Thursday, February 6, 2020 0 comments

Partai Alternatif Harus Percaya Pada Kekuatan Massa, Bukan Elit!



Awalnya kita tentu harus menyambut baik seruan beberapa organisasi serikat buruh menjelang May Day 2015 lalu untuk mendirikan partai politik. Selain baru pernah terjadi dalam sejarah gerakan buruh sejak reformasi, namun juga karena semakin gagalnya partai-partai yang sekarang ada dalam membangun perubahan sejati bagi rakyat. Kita sudah cukup tahu siapa saja pendiri dan pemimpin partai-partai politik yang sekarang sedang menyusun kekuasaan negara. Seluruhnya adalah para pemodal, mewakili kepentingan modal, bukan kaum buruh yang mewakili kepentingan buruh dan rakyat. Organisasi-organisasi yang menyerukan saat itu kemudian membangun aliansi bernama GBI.
Setelah sebelumnya sebagian organisasi dalam GBI mendukung Jokowi dan sebagiannya lagi mendukung Prabowo dalam Pemilu 2014 lalu, seruan membangun partai dapat berarti belajar dari kesalahan “menjadikan kekuatan besar kelas buruh sebagai mainan” ditangan para pemodal. Perubahan memang tidak bisa disandarkan pada partai-partai dan elit pemodal itu, atau pada ‘perwakilan buruh’ yang telah berada dalam rejim atau partai-partai pemodal. Itu mengapa dalam Pemilu 2014 lalu, sebagian gerakan (yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif) telah menyerukan pembangunan partai alternatif. Itu juga alasan mengapa seruan membangun partai (oleh GBI) juga perlu disambut bagi semangat kaum buruh menegakkan kekuatan dan kemandirian politiknya sebagai sebuah kelas bersama rakyat.
Namun saat May Day berlangsung, usaha memandirikan politik kaum buruh dalam deklarasi “komitmen membangun partai” langsung mendapat ganjalan. Di depan Istana, tempat dimana deklarasi GBI dibacakan, organisasi yang menyerukan pembangunan partai justru (masih) memberi ruang kepada perwakilan pemerintah untuk mengilusi massa agar percaya pada pemerintah. Sedangkan di GBK, (faksi) elit pemodal lain yang mewakili DPR juga diundang hadir dan berpidato untuk mempercayai mereka sebagai ‘perwakilan’ yang berpihak pada buruh. Siapa yang berpikiran maju tentu sudah tahu apa yang dikatakan elit-elit partai pemodal itu adalah omong-kosong.
Friday, January 31, 2020 0 comments

Kapitalisme Kiamat Bagi Umat Manusia


Kapitalisme telah berhasil membawa manusia ke peradaban teknologi yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Teknologi seharusnya bisa berkontribusi pada upaya perbaikan alam tapi kenyataan membuktikan sebaliknya. Beberapa orang mengatakan kita dapat beradaptasi karena teknologi, tetapi fakta-fakta membuktikan sebaliknya. Keseimbangan antara kemajuan teknologi dengan alam terganggu. Polusi udara, limbah beracun, hujan asam, penipisan lapisan ozon serta plastik memenuhi planet kita.
Kapitalisme menciptakan kerusakan yang luar biasa. Tingkat karbon dioksida berada pada titik tertinggi dalam sejarah. Sejak 1950 populasi perkotaan telah meningkat tujuh kali lipat, penggunaan energi primer telah meningkat lima kali lipat, sementara jumlah pupuk yang digunakan sekarang delapan kali lebih tinggi. Jumlah nitrogen yang memasuki lautan meningkat empat kali lipat. Hasil dari eksploitasi alam membabi-buta menyebabkan tenggelamnya banyak pulau pulau kecil di Pasifik dan terhapus dari peta bumi karena pemanasan global (global warming).
Banyak petaka yang sudah menghampiri umat manusia. Contohnya rakyat Bangladesh kini mencoba bertahan hidup dengan membangun gubuk-gubuk di atas genangan air yang terus meninggi. Haiti diperkirakan tidak bisa didiami lagi oleh generasi berikutnya pada tahun tahun mendatang karena dilanda kekeringan serta kekayaan alamnya telah dikuras habis oleh imperialisme. Serta ada banyak petaka lain yang akan terus mengancam keberadaan umat di bumi saat ini maupun pada masa yang akan datang.
Saturday, January 25, 2020 0 comments

Apa itu Prostitusi dan Bagaimana Mengakhirinya?



Dalam masyarakat kita prostitusi disamakan dengan tindakan kriminal lainnya. Prostitusi dianggap sebagai kejahatan. Banyak upaya hukum untuk menghentikannya, tapi tidak pernah menghapuskannya. Kita sepakat pelacuran merupakan kejahatan, namun bukan dalam makna seperti yang dibayangkan oleh negara dan aparatus keamanannya, ataupun oleh kebanyakan orang hari ini.
Ia adalah kejahatan karena korbannya adalah kaum perempuan itu sendiri, yang justru di mata hukum adalah kriminal. Moralitas dan hukum borjuis penuh dengan kemunafikan. Praktik ini ditutup-tutupi dengan mengkriminalkan, menghina bahkan melecehkan perempuan, sembari pada saat yang sama struktur ekonomi kapitalisme terus melahirkan pelacuran.
Prostitusi merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang berakar dari masyarakat kelas. Bentuk-bentuk penindasan terhadap kaum perempuan selalu berubah seiring dengan berubahnya susunan masyarakat kelas. Semenjak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas, posisi kaum perempuan tidak lebih dari alat produksi semata.
Wednesday, January 15, 2020 0 comments

Rosa dan Lenin: Kawan atau Lawan? (100 tahun peringatan kematian Rosa Luxemburg)



Satu abad yang lalu, tepat pada tanggal 15 Januari 1919, gerakan buruh kehilangan salah satu pemimpinnya yang paling luar biasa, Rosa Luxemburg. Bersama dengan Karl Liebknecht, dia dibunuh dengan keji oleh paramiliter yang bertindak di bawah perintah rejim sosial demokrat Ebert-Scheidemann untuk menumpas Revolusi Jerman.
Sejak itu, tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa tidak pernah ada lagi pemimpin proletariat Jerman yang bisa menandingi Rosa, terutama dalam kapasitas intelektualnya sebagai Marxis. Sumbangsih Rosa pada persenjataan teoretis Marxisme sangatlah signifikan, terutama dalam memerangi gagasan reformisme.
Memperingati 100 tahun kematian Rosa, kita harus selalu berjuang keras untuk mempertahankan warisan sejati Rosa karena tidak sedikit yang ingin membuat Rosa menjadi ikon yang steril, atau bahkan lebih parah memelintir gagasan Rosa agar berseberangan dengan apa yang dia perjuangkan sampai mengorbankan nyawanya. Satu hal yang biasa kita dengar dari banyak komentator pintar ini adalah bagaimana Rosa adalah seorang Marxis yang lebih demokratis, humanis, dan anti-otoriter dibandingkan dengan Lenin dan kaum Bolshevik. Rosa dipertentangkan dengan Lenin, yang dilansir sentralis dan diktatorial.
Friday, January 10, 2020 0 comments

Kapitalisme Merusak Bumi dan Solusi Sosialis



Kapitalisme muncul menggantikan corak produksi feodalisme yang tak lagi bisa membendung lajunya perkembangan produksi manusia. Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, industri-industri rumahan, industri tekstil, tergantikan dengan pabrik. Permintaan akan mesin uap , yang menggunakan bahan bakar batubara untuk memanaskan air sehingga dapat digunakan uapnya, pun meningkat. Kapitalisme yang mengharuskan pembukaan pasar terus menerus, menemukan pasar-pasar baru mereka melalui kolonialisme. Pasar yang semakin luas membuat kebutuhan untuk memenuhi pasar semakin tinggi. Penggunaan batubara sebagai penghasil energi pun juga meningkat.
Pasalnya pemanfaatan batu bara mulai dari tahap pencarian (eksplorasi), pengambilan (eksploitasi), hingga digunakan sebagai energi, keseluruhan prosesnya merusak lingkungan. Tahap eksplorasi membutuhkan pengeboran dan limbah pengeboran ini dibuang ke sungai. Pada tahap eksploitasi, pembukaan hutan adalah jalan termurah, dan meninggalkan lubang-lubang bekas tambang tanpa diperbaiki adalah jalan yang lebih murah lagi. Reklamasi lubang tambang adalah kegiatan yang tidak dapat menghasilkan keuntungan bagi para pemilik modal. Tahap terakhir, saat proses konversi batu bara menjadi listrik, limbahnya hanya dibuang begitu saja ke udara.
Itu adalah satu contoh dari banyaknya pola-pola kerusakan lingkungan yang ada. Yang bisa menyatukan berbagai macam pola-pola tersebut hanya watak dari kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme itu eksploitatif, mengkeksploitasi apa saja yang bisa dijadikan komoditi dan menekan ongkos produksi. Juga bersifat akumulatif, modal harus bisa berlipat ganda menjadi keuntungan. Dan ekspansif, ini mengharuskan membuka pasar termasuk mencari sumber-sumber energi baru. Kerusakan lingkungan bukanlah hal yang terpisah dari ekonomi-politik. Energi-energi fosil, meski dengan daya rusak lingkungan yang sangat besar, dipilih karena dapat menekan ongkos produksi sekaligus dijadikan komoditi dalam kapitalisme. 
Friday, January 3, 2020 0 comments

Oligarki dalam Kerangka Subjek Zizekian dan Populisme Kiri sebagai Opsi Dekonstruksi Oligarki di Indonesia



“Lebih mudah membayangkan kejatuhan negara daripada kehancuran kapitalisme”, demikian isi salah satu komentar Zizek dalam wawancara yang dipandu Anja Steinbauer[1]. Alih-alih menjadi akar pelbagai krisis, kapitalisme malah ditematisasi sang filsuf sebagai fenomena ontologis dan solusi bagi seluruh tatanan masyarakat. Beberapa dekade sebelum Zizek mengemukakan tesisnya, seorang penganut konservatif liberal asal Amerika Serikat, Francis Fukuyama, melalui bukunya, The End of History and The Last Man pernah memaklumkan bahwa kapitalisme adalah the only game at the town pasca kekalahan komunisme yang ditandai oleh kejatuhan Uni Soviet dan keruntuhan tembok Berlin.[2]
Ungkapan retoris yang dikemukakan Zizek dan tesis Fukuyama di atas sekilas lalu tampaknya kontrafaktual, tentatif dan bahkan beraroma totaliter. Akan tetapi, pendapat keduanya sangat mungkin benar kalau dijajaki secara empiris. Sejauh ini kapitalisme yang membawa ilham neoliberal dengan maskot ekonomi pasar bebasnya telah menjadi pemain dominan yang berhasil mengepakkan sayapnya secara masif, menembus batas teritori dan melampaui sekat-sekat primordial. Beberapa item di antaranya adalah supremasi mekanisme pasar, privatisasi perusahaan negara, limitasi wewenang pemerintah dalam perlindungan hak-hak individu, penerapan kompetisi secara ketat dalam pelbagai dimensi sosial dan ekonomi kehidupan manusia, serta liberalisasi pelbagai aturan dan kebijakan administratif pemerintah.[3]
Untuk mengerti beberapa atribut ini, kita tak perlu bersusah payah membayangkan bagaimana hantu bernama kapitalisme itu bergentayangan. Hari ini kita akan dengan mudah menemukan bahwa sebagian besar bidang hidup manusia telah, sedang dan kemungkinan akan selalu diasuh dalam logika kapitalisme. Di banyak tempat, semakin banyak orang harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya. Fakta lainnya menunjukan eskalasi angka kemiskinan dan membengkaknya jurang antara kelompok kaya dan miskin. Angka indeks Gini Ratio kita sekarang ini umpamanya berada pada posisi 0,393 dan jauh lebih besar dibanding indeks Gini Ratio pada akhir masa orde baru yang sebesar 0, 35.[4]
Sunday, December 22, 2019 0 comments

Hari Ibu Antara Domestikasi Perempuan dan Penghormatan Tak Setara



22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu yang diperingati setiap tahun di Indonesia. Berbagai perayaan mulai dari pengucapan terima kasih dan cinta kepada Ibu, pemberian bunga dan atau hadiah-hadiah lainnya, serta kontes kefemininan macam lomba berbusana kebaya, lomba memasak, lomba merangkai bunga, sebenarnya mengandung gagasan seksis. Seksisme adalah diskriminasi, stereotip, dan atau prasangka berdasarkan pembedaan jenis kelamin. Perayaan Hari Ibu demikian mengandung seksisme karena menanamkan gagasan bahwasanya kerja-kerja domestik atau rumah tangga seolah-olah merupakan kodrat perempuan. Perempuan dibebani peran hasil konstruksi sosial untuk menanggung sepenuhnya kerja-kerja rumah tangga (memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, dan semacamnya) serta merawat anak dan suami.
Kerja domestik ini pada dasarnya adalah kerja untuk memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja. Ibu—khususnya Ibu rumah tangga—diwajibkan memegang peran dominan mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak seiring dengan diajari keterampilan dan pengetahuan lewat sekolah sampai sang anak siap pakai untuk pasar tenaga kerja. Selain itu, dalam corak produksi kapitalisme, kewajiban Ibu merawat, memberi makan suami, pada dasarnya adalah kerja untuk menyegarkan kembali tenaga kerja yang baru saja dihisap kapitalis dalam satu hari agar siap untuk digunakan dan dihisap lagi hari berikutnya
Kerja domestik begini kemudian diagung-agungkan sebagai kepahlawanan dan pengorbanan kaum Ibu, termasuk lewat perayaan Hari Ibu. Namun pada saat yang bersamaan dengan penekanan demikian maka kapitalisme tidak perlu memberikan fasilitas dan tunjangan kepada kaum Ibu. Kecuali bila dipaksa oleh perjuangan kaum perempuan dan ibu. Sedangkan di sisi lain, perempuan pada umumnya dan kaum Ibu pada khususnya juga dijadikan sasaran pemasaran berbagai komoditas atau produk kapitalisme. Mulai dari produk kosmetik, busana, indutri perbelanjaan, dan sebagainya.
 
;