Baik-baik
saja.
Konsep
kosong. Segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas.
Seperti kenangan yang tidak pernah tandas. Selalu berkelindan. Mungkin menunggu
badai bernama penyesalan yang membuatnya kandas. Ayah, Ibu, kekasih. Mereka
sama saja. Ada lalu tiada. Tiga tahun aku terus memanggil mereka kala malam
tiba, kala segala kesendirian memelukku erat. Tidak, sapuan ombak yang
menggulung rumahku telah menenggelamkan seluruh kebahagiaan yang kumiliki.
Seharusnya
aku bahagia di malam itu. Seharusnya aku akan menjadi lelaki paling beruntung
malam itu. Kekasihku mengiyakan lamaran dan ia berkunjung ke rumah bertemu Ayah
dan Ibu. Kami berjanji akan menatapi pantai yang hanya berjarak lima belas
menit dari rumah dan memandangi senja di sana sebelum bertemu dengan Ayah dan
Ibu.
“Kamu kenapa
gugup begitu?”
Tanyanya
padaku yang sedari tadi menggigiti kuku jempol kananku. Kekasihku namanya
Lasri. Ia memerhatikan wajahku yang tampak tidak tenang. Menatap sepasang bola
cokelatku seperti meramal. Ia mendekatkan kepalanya padaku, melekatkan kedua
hidung kami, menggosok-gosokkannya. Aku tenang. Dia tersenyum. Aku suka caranya
tersenyum. Pada bibirnya yang tipis dan rekah seperti mawar. Aku tidak bisa
menolak pertanyaannya. Keteduhan yang ada di dalamnya membuatku ingin
berlindung dan menceritakan segalanya.
“Aku tahu
Ayah dan Ibu menyukaimu. Pun dengan orang tuamu. Aku hanya mengkhawatirkan
kita.”
“Kenapa?”
Rambutmu
berkibar diterpa angin. Langit sudah kian memerah. Perlahan pemandangan yang
kami tunggu mulai menampakkan dirinya. “Aku hanya takut, kelak aku tidak bisa
membahagiakanmu. Kelak, aku hanya menjadi beban untukmu.” Kamu tertawa.
“Haruskah
kita membahas itu? Bahagia bukan tentang apa yang ingin kamu berikan padaku.
Kamu melamarku. Itu sudah menjadi keajaiban untukku. Apalagi yang bisa
kutuntut?”
Angin
berembus dengan pelan. Bunyi deburan ombak yang menyelusup di telinga-telinga
kami. Senja membuat kami terpesona. Lasri bukan berasal dari kota ini. Dia
tidak pernah mengenal pantai. Hari itu adalah momen pertamanya. Kami bertemu di
kota lain. Mataku masih menerawang. Menembus jendela yang terbuka di malam yang
pekat ini. Aku sungguh marah pada Tuhan. Bila Ia tidak menyukai umat-Nya dan
ingin menghukum, mengapa harus aku pula yang menjadi korbannya?
Dadaku terus
menyesak sejak saat itu. Berjalan menyelusuri kesepian, menembus hening, untuk
mencapai ruang pertemuan. Ya, di hadapan pualam mereka, aku ingin menghabiskan
banyak waktu untuk bercerita. Sampai suatu waktu, aku sadar, bahwa apa
yang kulakukan itu tidak akan membawa mereka kembali.
Suara
jangkrik terdengar dari halaman belakang ini. Tanganku memegang pena dan buku
tulis terbuka di atas meja. Sejenak aku ingin menuliskan sesuatu. Entah puisi
atau sekadar curahan hati. Aku bukan seperti anak perempuan yang kerap
menuliskan apa-apa yang dialaminya sehari-sehari. Aku mencintai puisi, seperti
aku mencintai Lasri.
Di dalam
puisi, Lasri masih hidup. Menjelma kata-kata.
Bukankah
begitu? Selalu ada yang akan menyimpan berbagai kenangan. Hingga suatu waktu,
kala kehilangan kian meranggas dada dan kepala, hanya benda itu yang bisa
meredakannya. Menjatuhkan hujan di mata. Mengaliri pipi hanya untuk bermuara di
penyesalan.
Malam itu,
ketika ombak besar menyapu wilayah pesisir ini, ketika aku, Ayah, Ibu, dan
Lasri sedang berbincang di meja makan membicarakan tanggal pernikahan kami,
tiada perasaan tidak enak. Apakah kegugupan tentang pernikahan bisa dijadikan
pertanda? Kata-kata tidak mengalir dari dalam kepalaku saat ini. Selama ini aku
menulis puisi untuk Lasri, rasanya kata-kata seperti air mata—mengalir deras
ketika rasa rindu mulai meranggas dada. Kini, aku tidak tahu harus memilih
mencintai mana lagi. Puisi atau Lasri.
Sial,
kepalaku kenapa sakit begini. Ingatan malam itu selalu terngiang hanya di satu
hari setiap tahunnya. Aku masih ingat betul sesaat setelah kami mendengar
gemuruh yang tersisa hanyalah sebuah kepasrahan ketika air seketika menghantam
rumah kami. Aku berusaha meraih tangan Ibu dan Lasri yang berada di sisi kiri
dan kananku waktu itu. Dadaku tiba-tiba sesak. Seakan aku sedang berada di
malam itu. Ya, aku ingat. Malam itu pun hujan deras. Sangat deras.
Napasku
tersengal. Paru-paruku kesulitan memompa udara. Sialan. Selalu seperti ini. Aku
ingat tatapan terakhir Lasri. Ia berusaha meraih tanganku. Meraih jemariku.
Ketika aku sudah bisa menguasai diri dari terjangan ombak itu, aku tidak
menemukan Ayah dan Ibu. Aku ingin teriak. Aku ingin memaki. Lasri ... ia masih
ada di sampingku.
“Nar ...
and,” katanya perlahan, berusaha bicara.
Aku berhasil
meraih tangannya.
Aku tidak
tahu efek dari air ini atau bukan, di matanya kutemukan air mengalir. Aku yakin
sekali ia menangis. Tetapi, Lasri sepertinya selalu ingin menjadi tegar di
hadapanku. Bahkan di ambang hidup dan mati seperti ini. Bayangan itu perlahan
memudar. Tubuhku terasa tertarik. Mundur, mundur, dan mundur. Kulihat Lasri
kian menjauh, wajahnya penuh derita. Sampai suatu hentakan, aku terkejut.
“Tidak ...
aku tidak bisa menjalaninya seperti ini.”
Aku meletakkan
pena, menggenggam kedua jemariku erat-erat. Dalam satu embusan. Aku meneriakkan
segalanya pada sang malam. Memaki-maki. Berteriak kencang. Masa bodoh. Tiga
tahun melahirkan kegilaan.
“Kamu akan
baik-baik saja, Narand.”
Sebuah suara
terdengar. Aku terkesiap. Mataku mencerap ke sekeliling kamar, pada
dinding-dinding kosong yang dingin; yang dulunya pernah ada foto kita. Kosong.
Aku kembali mencengkeram kepalaku. Menarik-narik rambut ikalku. Berharap dengan
begitu semua penyesalan akan mereda dan mereka akan kembali. Bodoh memang
berharap seperti itu. Harapan tidak akan memberimu apa-apa. Tiga tahun mencari
makna dari semua ini, dan aku tidak menemukan apa-apa. Seperti masa silam,
setelah tubuhku tersadar dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit. Kata orang
aku beruntung karena ditemukan selamat.
Ya,
keberuntungan tidak akan datang dua kali.
Aku
mengingat Lasri. Terkadang untuk melupakan, manusia harus mengingatnya sekali
lagi. Aku mengingat Ayah dan Ibu. Rindu ini kian memuncak. Tiba-tiba tanpa
peringatan, hujan turun dengan deras. Bunyinya yang khas, dan aromanya ketika
menghantam tanah ... membuatku sadar. Rindu ini harus dituntaskan. Mereka akan
marah padaku bila aku terus tenggelam dalam penyesalan. Mereka ingin aku
bahagia tanpa mereka.
Lalu, aku
mulai menulis di buku tadi. Kata demi kata. Kalimat menguntai paragraf. Di
tengah hujan. Aku tahu, segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan
terus menderas. Karena itu aku menamai buku ini dengan dua kata. Mencerminkan
sebuah jawaban yang kupilih malam ini. Malam yang basah dan penuh bahagia.
Kenapa? Karena buku ini kutulis untuk sesiapa pun yang menemukannya. Jawabanku
yang kupilih adalah bertemu kembali dengan Ayah, Ibu, dan Lasri. Aku baik-baik
saja. Dan bersama mereka, aku akan lebih baik-baik saja.
Buku itu
kunamakan dengan “Selamat Tinggal”.
0 comments:
Post a Comment