Pandangan pertamaku tentangnya, menjadi cinta yang tak
berkesudahan, membangun kokoh gedung pengharapan, berpondasi percaya akan
takdir Tuhan. Duhai sahabatku, bukankah itu pertanda
bahwa ada satu-dua orang yang bisa memberimu bahagia—pada apa yang kaupercaya
dari hati? Separuh hati telah kutinggalkan padanya, dan tersisa separuh
lagi yang sedang kujaga, aku percaya, dia akan kembali dengan rasa yang
sama—cinta pada pandangan pertama.
Satu hal yang harus kauketahui; perasaan
yang kautanam akan berbuah di waktu yang tepat—pertanyaan yang lahir ialah
perihal bagaimana cara kau memupuk dan waktu yang dibutuhkan untuk
menjadikannya tumbuh subur sebagai pasangan di masa depan. Sewindu telah berlalu, pesan suara yang terakhir
kali kulayangkan—perihal kabar dan kepastian—menghamburkan pupuk dan waktu yang
kubutuhkan, dia semakin menjauh, tapi tidak dengan rasa yang kupegang teguh;
hingga saat ini. Apa yang terjadi? Apakah takdir sedang
menguji dengan satu-dua sakit hati? Atau memang segalanya telah membuat hatimu
patah tak tersembuhkan?
Takdir mengujiku dengan berbagai sakit hati, aku terbiasa
terluka dan tersakiti—sebab aku tak membagi separuh cinta yang tersisa kini.
Aku menjaganya, sebagaimana aku tetap percaya, dia—yang jauh disana—akan
mengembalikan separuh cinta yang kuberi. Aku tetap percaya, meski berkali-kali
sapaku tak terbalaskan olehnya. Percayalah,
bahwa Tuhan telah menetapkan satu perjalanan untukmu, yang di ujungnya berdiri
seseorang yang akan mendampigimu—kelak. Bersabarlah, patah bukan berarti
taktersambung. Bisa jadi kau hanya sedang tersandung sebentar.
Aku bersyukur dapat bertahan dengan rasa seperti ini,
mungkin ada benarnya bila aku harus tetap bergerak meniti benang takdir yang
Tuhan berikan, merelakannya dengan penuh keikhlasan, dan membawa pulang separuh
hatiku untuk kuberikan pada seseorang—yang datang sebagai pengganti yang
sepadan. Satu yang pasti; jangan lupakan perihal
masa depan yang telah dijanjikan Tuhan. Ialah bagaimana caramu berusaha untuk
mencapainya—perihal bersabar dan bertahan meskipun dalam penantian yang
kauhadapi itu kepergian. Bahkan lebih buruk, kehilangan. Semoga, apa yang
kauharapkan mewujud nyata, Sahabat.
Kini aku mulai belajar untuk merelakan, bertahan terhadap
kesedihan yang mengiringi pahitnya kepergian, maupun siksa yang diberikan oleh
ebuah kehilangan. Dia, akan menjadi cinta terkuat di masa lalu—yang mampu
bertahan selama ini, sebagaimana gedung yang kokoh berpondasi cinta abadi.
0 comments:
Post a Comment