Hujan-yang kau sangka bisa
menghijaukan seluruh lampu lampion-baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan
Goulburn. Matamu tentu tak waras kalau menganggap billboard Sussex Centre atau
Nine Dragons telah menghijau. Dalam kepungan kristal-kristal air yang jernih
pun, papan nama-papan nama restoran itu menguarkan cahaya merah-kuning yang
tajam. Dan lampu-lampu lampion bergenta mungil itu tetap saja membiaskan
kesejukan daun-daun hijau kekuningan di antara para migran Thailand, Vietnam,
atau Korea yang berlarian menghindar ke trotoar.
Dan kau, Xi Shi, diimpit
gedung-gedung pink, gapura-gapura berornamen naga atau patung-patung harimau,
tak mau menghindar dari kutuk hujan. Maka, sungguh aneh jika orang-orang yang
berpapasan denganmu tak menganggap kau sebagai perempuan edan. “Mereka toh tak
memahami makna kenikmatan,” dengusku sambil menatapmu yang terus-menerus
membentangkan sepasang tangan dan menari-nari dalam dera hujan.
Kau tahu apa yang kau harapkan
Xi Shi. Di akuarium raksasa bernama Chinatown, tak seorang berani mengguratkan
segores luka jarum pun di tubuhmu yang dipenuhi tato naga. Luka paling luka,
perih paling perih, dan pedih paling pedih pun tak mengubahmu menjadi perempuan
sehening teratai, selembut bunga lili, atau sesejuk kolam-kolam jernih di The
Chinese Garden of Friendship.