Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya
perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur
napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh
sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya
bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang
tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala
sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di
depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat
dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk
menyiram ubun-ubun.
Saat ini pendeta akan merestui sepasang
pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa,
tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang
anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki,
dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia
menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi
hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang
dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih
mendaki tangga.