Thursday, August 29, 2019 0 comments

150 Tahun Setelah Internasionale Pertama Didirikan: Kelas Pekerja Membutuhkan Sebuah Internasionale yang Revolusioner


Pada 28 September1864, delegasi-delegasi dari berbagai negeri berkumpul di Balai St. Martin di London. Inilah upaya yang paling serius untuk mempersatukan lapisan-lapisan kelas pekerja yang paling maju dalam suatu skala internasional. Pertemuan itu dilakukan sebagai suatu konsekuensi dari solidaritas internasional dalam menanggapi perlawanan Polandia pada 1863.
Pertemuan itu disepakati dan diputuskan untuk mendirikan Asosiasi Buruh Internasional (International Workingmen’s Association, IWA), yang kemudian dikenal sebagai Internasionale Pertama. Pusatnya di London, yang diarahkan oleh sebuah komite yang terdiri dari 21 orang, yang diinstruksikan untuk merancang sebuah program dan anggaran dasar. Tugas ini dipercayakan kepada Karl Marx, yang sejak waktu itu dan seterusnya memainkan peran kepemimpinan yang menentukan di dalam Internasionale.
Meninjau ke belakang, kita bisa mengatakan bahwa tugas historis Internasionale I adalah menegakkan prinsip-prinsip utama, program, strategi, dan taktik dari Marxisme revolusioner dalam sebuah skala dunia. Namun, Internasionale yang baru terbentuk itu tidak lahir dengan bentuk dan persenjataan yang lengkap, tidak seperti Athena yang lahir kepala Zeus. Saat kelahirannya, Internasionale I bukan sebuah Internasionale Marxis, melainkan sebuah organisasi yang sangat heterogen yang terdiri dari tendensi-tendensi yang berbeda.
Thursday, August 22, 2019 0 comments

Benarkah Membayangkan Dunia Berakhir Lebih Mudah daripada Membayangkan Kapitalisme Berakhir?


INGATKAH Anda dengan sepatah kutipan yang membuat menjadi kiri terasa lebih intelektual, lebih visioner, lebih maju seabad dibanding orang-orang di semua penjuru lain jalan? Bunyinya: “Lebih mudah membayangkan dunia berakhir ketimbang membayangkan akhir dari dunia?”
Saya punya ingatan yang cukup baik tentangnya.
Pencetusnya, mungkin Anda masih ingat, ialah Frederic Jameson. Pemungutnya yang membuatnya terkenal, Slavoj Zizek. Dan saya masih ingat, dalam seminar-seminar, ia lebih menggaet perhatian ketimbang kudapan gratis di luar ruangan. Kawan kiri, kawan kiri agak ke tengah, maupun kawan kiri di pelosok terujung menyampaikannya lagi dan lagi. Kawan yang terobsesi menjiplak Zizek mengulang-ulangnya dilengkapi gaya tangan memetik mangga si filsuf.
Saya pun masih ingat, ungkapan ini tak hanya puitis melainkan juga kuda troya yang efektif untuk gagasan Zizek. Hollywood tak henti-henti memproduksi film yang menarasikan bagaimana dunia akan berakhir. Skenario tersebut radikal, tentu saja. Pertanyaan kuncinya, mengapa kita tak bisa membayangkan perubahan yang tak memerlukan kepunahan massal—akhir dari kapitalisme? Benarkah, artinya, kapitalisme bukan saja sebuah tatanan ekonomi melainkan juga penandas batas terujung dari kenyataan kita?
Thursday, August 15, 2019 0 comments

Peran Kaum Muda dalam Revolusi Agustus


Sejarah revolusi di berbagai negeri hampir selalu menggambarkan peran kaum muda yang militan dan progresif. Kaum muda adalah lapisan paling sensitif dalam masyarakat dan umumnya memainkan peran signifikan dalam perubahan sosial. Tidak terkecuali dalam sejarah revolusi Indonesia 1945. Kaum muda Indonesia kala itu adalah salah satu faktor menentukan dalam proses kemerdekaan. Mereka mempunyai tempat penting dalam sejarah bangsa ini. Tanggal 15 Agustus 1945 ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, ada kesempatan besar yang dilihat oleh kaum muda agar Hindia Belanda – sebutan Indonesia sebelum merdeka –segera merdeka dari Jepang.
Soekarno-Hatta yang saat itu dilihat massa luas sebagai pemimpin politik tidak segera mengambil peluang kekalahan Jepang. Mereka masih mengharapkan kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Jepang. Mereka takut memproklamirkan kemerdekaan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada penjajah. Tapi kaum muda yang militan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mendorong Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka menculik golongan tua dan mendorong Soekarno-Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan. Setelah melalui banyak negosiasi dan keraguan, akhirnya pada pagi hari tanggal 17 Agustus, Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan ini menandai dimulainya babak baru dalam sejarah Indonesia.
Thursday, August 8, 2019 0 comments

Saya Punya Cinta, Negara Selalu Mengancurkanya


INSAN-INSAN yang belum menikah—saya, ehem, salah satunya—ialah subjek rutin risakan publik. Dan saya sudah bisa membayangkan bentuk risakan baru yang muncul selepas disahkannya KUHP baru yang moralis, brutal, dan disusun dengan penuh kemalasan itu.
“Bung,” sambar netizen Bambang, “Bung ini kalau tidak menikah tidak bisa menikmati hubungan intim lho! Nanti dipenjara kalau sembarangan berhubungan intim!”
Netizen Bambang, tentu saja, fiktif. Namun, seandainya benar-benar ada yang merisak saya demikian, saya sudah tahu apa respons saya. Saya akan kontan ngegas. “Siapa yang butuh hubungan intim? Negara sudah mengancuk saya habis-habisan!”
Alasan saya yang baik hati dan penyabar ini ngegas? Para politisi oportunis sudah meremukkan hubungan-hubungan paling berarti dalam hidup saya. Kini, mereka mau mengkriminalisasinya.
Thursday, August 1, 2019 0 comments

Kaum Pemuda dan Marxisme

Kapitalisme yang dalam tahapan tertingginya yakni Imperialisme  telah menghancurkan seluruh pengharapan tidak hanya bagi rakyat pekerja secara umum, namun juga lapisan-lapisan rakyat lain termasuk juga kaum muda. Pengangguran, kemiskinan, kelaparan adalah hasil dari tak terelakkan dari sistem ini. Kita dapat menjumpai di sekeliling kita, bahwa kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang megah dan mewah, serta kemajuan di bidang-bidang yang lain – yang tidak pernah nampak di dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya – bersanding bersama kemiskinan dari mayoritas luas rakyat pekerja.
Mudah saja untuk mengidentifikasikan sistem ini. Cukup dengan mempertanyakan, bagaimana bisa teknologi yang begitu maju sekarang; yang mampu menciptakan barang-barang kebutuhan dalam waktu sekejab, menciptakan berjubel-jubel barang kebutuhan masyarakat yang begitu bertumpah ruah; mampu membuat miskin kelas mayoritas yang memproduksi barang tersebut? Jawabanya adalah satu: yakni kelas yang memproduksi barang tersebut tidak memiliki hak atas alat produksi yang dalam sistem kapitalisme dimiliki oleh segelintir kelas minoritas, yakni kelas borjuis.
 
;