Berhenti. Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di
taman pinus ini dan kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku
percaya bahwa kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya. Kita pernah tertawa
bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan bahagia.
Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya tawa dan
senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan dengan
cahayanya yang hangat.
Tapi, untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu
menjadi air mata yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras.
Kala Tuhan memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini
dengan api yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata.
Aku dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras
berteriak. Aku pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa
hujan akan turun selamanya.
Tentu saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling
terakhir dan menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di
mataku lebih deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk
menikmati rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi. Satu hal
yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada
akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong,
berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan
berlari lagi.