutuhan untuk
terus memperluas pasar untuk produk-produknya mendorong kaum borjuasi menyebar
keseluruh permukaan bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana,
mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.”[6][6]
Letak Ekonomi
Pedesaan Dalam MEA
Pada 2011 sebanyak 60 warga negara asing (WNA) asal
China yang bekerja secara ilegal di Proyek Pembangunan PLTU Palabuhanratu
Kabupaten Sukabumi meskipun akhirnya dideportasi ke negara asalnya. Berita ini
cukup menggemparkan masyarakat Sukabumi saat itu, terlebih pekerja asing yang
bekerja pada proyek tersebut ternyata didominasi pekerja kasar seperti tukang
angkut, gali dan pekerjaan kasar lainnya yang sebenarnya bisa dilakukan oleh
masyarakat setempat di sekitar proyek Pembangunan PLTU[7][7]. Ternyata
daerah di luar ibukota sudah mengalami dominasi buruh imigran sebagai akibat
dari terbentuknya MEA sejak 2011. Tidak perlu menunggu waktu lama, mereka yang
bekerja ilegal akan mendapatkan legalitas ketika MEA sudah berlaku. Inilah
salah satu dampak MEA yang terjadi di daerah-daerah yang notabene merupakan
daerah pedesaan.
Ekonomi pedesaan sudah pasti terkena dampak yang cukup
signifikan akibat MEA tersebut. Salah satu dampaknya ialah pengangguran
pemuda-pemuda desa karena masuknya buruh imigran sebagai antithese dari buruh
dalam negeri. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa globalisasi
Kapitalisme telah menciptakan persaingan yang ketat antar tenaga kerja di
ASEAN. Ted Sprague dengan mantap menyatakan bahwa buruh akan berlomba-lomba
menjual kemampuan kerjanya untuk upah seperti halnya seorang tukang cendol
menjajakan es cendolnya. Selain itu, munculnya buruh tersebut tidak lain dan
tidak bukan berasal dari pemuda-pemuda desa yang sudah frustasi akibat sistem
pertanian kalah saing dalam globalisasi Kapitalisme. Proletarisasi – begitulah
istilah tersebut didengungkan untuk menggambarkan bagaimana para pemuda desa
bertransformasi menjadi buruh dan menjajakan kemampuan kerjanya hanya untuk
sekedar sesuap nasi.
Ted Sprague mengatakan bahwa :
“Petani gurem dan
nelayan kecil di seluruh Asia Tenggara juga dirugikan dengan cara yang kurang
lebih serupa, dimana mereka didorong untuk saling berkompetisi: siapa yang bisa
bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak dengan harga yang lebih
murah. Dalam kata lain, siapa yang bisa menjual keringat mereka lebih murah
untuk memenuhi nafsu pasar internasional. MEA juga akan memaksa petani kecil
bersaing dengan perusahaan-perusahaan agrobisnis raksasa.”[8][8]
Suatu persaingan tidak seimbang yang dihadirkan MEA
dalam kancah ekonomi pedesaan, terutama pedesaan di Indonesia. Persaingan tidak
seimbang tersebutlah yang menjadi alasan mengapa terjadi proletarisasi di
desa-desa nantinya. Inilah yang disebut dengan Kapitalisme yang berkembang
subur di pedesaan akibat globalisasi yang bernama MEA. Globalisasi Kapitalisme
“MEA” nantinya akan membuat keseluruhan pemuda yang frustasi akibat persaingan
di desa beralih menjadi buruh dan penganggur. Hal ini sangat wajar, mengingat
persaingan antar buruh juga akan menciptakan banyak pengangguran di kota-kota.
Masa Depan
Pedesaan
Desa merupakan representasi dari masa Feodalisme yang
tersisa. Disini, dalam perspektif Materialisme Historis kita dapat melihat
bagaimana kelas petani dan kelas tuan tanah bertarung untuk memperebutkan alat
produksi yang mendukung pertanian. Kelas petani akan menjadi budak kelas tuan
tanah, begitulah yang terjadi di desa-desa. Karl Marx menyebutkan bahwa :
“Sejarah manusia dari
dulu hingga kini tidak lain merupakan sejarah pertentangan antar kelas”[9][9]
Lalu bagaimana
desa dalam masa Kapitalisme?
Ketika Kapitalisme sudah mencapai puncak
internasionalnya (dalam hal ini Kapitalisme mengglobal karena untuk menghindari
krisis overproduksi di satu negeri), maka desa yang bersifat Feodalistik
bertransformasi menjadi desa yang bersifat Kapitalistik. Kelas petani tidak
lagi ditindas oleh kelas tuan tanah, melainkan oleh kelas kapitalis yang banyak
bergerak dibidang perusahaan Agrobisnis. Petani yang sudah frustasi akibat
kalah saing akhirnya terjebak dalam arus proletarisasi dan menjadi buruh di
perusahaan Agrobisnis tersebut.
Akhirnya yang terjadi ialah bahwa petani yang tadinya
mengelola tanah sendiri akan menjadi buruh tani yang rela menjual kemampuan
kerjanya untuk menciptakan nilai lebih bagi para kaum modal. Nilai lebih tersebut (yang jumlahnya bisa
saja ratusan juta Rupiah) akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Sedangkan, kelas buruh tani yang bekerja susah payah hanya mendapatkan upah
yang tidak setara dengan besarnya kemampuan kerja yang mereka habiskan untuk
menciptakan surplus selama 8 hingga 12 jam bagi para borjuasi pedesaan.
Begitulah jika MEA akhirnya direalisasikan pada akhir 2015 nanti.
Referensi
[1]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140826_pasar_tenaga_kerja_aec
[2] G.T. Suroso. Masyarakat Ekonomi
ASEAN dan Perekonomian Indonesia. 2015.
Jakarta: BPPK Kemenkeu Indonesia.
[3] www.tarif.depkeu.go.id
[4] Nationalgeographic.co.id
[5]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140826_pasar_tenaga_kerja_aec
[6]Kutipan pernyataan
Karl Marx dalam artikel Ted Sprague.
Masyarakat Ekonomi ‘Kapitalis’ ASEAN: Integrasi Untuk Siapa?. 2015. Jakarta: Militan Indonesia
[7]Dokumen Pemerintahan Kabupaten Ciamis.
Tantangan Desa Menuju
MEA 2015. www.ciamiskab.go.id
[8] Ted Sprague. Masyarakat Ekonomi
‘Kapitalis’ ASEAN: Integrasi Untuk Siapa?. 2015. Jakarta: Militan Indonesia
[9]Karl Marx dan Friederick Engels.Manifesto Partai Komunis. 2015. Yogyakarta: Resist Book.
[2][2]
G.T. Suroso. Masyarakat Ekonomi
ASEAN dan Perekonomian Indonesia. 2015. Jakarta: BPPK Kemenkeu Indonesia.
[6][6]Kutipan pernyataan Karl Marx dalam artikel Ted Sprague. Masyarakat Ekonomi ‘Kapitalis’ ASEAN: Integrasi Untuk Siapa?.
2015. Jakarta: Militan Indonesia
[8][8]
Ted Sprague. Masyarakat Ekonomi
‘Kapitalis’ ASEAN: Integrasi Untuk Siapa?. 2015. Jakarta:
Militan Indonesia
0 comments:
Post a Comment