Aku mencintaimu seperti berdiri di peron
kereta tanpa detik dan tanggal. Menantikan kepulangan yang takjua ditemukan.
Aku mencintaimu karena ketidaksempurnaan yang kelak akan menyempurnakan
kelemahanku. Saat separuh diri masing-masing dipersatukan dan melahirkan rasa
bahagia yang diam di samudra mata kita. Yang diam di segara rasa paling dalam.
Aku mencintaimu seperti mencintai
kesendirianku. Saat tersisih dari keramaian dan meringkuk di dalam kegelapan
sembari menumpahkan segala hujan yang takkuat ditampung oleh celung mata. Hujan
yang kemudian melebur bersama tangisan langit, melahirkan sesak-sesak yang
mengaliri kesepian.
Kehadiranmu seperti sebuah cahaya di
tengah kegelapan itu. Saat kupikir mungkin hidup akan lebih baik jika tidak ada
kehangatan sama sekali. Hujan setiap hari. Dan apa yang terlihat oleh mata
hanyalah kepergian dan kesendirian bertubi-tubi. Saat rasanya jemariku
bergemetar hebat, seakan setiap sesak di dalam dada mengalir hebat ke jemariku
itu, lalu melahirkan kata-kata melalui goresan pena. Dan kamulah, gadis yang
mencintai kata-kata itu.
Aku mencintaimu meskipun pertemuan tak jua
ditakdirkan oleh Tuhan. Aku mencintaimu dalam doa yang dilangitkan di sepertiga
malam. Dalam resap dan senyap di malam yang kian dingin.
Aku mencintaimu karena sejauh apa pun aku
berjalan sendirian, kelak akan kutemukan kamu di ujung sana menungguku.
0 comments:
Post a Comment