Malam ini langit redup tanpa bulan dan bintang.
Gerimis turun menghantarkan petrikor. Persis malam itu, suatu hari
di bulan Maret. Pertama kita bertemu di kedai kopi milikmu. Kita saling
tersipu, ingin menatap lebih lama tapi pandangan harus dijaga. Setelah mati
rasa yang begitu lama. Bertemu kamu membuat degup dadaku kembali kehilangan
ritmenya. Gerimis selalu jadi tanda, ada jiwa-jiwa yang teriris. Seperti kata,
yang mampu mewakili segalanya. Bahagia dan kesedihan. Perpisahan dan pertemuan.
Ketika beberapa baris yang basah oleh air mata, bermuara pada sebuah
samudra—yang ternyata mengalir deras di matamu. Tepat, ketika kita mulai
menyebut nama masing-masing, lalu mencoba untuk menguasai debar jantung yang
mulai berirama beda.
Kehangatan kedai kopimu meresap dalam dada. Kemudian
jemariku tanpa sadar mulai menjejak beberapa kata. Aku dilanda cinta.
Sepertinya semesta turut merestui rasa yang sedang merekah di antara kita.
Lewat prosa kita sama-sama menyisipkan semoga. Ada keyakinan besar kita akan
bersama, meski entah bagaimana cara-Nya. Sebab di sepasang matamu, aku
menemukan segalanya, Puan. Setelah perpisahan di masa lalu jatuh sebagai hujan,
kaudatang sebagai payung—menawariku keteduhan. Dan di pelukan waktu, kita
tumbuh bersama dalam katakata. Sampai ternyata, jarak yang bentang telah
terlipat rapi. Di sini, aku membunuh sepi. Di sana, kau bisa saja memberiku
nyawa lagi.
Aku ingin memberi napas pada masa depanmu. Berada di
sisimu, menggenapi ganjilmu, mengusir sepimu, meredakan resahmu dan jadi
tempatmu memulangkan semua rindu. Tapi, ada ragu yang memenuhi pikiranku. Apa
aku pantas membersamai lelaki hebat sepertimu? Buat apa kau meragu, Puan? Di
wajahmu, aku ingin melukis bahagia. Di semestamu, aku ingin menjadi langit,
melahirkan senja dan bintang untuk mencuri senyum darimu. Keraguan hanya
menjadi dinding; menjadi jembatan untuk muara yang tak kita inginkan.
Aku takut kamu kecewa. Aku merasa bahwa aku bukan
pasangan sempurna bagimu. Kekhawatiran itu yang menggerus keberanianku. Izinkan
aku menepi sebentar. Aku perlu berpikir untuk terus menujumu atau berhenti
disini dan merelakanmu. Lupakan tentang ragu—ingatlah tentang rasa yang
kaupupuk. Mekar sebagai bebungaan di hatimu. Bila apa yang tumbuh di hatiku
hanya kata hilang, bukan itu yang kutanam selama ini, Puan. Ingatlah, ada aku
di sini; raihlah jemariku, melipat jarak hingga akhirnya kita dipisahkan satu
napas saja—berisi namamu, nama ayahmu, dan seperangkat alat salat dibayar
tunai.
Beri aku waktu untuk memantaskan diriku. Sampai
kembali rasa percaya diriku, maukah kamu menungguku? Kamu pernah bilang, kita
adalah jauh yang didekatkan lewat doa. Maka berdoalah, barangkali semesta mau
berbaik hati memberi kita masa depan seperti yang kita ingini.
Aku selalu menyematkan namamu di setiap sepertiga
malamku. Sampai suatu waktu, keraguanmu membuat segalanya taklagi sama. Jalan
yang kita tuju taklagi bermuara pada apa yang ingin. Kamu menjauh, dan aku
takingin berdiri di sini—tempat aku menunggu jawabmu. Ada seseorang lain yang ingin
memintal jarak denganku, tetapi kautahu, aku hanya ingin kau. Merelakanmu sama
saja bunuh diri. Tapi, siapa aku menahanmu lamalama di sini. Pergilah, dengan
dia yang lebih siap berangkat menuju akad denganmu. Aku akan coba mengikhlaskan
meski terluka.
Baiklah, bila semudah itu kau mengucap kata pergi.
Pada apa yang pasti, aku berharap menemukan rumah—meskipun, aku yakin, di
pelukanmu nanti aku menemukan nyaman. Yakinkan hatimu, Puan. Bahwa pada pada
sepucuk perpisahan yang sampai di jendelamu, aku mengabarkan bahagia, yang
muaranya dengan seseorang lain. Semoga kamu tidak menyesalinya. Sampai jumpa.
Mencintai Tuhanku berarti harus mencintai ketetapannya
juga. Barangkali perpisahan kita memang sudah ditakdirkan oleh semesta. Perihal
menyesal, biar jadi urusanku dengan sang waktu. Izinkan aku memberikan selamat
lebih dulu. Semoga dengan dia yang bukan aku, kamu bahagia selalu. Selamat
tinggal.
0 comments:
Post a Comment