Friday, November 30, 2018 0 comments

We Were Happy


Berhenti. Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di taman pinus ini dan kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku percaya bahwa kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya. Kita pernah tertawa bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan bahagia. Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya tawa dan senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan dengan cahayanya yang hangat.
Tapi, untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu menjadi air mata yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras. Kala Tuhan memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini dengan api yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata. Aku dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras berteriak. Aku pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa hujan akan turun selamanya.
Tentu saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling terakhir dan menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di mataku lebih deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk menikmati rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi. Satu hal yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong, berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan berlari lagi.
Friday, November 23, 2018 0 comments

Bukan Kamu Jawaban Tuhan


Hujan semakin deras. Derap langkahku terhenti oleh badai yang berkecamuk di dalam dada. Tubuhku kuyup oleh kenangan yang menghunjam sepagian ini. Mengapa aku merasa sepatah ini karena kamu yang taklagi kumiliki? Dan jawaban itu masih sebuah misteri yang takterpecahkan.
Aku selalu percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk kita. Meski detik sudah bergerak menjauh, spasi menjadi pemisah antara dua perasaan yang (dulu) pernah saling memiliki namun jeda pun hadir untuk memporaporandakannya. Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang menahu perihal takdir.
Dan itu pula yang menghantam dadaku saat angin berbisik perihal pilihanmu dan itu bukan aku. Menjadi pihak yang memendam tidak pernah bergerak dengan baik untukku. Pun dengan lidahku yang begitu kelu kala menyapa namamu, dan tidak lebih dari sekadar sujud di sepertiga malamku.
Ya, abor. Dadaku remuk. Harapanku patah berkeping-keping. Jatuh berserakan di atas kenangan yang bahkan masih hangat. Sampai suatu titik, ternyata aku harus benar-benar menyerah. Padahal aku begitu yakin di perjalanan pencarian baru ini, mungkin kamulah jawabannya.
Tuhan telah menjawab, dan bukan kamu ternyata perempuan yang dijanjikanNya.
Friday, November 16, 2018 0 comments

Kali Kedua


Aku kehabisan kata-kata. Takdir berkonspirasi dengan Waktu untuk mencipta pertemuan kembali hadir di antara kita. Kenangan tentangmu di masa silam seketika menyeruak cepat, menghentak dadaku; senyuman terakhirmu yang berdiam di pikiranku, mendadak menyala terang di mataku. Semestaku luruh dalam sekejap.
Aku sedang tidak bermimpi, kan?
Kita menyulam segala yang pernah terlepas oleh detik dan tanggal. Saat dari kejauhan langkah kakimu tertangkap oleh kedua mataku saat suaramu mulai menyelusup ke dalam ruang-ruang pikiranku, aku sadar betul bahwa aku telah kehilangan kata-kata.
Rindu itu begitu tajam. Menikam harapan menjadi serpihan, meninggalkan luka mendalam di relung perasaan, dan kemudian Ia menyatukannya lagi menjadi utuh. Ini benar kamu, kan?
Friday, November 9, 2018 0 comments

KEMBALI


Aku baru menyadari sekarang kamu telah menapaki jalan yang berbeda daripada sebelumnya. Mungkin aku harus menarik semua rasa menyerahku di masa silam dan mulai mengunjungi jalanmu lagi. Kedatanganmu yang tiba-tiba, bersamaan dengan remukan kertas berisi harapa yang entah mengapa kini terbuka lagi di atas mejaku.
Sungguh, lucu bukan?
Untuk pertama kalinya aku kembali membasahi segara rasaku yang (pernah) kering oleh seorang yang pernah kuikhlaskan. Seseorang yang pernah kutunggui untuk sekian lama sebelumnya akhirnya aku benar-benar membunuh langkah menuju orang itu.
Kamu.
Berita tentangmu sungguh membuat diriku limbung; di tengah langkahku yang kini mulai menuju pada seseorang yang lain; seseorang yang serupa denganmu. Dan kini, kenanganmu begitu saja datang mengetuk ruang pikiranku dan ingin singgah untuk waktu yang takterdefinisi.
Haruskah aku membukanya? Atau menepisnya?
Hal itu menjadi pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya.
Friday, November 2, 2018 0 comments

PAGI INI


Pagi ini, kamu melabuhkan lagi senyummu bersama langit merah yang perlahan menampar wajahku dengan dingin dan lembut. Aku tahu, jarak di antara kita begitu dekat tapi juga jauh; jarak di mana kamu takkan menemukan aku. Serupa jejalanan lengang di tengah malam yang dibasahi oleh hujan deras, seperti itulah kamu di dalam dadaku. 
Kamu membasahinya begitu deras dengan kehangatan, tapi tetap saja perasaanku kosong. Pagi ini, aku yang sengaja melupakan tidur demi menikmati tiap kata-kata yang ingin kukirimkan padamu melalui surat kertas yang kulipat menjadi pesawat kecil. Pesawat itu hendak kuterbangkan dan mendarat di atas sampan tempatmu mendayung di atas lautan.
Melihat langit pagi ini, aku teringat warna pipimu saat memalu kala dulu pernah tidak sengaja kukatakan bahwa malaikat itu bukan makhluk tak kasatmata yang takbisa dilihat siapa pun. Kamu berlalu dan meninggalkan pertanyaan di benakku. Apakah saat itu kamu tersenyum dengan ketidasengajaanku atau kamu justru membencinya?
Karena mulai detik itu, aku membentang jarak padamu seperti yang kukatakan tadi. Aku mulai belajar bagaimana caranya untuk menunggu, sekalipun itu selamanya. Karena mencintaimu, aku tidak mengenal detik dan tanggal. Perasaan itu gugur dan mewujud kata-kata yang kutuliskan padamu hari ini. Perihal batas yang menjadi dinding di antara kita.
Bagiku, pagi ialah permulaan; seperti kamu yang takpernah tahu kapan permulaan dari kata ‘kita’ itu datang, karena aku memang takjua mencipta langkah menujumu. Detik ini, aku masih ingin menikmati senyummu dari kejauhan. Berdoa semoga ingin tak berubah menjadi angan.
Dan kamu; embun pagi.
Lalu aku hanya perlu bertanya, apa kabar hari ini? Semoga pagimu begitu menyegarkan. Jikalau nanti pesawatku sampai, semoga kamu mau membalasnya.
 
;