Monday, November 23, 2015 0 comments

Jatuh Cinta Adalah Gejala Humanistis

Pernahkah anda jatuh cinta?Jika jawabannya “Ya” maka benar jatuh cinta adalah gejala humanistis. Mengapa saya sebut sebagai sebuah gejala humanistis? Sebab saat seseorang jatuh cinta maka kita akan menemukan sisi lain darinya. Ia bisa saja melakukan hal-hal yang sangat tidak biasanya dilakukan, baik yang positif maupun negatif. Di situlah muncul gejala-gejala humanistis dimana seseorang akan semakin mengerti siapa dirinya yang sesungguhnya. Setidaknya hal itulah yang saat ini saya rasakan dan sangat saya sadari. Itulah hakikat yang harus saya tanamkan di dalam diri saya meskipun terkadang orang-orang di luar sana terlalu munafik untuk mengakuinya, sebab mereka terkungkung oleh nilai-nilai yang mereka cipatakan sendiri.
Ada hal-hal yang tidak biasa ketika seseorang jatuh cinta. Hal-hal yang tidak bisa ia jalani dengan semangat bisa ia jalani. Hal-hal yang rasa-rasanya tak mungkin ia lakukan menjadi sangat mungkin dilakukannya. Hal-hal yang tak disukainya bisa menjadi suka hanya dalam waktu singkat saja. Orang bisa saja tiba-tiba menangis, tertawa, ataupun tersenyum-senyum sendiri. Logika bisa tertutup oleh fantasi, alam bawah sadarlah yang kerapkali berfungsi. Semua bisa menjadi berbeda, menjadi tak biasa.
Pernahkah anda berpikir tentang banyaknya lagu, puisi, film, novel, atau karya sastra lainnya yang bergenre cinta? Sampai saat ini bisa kita amati bahwa karya-karya yang saya sebutkan di atas masih didominasi oleh tema cinta. Pernahkah anda sadari jika itu adalah bagian dari gejala humanistis? Tendensi ini saya rasa lahir dari kodrat dan kebutuhan-kebutuhan dasar yang akan selalu menyertai manusia, baik secara sosial, psikis, maupun biologis.
Saya sangat miris ketika menemukan golongan yang membuat cinta menjadi hal yang tabu. Mengapa kita harus malu atau takut untuk mengakui kalau kita sedang jatuh cinta? Padahal itu adalah kebutuhan mendasar yang setiap manusia memerlukannya. Bagi saya pandangan mereka sangatlah tidak manusiawi ketika memaksakan setiap orang untuk selalu memendam rasa cinta, menjauhkan cinta itu dari diri mereka sendiri, mengkerdilkan cinta hingga mati dengan alasan nilai-nilai yang mereka ciptakan sendiri untuk menjaga diri. Padahal saya sangat yakin jikalau nurani tak pernah salah. Ia adalah cahaya yang akan selalu membimbing jalan kita sebab tuhan menitipkan sifat-sifat ketuhanannya di dalam di diri kita. Menjaga diri itu perlu, namun mengkerdilkan cinta dengan alasan menjaga diri bukanlah hal yang tepat.
Wednesday, November 18, 2015 0 comments

Bagai Mana Kabar Kalian?



Jadilah dirimu seperti Soekarno yang percaya bahwa ilmu tekhnik bukan untuk membangun gedung saja tapi membangun jiwa rakyat yang sedang ditindas. Jadilah seperti Hatta yang mempelajari ilmu ekonomi untuk melahirkan konsep koperasi. Kalau mungkin bacalah Che Guevara yang mendapat pengetahuan medis untuk jadi bahan dasar revolusi. Tengoklah kisah Fidel Castro yang menjadikan pengetahuan hukum sebagai dasar untuk menentang kediktatoran.
Mereka menanam perubahan sedari muda dengan meyakini kalau tugas kuliah bukan untuk datang dan mendapat gelar. Mereka meluncur menjadi sosok yang tak mau ditundukkan oleh aturan dan malah mencoba untuk melawanya.
Monday, November 16, 2015 0 comments

Kembali Tuk Mengabdi

Tak terasa waktu sudah mengantarkanku pada penghujung masa pengabdian. Suatu hari yang tak pernah terbayangkan dengan jelas dalam benakku. Suatu hari dimana segala rasa akan terlebur menjadi satu. Layaknya ketujuh warna pelangi yang terspektrumisasi menjadi cahaya putih nan terang. Air mata bahagia dan tangis sedih mengingatkan pada setiap jengkal memori yang pernah terjadi. Akankah masa itu akan datang kembali, walaupun roda masa takkan pernah bergulir kembali.
Engkau adalah sebuah kisah, yang dituliskan dengan tinta emas oleh para penulis yang handal merangkai kata. Engkau adalah sebuah lukisan yang dipadukan beragam warna sehingga tercipta suatu karya besar nan eksotis. Tak lekang oleh zaman, walau matahari dan bulan silih berganti menemanimu.
Merajut kain asa karya imajinasi, menanam pohon cita-cita di atas tanahmu nan wangi. Menempa jiwa dan ragaku di dalam kawah candradimuka layaknya seorang ksatria. Di antara langit dan bumimu aku mengolah hidup. Di antara hitam dan putih warnamu aku mengolah kepastian. Di antara suka dan duka aku mengolah keteguhan. Dan diantara hidup dan mati aku mengolah kegagahan.
Wednesday, November 11, 2015 0 comments

Jatuh Cinta? Mencintai? Atau Dicintai?


Tak terasa waktu begitu cepat bergulir. Rasanya baru kemarin tahun 2014. Tahun yang begitu banyak menyimpan cerita berkesan dalam hidup saya. Rasa-rasanya terlalu panjang untuk diceritakan. Namun, berangkat dari salah satu cerita berkesan dari tahun kemarin saya ingin bicara tentang cinta. Apa? Tentang Cinta? Sebuah tema tulisan yang paling jarang saya sentuh mungkin. Namun, saya menulis ini berangkat dari obrolan dengan salah satu teman saya di kampus. Ia berkata, "Eh, perasaan kok artikel-artikel yang di blog lo bahasannya berat-berat mulu deh? Nulis yang ringan-ringan dong sekali-sekali. Tulis tentang cinta-cintaan kek." Berangkat dari permintaan tersebut saya membuat artikel ini. Suatu permintaan, "Tentang Cinta".
Pernahkah anda merasakan jatuh cinta? Mencintai? Atau dicintai? Mungkin mayoritas dari anda akan menjawab, "Ya, saya pernah." Namun setiap kita mungkn punya pengalaman yang berbeda-beda soal cinta ini sendiri. Bahkan, masing-masing kita belum benar-benar bersepakat toh tentang definisi cinta dan lingkupnya? Jadi anda bisa dengan bebas mendefinisikan cinta itu apa tanpa harus benar-benar terikat definisi tokoh atau bahkan KBBI.
Bicara tentang cinta, ia adalah anugerah mulia dari Sang Pencipta. Sesuatu yang bisa membuat kita menjadi berbagai hal. Sesuatu yang bisa membuat kita merasakan berbagai rasa, entah itu bahagia, sedih, cemas, takut, bimbang dll. Sesuatu yang mampu membuat kita mengeluarkan berbagai macam ekspresi, tangis, tawa, senyum, marah, dan segala ekspresi lainnya. Suatu hal sederhana namun tak semudah membalikkan telapak tangan untuk dipahami.
Tuesday, November 3, 2015 0 comments

Sekilas Opiniku Tentang Sastra

Bicara tentang sastra bicara pula tentang sejarahnya di Indonesia. Aku tertarik pada bahasan sejarah sastra di masa orde lama saat terjadinya ketegangan dua golongan seniman, sastawan, dan budayawan. Golongan pertama menyatakan bahwasanya seni ataupun sastra harus dijadikan alat perjuangan revolusi. Seni ataupun sastra dijadikan sebagai alat propaganda bagi kepentingan politik demi menuntaskan revolusi. Golongan ini tergabung dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra).
Salah satu tokoh yang selalu diidentikkan dengan Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer yang telah menghasilkan karya-karya fenomenal meskipun dalam sejarah hidupnya harus termarjinalisasi. Golongan kedua mencoba untuk membuat sebuah anti tesis. Golongan ini menyatakan bahwasanya seni dan sastra harus dikembalikan kepada fungsi aslinya, yakni sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Golongan ini digagas oleh Arief Budiman dkk.
Bagiku sendiri sastra dan seni bisa difungsikan untuk keduanya. Nilai-nilai yang terdapat di dalamnya harus mampu membangkitkan sense of belonging terhadap negeri kita, namun bukan sebagai bentuk doktrin. Akan tetapi sastra dan seni juga harus hidup di jalan aslinya, sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Bagiku sastra adalah peralihan dunia yang dapat kita ciptakan melalui imaji. Ketika kita jenuh terhadap dunia yang penuh dengan kepalsuan, terkadang walaupun didominasi oleh fiksi sastra dapat berbicara lebih jujur dengan kearifan yang terkandung dalam setiap butir kata. Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai hidup lebih jujur ketimbang jurnalisme yang saat ini sudah dikotori oleh khutbah-khutbah kebohongan sesuai kepentingan pemiliknya.
 
;