Saturday, August 11, 2018

Seharusnya Aku Bahagia Malam Itu


Baik-baik saja.
Konsep kosong. Segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas. Seperti kenangan yang tidak pernah tandas. Selalu berkelindan. Mungkin menunggu badai bernama penyesalan yang membuatnya kandas. Ayah, Ibu, kekasih. Mereka sama saja. Ada lalu tiada. Tiga tahun aku terus memanggil mereka kala malam tiba, kala segala kesendirian memelukku erat. Tidak, sapuan ombak yang menggulung rumahku telah menenggelamkan seluruh kebahagiaan yang kumiliki.
Seharusnya aku bahagia di malam itu. Seharusnya aku akan menjadi lelaki paling beruntung malam itu. Kekasihku mengiyakan lamaran dan ia berkunjung ke rumah bertemu Ayah dan Ibu. Kami berjanji akan menatapi pantai yang hanya berjarak lima belas menit dari rumah dan memandangi senja di sana sebelum bertemu dengan Ayah dan Ibu.
“Kamu kenapa gugup begitu?”

Tanyanya padaku yang sedari tadi menggigiti kuku jempol kananku. Kekasihku namanya Lasri. Ia memerhatikan wajahku yang tampak tidak tenang. Menatap sepasang bola cokelatku seperti meramal. Ia mendekatkan kepalanya padaku, melekatkan kedua hidung kami, menggosok-gosokkannya. Aku tenang. Dia tersenyum. Aku suka caranya tersenyum. Pada bibirnya yang tipis dan rekah seperti mawar. Aku tidak bisa menolak pertanyaannya. Keteduhan yang ada di dalamnya membuatku ingin berlindung dan menceritakan segalanya.
“Aku tahu Ayah dan Ibu menyukaimu. Pun dengan orang tuamu. Aku hanya mengkhawatirkan kita.”
“Kenapa?”
Rambutmu berkibar diterpa angin. Langit sudah kian memerah. Perlahan pemandangan yang kami tunggu mulai menampakkan dirinya. “Aku hanya takut, kelak aku tidak bisa membahagiakanmu. Kelak, aku hanya menjadi beban untukmu.” Kamu tertawa.
“Haruskah kita membahas itu? Bahagia bukan tentang apa yang ingin kamu berikan padaku. Kamu melamarku. Itu sudah menjadi keajaiban untukku. Apalagi yang bisa kutuntut?”
Angin berembus dengan pelan. Bunyi deburan ombak yang menyelusup di telinga-telinga kami. Senja membuat kami terpesona. Lasri bukan berasal dari kota ini. Dia tidak pernah mengenal pantai. Hari itu adalah momen pertamanya. Kami bertemu di kota lain. Mataku masih menerawang. Menembus jendela yang terbuka di malam yang pekat ini. Aku sungguh marah pada Tuhan. Bila Ia tidak menyukai umat-Nya dan ingin menghukum, mengapa harus aku pula yang menjadi korbannya?
Dadaku terus menyesak sejak saat itu. Berjalan menyelusuri kesepian, menembus hening, untuk mencapai ruang pertemuan. Ya, di hadapan pualam mereka, aku ingin menghabiskan banyak waktu untuk bercerita.  Sampai suatu waktu, aku sadar, bahwa apa yang kulakukan itu tidak akan membawa mereka kembali.
Suara jangkrik terdengar dari halaman belakang ini. Tanganku memegang pena dan buku tulis terbuka di atas meja. Sejenak aku ingin menuliskan sesuatu. Entah puisi atau sekadar curahan hati. Aku bukan seperti anak perempuan yang kerap menuliskan apa-apa yang dialaminya sehari-sehari. Aku mencintai puisi, seperti aku mencintai Lasri.
Di dalam puisi, Lasri masih hidup. Menjelma kata-kata.
Bukankah begitu? Selalu ada yang akan menyimpan berbagai kenangan. Hingga suatu waktu, kala kehilangan kian meranggas dada dan kepala, hanya benda itu yang bisa meredakannya. Menjatuhkan hujan di mata. Mengaliri pipi hanya untuk bermuara di penyesalan.
Malam itu, ketika ombak besar menyapu wilayah pesisir ini, ketika aku, Ayah, Ibu, dan Lasri sedang berbincang di meja makan membicarakan tanggal pernikahan kami, tiada perasaan tidak enak. Apakah kegugupan tentang pernikahan bisa dijadikan pertanda? Kata-kata tidak mengalir dari dalam kepalaku saat ini. Selama ini aku menulis puisi untuk Lasri, rasanya kata-kata seperti air mata—mengalir deras ketika rasa rindu mulai meranggas dada. Kini, aku tidak tahu harus memilih mencintai mana lagi. Puisi atau Lasri.
Sial, kepalaku kenapa sakit begini. Ingatan malam itu selalu terngiang hanya di satu hari setiap tahunnya. Aku masih ingat betul sesaat setelah kami mendengar gemuruh yang tersisa hanyalah sebuah kepasrahan ketika air seketika menghantam rumah kami. Aku berusaha meraih tangan Ibu dan Lasri yang berada di sisi kiri dan kananku waktu itu. Dadaku tiba-tiba sesak. Seakan aku sedang berada di malam itu. Ya, aku ingat. Malam itu pun hujan deras. Sangat deras.
Napasku tersengal. Paru-paruku kesulitan memompa udara. Sialan. Selalu seperti ini. Aku ingat tatapan terakhir Lasri. Ia berusaha meraih tanganku. Meraih jemariku. Ketika aku sudah bisa menguasai diri dari terjangan ombak itu, aku tidak menemukan Ayah dan Ibu. Aku ingin teriak. Aku ingin memaki. Lasri ... ia masih ada di sampingku.
“Nar ... and,” katanya perlahan, berusaha bicara.
Aku berhasil meraih tangannya.
Aku tidak tahu efek dari air ini atau bukan, di matanya kutemukan air mengalir. Aku yakin sekali ia menangis. Tetapi, Lasri sepertinya selalu ingin menjadi tegar di hadapanku. Bahkan di ambang hidup dan mati seperti ini. Bayangan itu perlahan memudar. Tubuhku terasa tertarik. Mundur, mundur, dan mundur. Kulihat Lasri kian menjauh, wajahnya penuh derita. Sampai suatu hentakan, aku terkejut.
“Tidak ... aku tidak bisa menjalaninya seperti ini.”
Aku meletakkan pena, menggenggam kedua jemariku erat-erat. Dalam satu embusan. Aku meneriakkan segalanya pada sang malam. Memaki-maki. Berteriak kencang. Masa bodoh. Tiga tahun melahirkan kegilaan.
“Kamu akan baik-baik saja, Narand.”
Sebuah suara terdengar. Aku terkesiap. Mataku mencerap ke sekeliling kamar, pada dinding-dinding kosong yang dingin; yang dulunya pernah ada foto kita. Kosong. Aku kembali mencengkeram kepalaku. Menarik-narik rambut ikalku. Berharap dengan begitu semua penyesalan akan mereda dan mereka akan kembali. Bodoh memang berharap seperti itu. Harapan tidak akan memberimu apa-apa. Tiga tahun mencari makna dari semua ini, dan aku tidak menemukan apa-apa. Seperti masa silam, setelah tubuhku tersadar dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit. Kata orang aku beruntung karena ditemukan selamat.
Ya, keberuntungan tidak akan datang dua kali.
Aku mengingat Lasri. Terkadang untuk melupakan, manusia harus mengingatnya sekali lagi. Aku mengingat Ayah dan Ibu. Rindu ini kian memuncak. Tiba-tiba tanpa peringatan, hujan turun dengan deras. Bunyinya yang khas, dan aromanya ketika menghantam tanah ... membuatku sadar. Rindu ini harus dituntaskan. Mereka akan marah padaku bila aku terus tenggelam dalam penyesalan. Mereka ingin aku bahagia tanpa mereka.
Lalu, aku mulai menulis di buku tadi. Kata demi kata. Kalimat menguntai paragraf. Di tengah hujan. Aku tahu, segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas. Karena itu aku menamai buku ini dengan dua kata. Mencerminkan sebuah jawaban yang kupilih malam ini. Malam yang basah dan penuh bahagia. Kenapa? Karena buku ini kutulis untuk sesiapa pun yang menemukannya. Jawabanku yang kupilih adalah bertemu kembali dengan Ayah, Ibu, dan Lasri. Aku baik-baik saja. Dan bersama mereka, aku akan lebih baik-baik saja.
Buku itu kunamakan dengan “Selamat Tinggal”.

0 comments:

Post a Comment

 
;