Pergi. Satu kata yang menyulam
malam-malamku menjadi sebuah pilu yang menyelimuti dan kelu yang mengunciku
dari ingatan tentangmu. Bertahun-tahun, aku jatuh pada ... orang yang sama. Aku
tidak pernah tahu mengapa hati rela membatu dan mata rela membuka
untuknya—selain kamu. Mungkin, kita adalah sepasang rindu yang takjua
dipersatukan takdir. Entah kamu yang tak menyadarinya atau aku ... yang dengan
bodohnya percaya bahwa suatu waktu nanti, kita akan dipertemukan kembali dalam
situasi berbeda.
Orang yang sama itu adalah kamu. Beberapa
waktu berlalu, aku tidak menghitung ini jatuh yang keberapa. Yang pasti, semua
rasa tetap utuh seperti pertama kali aku tahu kamu ada. Tapi, mengapa kamu diam
saja? Mengapa memilih menjadi sunyi yang kurindukan? Ah, rasanya bodoh sekali,
mengatakan bahwa aku untukmu. Kamu tahu, diam adalah keahlian terbaikku. Dengan
kediamanku, aku berani untuk bicara denganmu tanpa perlu takut sebuah
penolakan. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, terlebih dirimu. Karena,
mungkin, yang salah adalah aku.
Ya, percuma saja saling menuding. Pada
akhirnya, aku yang terluka paling dalam. Aku yang berduka paling lama.
Kepergianmu ke atas langit sana membuatku sadar bahwa gelap itu nyata; memenuhi
ruang pikiranku. Tapi, pernahkah kamu tahu bahwa aku selalu menjaga nyala harap
dalam hatimu? Barangkali tidak terang benderang, tapi kupastikan tidak akan
meredup. Dan, bisakah kamu tidak berkata demikian? Sebab aku pun tidak tahu
caranya mengatasi duka. Selamanya, luka terindah itu adalah kamu.
Tidak, tidak. Kamu sudah pergi. Dan kata
manismu hanya sebuah kepulan harapan yang telah menguap; menjauh dari mataku.
Bila aku ialah luka terindah, kamu takkan menghilang dari hidupku untuk
selamanya. Aku tidak pernah meminta untuk pergi. Sungguh itu bukan kehendakku.
Aku hanya diminta untuk lebih cepat pindah. Dengan begitu, aku mengajarimu cara
mengatasi kesendirian dan kesepian. Atau mungkin, aku ingin kamu hidup lebih
bahagia.
Bahagia dengan tanpamu di dalam semestaku?
Sungguh, aku taksanggup merutuki apa pun selain diriku yang terlalu jatuh
padamu. Mungkin detik takcukup untuk membuatku melupa. Meski aku harus
melakukannya. Tidak ada yang meragukan kemampuanmu menghadapi dunia, Sayang.
Kamu ada bahkan sebelum aku ada. Selalu ingatlah, kepergianku bukan karena aku
tak mencintaimu lagi; aku pergi untuk bersama di keabadian. Bila merindukanku
sangat menyakitkan, carilah aku pada desau angin, rintik hujan atau sinar
mentari; aku ada sekalipun tiada ragaku lagi.
Mungkin, memang hanya dengan begini aku
bisa membersamaimu. Meski tanpa raga; jejak-jejakmu yang pernah ada selamanya
akan semayam di dalam dada. Terima kasih, Puan. Untuk segalanya.
0 comments:
Post a Comment