Mengapa tulisan ini harus berjudul demikian? Jika kita
memperhatikan sejak dahulu sebagian besar manusia berusaha mempertahankan Hak
Asasi Manusia (atau HAM) sedemikian rupa. Sekarang kita menyaksikan bahwa
ternyata HAM itu sendiri yang mempertahankan dirinya dari gempuran hasrat
manusia yang takut ketika ada ancaman subversif dan sebagainya. Ya, HAM menjadi
suatu kisah yang lakonnya dimainkan oleh dua kelas yang saling bertentangan-yang
pertama kita mengenal para pejuang, lalu yang kedua ialah para antagonis yang
mempertahankan nilai lebih hasil penindasan-yang pada akhirnya dimenangkan oleh
kelas yang kedua. Inilah mengapa rasanya pantas kita menulis A Tribute to Human
Rights sebagai rasa bela sungkawa kita terhadap pementasan tragedi tersebut.
Tragedi tersebut menjadi jelas klimaksnya ketika kita menyaksikan bahwa kelas
yang ingin mempertahankan kekuasaannya melanggar pasal 3 dan 5 dari Universal
Declaration of Human Rights:
“Setiap orang
berhak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.”“Tidak seorang pun
boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum
secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya”
Sepertinya setiap dari kita paham apa maksud dari
kedua pernyataan tersebut. Namun, bagi yang mempertahankan legitimasi
kekuasaannya akan berbicara soal pembelaan dirinya yang bahkan didukung oleh
sesama jenisnya. Ya, kita berbicara soal kasus Salim Kancil yang mencoba
mempertahankan tanah pertaniannya dari gempuran industrialisasi yang
menguntungkan segolongan pihak. Kita juga berbicara soal kasus petani Rembang
yang mempertahankan lahannya dari gempuran tambang semen. Kita juga tidak lupa
bagaimana soal banyaknya buruh dan tani yang ditindas oleh segolongan pihak
yang ingin mempertahankan legitimasi nilai lebihnya. Terlepas dari banyaknya
aktivis yang juga merasakan hal yang sama karena membela mereka seperti Widjie
Thukul, Munir, Marsinah, dan Tan Malaka.
Kisah Salim
Kancil: Nyawa Kami Tak Semahal Tambang Pasir!
Sudah banyak yang berkisah soal Salim Kancil namun
sedikit yang membuka matanya melihat bagaimana realitas yang sebenarnya. Slogan
“Nyawa kami tak semahal tambang pasir!” menjadi khas ketika tambang pasir yang
berkedok pembangunan kawasan wisata Pantai Watu Pecak melakukan tindakan yang
tidak manusiawi kepada Salim Kancil dan Tosan[1]. Kedua petani tersebut menolak
pembangunan tambang pasir karena menurut mereka, tambang tersebut mengurangi
kualitas pertanian di wilayah tersebut.
“Tambang tersebut
mengurangi kualitas pertaniannya. Mengganggu dan berdampak pada kekeringan air”
Begitulah pernyataan Munhur saat konferensi pers di
gedung Komnas HAM pada 28 September 2015. Munhur juga menjelaskan bahwa
masyarakat sudah lebih dari setahun melakukan komplain, tetapi pihak penguasa
tidak merespon sama sekali hingga 26 September baru ada penegakan hukum.
Perihal tambang, warga mendapat pengumuman sosialisasi dari kepala desa tentang
pembangunan kawasan wisata Pantai Watu Pecak, namun yang terjadi malah
penambangan pasir di wilayah konsesi PT. Indo Modern Mining Sejahtera. Fakta
lain bahkan mengungkap bahwa wilayah konsesi tersebut milik Perhutani[2].
Hal tersebutlah yang membuat Salim Kancil dan Tosan
bersuara untuk menolak tambang. Namun, yang terjadi ialah tindakan tidak manusiawi.
Salim Kancil menjadi target pertama, beliau diseret dari rumahnya lalu disetrum
dan dianiaya hingga akhirnya leher beliau digergaji. Lebih sadis lagi, kepala
beliau bahkan dipacul dan dihantam dengan batu. Salim Kancil tewas dan mayatnya
dibuang di areal perkebunan warga[3]. Pak Tosan sendiri menjadi target ketiga,
beliau juga dianiaya oleh 30 orang secara keji. Namun, beliau berhasil
diselamatkan warga.
Nyawa kami tak semahal tambang pasir! menjadi slogan
khas ketika banyak aktivis HAM yang mengutuk kejadian tersebut. Salim Kancil
menjadi ikon HAM terbaru dan disejajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Munir dan
Marsinah. Dengan bertambahnya ikon HAM yang baru, sudah seharusnya kita
menuntaskan seluruh tragedi kemanusiaan tersebut. Namun, yang terjadi ialah
kita malah memelihara masalah ini berlarut-larut sehingga bukan tidak mungkin
kita akan menemukan ikon HAM terbaru lagi di masa yang akan datang. Cukuplah
Salim Kancil yang mnejadi ikon HAM terakhir di Bumi Pertiwi!
Menolak Lupa:
Sebelum dan Setelah Salim Kancil?
Di awal abad 20, kita mengenal tokoh-tokoh aktivis
yang membela rakyat tertindas seperti Haji Misbach, Cokroaminoto, Agus Salim,
Tan Malaka, dan banyak lagi yang tidak pernah ketahuan rimbanya. Sebagian besar
dari kita bahkan baru mengetahui nama-nama tersebut ketika kita berani untuk
mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan sejarah. Haji Misbach, pada
masa awal pergerakan merupakan aktivis Sarekat Islam Merah yang dibuang ke
Digul bersama ribuan aktivis lainnya dan bahkan meninggal disana. Lain lagi
dengan kisah Tan Malaka yang bahkan dibunuh oleh TRI yang notabene tentara
republik kita dan lalu mayatnya dibuang ke Sungai Brantas. Jika saja Harry A.
Poeze tidak mengekspos bagaimana kehidupan Tan Malaka secara eksplisit, mungkin
generasi muda kita tidak akan mengenalnya lagi.
Pada masa akhir Orde Lama, kita mengenal aktivis
mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama Soe Hok Gie yang sempat banyak
menulis catatan mengenai keruntuhan Orde Lama. Selain itu, kita bahkan tidak
mengenal banyak nama-nama rakyat-yang dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI)-yang dibunuh dan dibuang secara tidak manusiawi. Kita mengenal
tragedi kemanusiaan ini setelah rezim Orde Baru runtuh di awal masa Reformasi.
Ini jelas membuktikan bahwa sejarah hanya milik para pemenang.
Di masa Orde Baru, banyak aktivis kemanusiaan seperti
aktivis-aktivis Malari, Marsinah, dan bahkan para Kyai di Tanjung Priok juga
menjadi korban yang dilanggar hak asasinya. Belum lagi di masa awal Reformasi
ketika banyak aktivis HAM dan juga aktivis mahasiswa yang hilang akibat
tindakan mereka dituduh subversif seperti Widjie Thukul dan juga para aktivis
Trisakti. Hingga masa sekarang kita mengenal Munir, para aktivis buruh dan tani
hingga Salim Kancil.
Setelah Salim Kancil? Rupanya kita dibuat menunggu,
apa akan ada yang meneruskan wajah ikon HAM sebagai tanda peringatan menolak
lupa atau akan berhenti pada Salim Kancil saja? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menjadi tidak berguna ketika kita sebagai manusia masih melanggar batas
kebebasan manusia lainnya. Setiap kali ada individu yang memperjuangkan batas
kebebasannya akan selalu dituduh subversif oleh pihak yang tidak terima
penindasannya dibongkar oleh individu pejuang tersebut. Albert Camus menyebut
mereka para pemberontak-ketika mereka berkata ‘ya’ untuk setiap pekerjaan yang
mereka nikmati pada awalnya dan lalu akan berkata ‘tidak’ ketika mereka
menyadari telah terjadi penghisapan dan penindasan dalam pekerjaan mereka-dan
hal tersebut menjadi lebih terungkap ketika kita mengetahui bahwa adanya faktor
ekonomi yang akhirnya merenggut HAM setiap manusia yang ingin dipekerjakan.
Penutup: A Tribute
To Human Rights
Salim Kancil menjadi suatu peringatan bagi siapa saja
yang menentang penghisapan dan kebijakan pemerintah. Mengapa kita tidak boleh
memperjuangkan hak hidup kita? Pemerintah dan sistemnya Kapitalisme tidak mau
rugi akibat tindakan-tindakan subversif yang mengatasnamakan HAM terjadi lagi.
Namun, bagi kita yang peduli dengan HAM, tindakan tersebut bahkan diluar batas
kemanusiaan. Jika pemerintah tidak mau mengurus, sudah sepatutnya kita-sebagai
manusia yang sadar-memperjuangkan HAM yang sudah dilanggar oleh segolongan
pihak demi mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Sudah sepatutnya-seperti
bagian dari lirik lagu Efek Rumah Kaca-kita menjadikan yang hilang sebagai
katalis untuk menciptakan nyali berlapis tuk lebih memperjuangkan keadilan!
Sumber:
[1]
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/29/058704805/kisah-salim-kancil-penolak-tambang-disetrum-dia-tak-mati/1
[3]
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/679932-detik-detik-penculikan-dan-pembunuhan-sadis-salim-kancil