Setelah menyaksikan Bolshevik memenangkan pertarungan
kelas di Rusia pada 1917, lalu Kunchantang di China pada 1949 dan terakhir
ialah partisan Fidel Castro serta Che Guevara di Kuba pada 1950an akhir, kita
saksikan kaum reaksioner berhasil memenangkan pertarungan kelas di Indonesia
pada 1965. Namun, bukannya kelas proletar yang menang, kaum militer dan
birokrat berhasil menindas sekali lagi hingga kini. Kini-50 tahun setelah
peristiwa kemenangan itu-kita terpaksa patut gembira atas darah yang tertumpah.
Darah yang berjuang untuk kebebasan dan keadilan sosial.
Kaum Libertarian boleh bersorak gembira karena
Sosialisme hangus di Indonesia, namun mereka tak sadar bahwa apa yang mereka
lakukan ialah tidak lebih seperrti penari sundal yang menari karena merasa suci
dan terbebas dari dosa. Lebih lagi kaum agamawan yang mendewakan surga akhirat,
ia lupa tugasnya sebagai khalifah di bumi. Mereka berhasil meninakbobokan
kesadaran kelas pekerja buruh, tani, dan nelayan. Kini-setelah para pelopor
mati dibredel peluru panas aparat-kita hanya bisa bernyanyi ‘darah juang’ untuk
menghormati mereka yang telah berjuang menuntut kebebasan. Selebihnya kita
hanyut dalam hegemoni Kapitalisme. Sayangnya, kita tidak pernah sadar bahwa
Gramsci pernah berkata seperti ini saat rezim Fasisme Italia berdiri sebagai
pembela teori evolusi yang paling gigih.