Thursday, May 31, 2018 0 comments

Kesadaran Kolektif Masyarakat Multikultural Dalam Perspektif Marxisme


Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mempunyai anggota dari berbagai corak produksi dan kebudayaan yang berbeda. Mereka membaur jadi satu karena ada beberapa faktor yang menyatukan mereka diantaranya ialah faktor ekonomi, geografis, dan agama. Kesamaan faktor tersebut lah yang membentuk kesatuan masyarakat multicultural. Masyarakat multicultural bercorak heterogen. Inilah yang membuat masyarakat multicultural sangat unik.
Jika kita berbicara tentang masyarakat, maka kita tidak bisa lepas dari kesadaran kolektif. Sebelum menelisik lebih jauh soal kesadaran kolektif, ada baiknya kita lihat bagaimana Karl Marx berbicara soal kesadaran dari perspektif Materialisme Dialektika :
“… Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.”
Friday, May 25, 2018 0 comments

Salim Kancil’s Tribute


Mengapa tulisan ini harus berjudul demikian? Jika kita memperhatikan sejak dahulu sebagian besar manusia berusaha mempertahankan Hak Asasi Manusia (atau HAM) sedemikian rupa. Sekarang kita menyaksikan bahwa ternyata HAM itu sendiri yang mempertahankan dirinya dari gempuran hasrat manusia yang takut ketika ada ancaman subversif dan sebagainya. Ya, HAM menjadi suatu kisah yang lakonnya dimainkan oleh dua kelas yang saling bertentangan-yang pertama kita mengenal para pejuang, lalu yang kedua ialah para antagonis yang mempertahankan nilai lebih hasil penindasan-yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelas yang kedua. Inilah mengapa rasanya pantas kita menulis A Tribute to Human Rights sebagai rasa bela sungkawa kita terhadap pementasan tragedi tersebut. Tragedi tersebut menjadi jelas klimaksnya ketika kita menyaksikan bahwa kelas yang ingin mempertahankan kekuasaannya melanggar pasal 3 dan 5 dari Universal Declaration of Human Rights:
“Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.”“Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya”
Sepertinya setiap dari kita paham apa maksud dari kedua pernyataan tersebut. Namun, bagi yang mempertahankan legitimasi kekuasaannya akan berbicara soal pembelaan dirinya yang bahkan didukung oleh sesama jenisnya. Ya, kita berbicara soal kasus Salim Kancil yang mencoba mempertahankan tanah pertaniannya dari gempuran industrialisasi yang menguntungkan segolongan pihak. Kita juga berbicara soal kasus petani Rembang yang mempertahankan lahannya dari gempuran tambang semen. Kita juga tidak lupa bagaimana soal banyaknya buruh dan tani yang ditindas oleh segolongan pihak yang ingin mempertahankan legitimasi nilai lebihnya. Terlepas dari banyaknya aktivis yang juga merasakan hal yang sama karena membela mereka seperti Widjie Thukul, Munir, Marsinah, dan Tan Malaka.

Kisah Salim Kancil: Nyawa Kami Tak Semahal Tambang Pasir!
Sudah banyak yang berkisah soal Salim Kancil namun sedikit yang membuka matanya melihat bagaimana realitas yang sebenarnya. Slogan “Nyawa kami tak semahal tambang pasir!” menjadi khas ketika tambang pasir yang berkedok pembangunan kawasan wisata Pantai Watu Pecak melakukan tindakan yang tidak manusiawi kepada Salim Kancil dan Tosan[1]. Kedua petani tersebut menolak pembangunan tambang pasir karena menurut mereka, tambang tersebut mengurangi kualitas pertanian di wilayah tersebut.
“Tambang tersebut mengurangi kualitas pertaniannya. Mengganggu dan berdampak pada kekeringan air”
Begitulah pernyataan Munhur saat konferensi pers di gedung Komnas HAM pada 28 September 2015. Munhur juga menjelaskan bahwa masyarakat sudah lebih dari setahun melakukan komplain, tetapi pihak penguasa tidak merespon sama sekali hingga 26 September baru ada penegakan hukum. Perihal tambang, warga mendapat pengumuman sosialisasi dari kepala desa tentang pembangunan kawasan wisata Pantai Watu Pecak, namun yang terjadi malah penambangan pasir di wilayah konsesi PT. Indo Modern Mining Sejahtera. Fakta lain bahkan mengungkap bahwa wilayah konsesi tersebut milik Perhutani[2].
Hal tersebutlah yang membuat Salim Kancil dan Tosan bersuara untuk menolak tambang. Namun, yang terjadi ialah tindakan tidak manusiawi. Salim Kancil menjadi target pertama, beliau diseret dari rumahnya lalu disetrum dan dianiaya hingga akhirnya leher beliau digergaji. Lebih sadis lagi, kepala beliau bahkan dipacul dan dihantam dengan batu. Salim Kancil tewas dan mayatnya dibuang di areal perkebunan warga[3]. Pak Tosan sendiri menjadi target ketiga, beliau juga dianiaya oleh 30 orang secara keji. Namun, beliau berhasil diselamatkan warga.
Nyawa kami tak semahal tambang pasir! menjadi slogan khas ketika banyak aktivis HAM yang mengutuk kejadian tersebut. Salim Kancil menjadi ikon HAM terbaru dan disejajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Munir dan Marsinah. Dengan bertambahnya ikon HAM yang baru, sudah seharusnya kita menuntaskan seluruh tragedi kemanusiaan tersebut. Namun, yang terjadi ialah kita malah memelihara masalah ini berlarut-larut sehingga bukan tidak mungkin kita akan menemukan ikon HAM terbaru lagi di masa yang akan datang. Cukuplah Salim Kancil yang mnejadi ikon HAM terakhir di Bumi Pertiwi!

Menolak Lupa: Sebelum dan Setelah Salim Kancil?
Di awal abad 20, kita mengenal tokoh-tokoh aktivis yang membela rakyat tertindas seperti Haji Misbach, Cokroaminoto, Agus Salim, Tan Malaka, dan banyak lagi yang tidak pernah ketahuan rimbanya. Sebagian besar dari kita bahkan baru mengetahui nama-nama tersebut ketika kita berani untuk mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan sejarah. Haji Misbach, pada masa awal pergerakan merupakan aktivis Sarekat Islam Merah yang dibuang ke Digul bersama ribuan aktivis lainnya dan bahkan meninggal disana. Lain lagi dengan kisah Tan Malaka yang bahkan dibunuh oleh TRI yang notabene tentara republik kita dan lalu mayatnya dibuang ke Sungai Brantas. Jika saja Harry A. Poeze tidak mengekspos bagaimana kehidupan Tan Malaka secara eksplisit, mungkin generasi muda kita tidak akan mengenalnya lagi.
Pada masa akhir Orde Lama, kita mengenal aktivis mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama Soe Hok Gie yang sempat banyak menulis catatan mengenai keruntuhan Orde Lama. Selain itu, kita bahkan tidak mengenal banyak nama-nama rakyat-yang dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)-yang dibunuh dan dibuang secara tidak manusiawi. Kita mengenal tragedi kemanusiaan ini setelah rezim Orde Baru runtuh di awal masa Reformasi. Ini jelas membuktikan bahwa sejarah hanya milik para pemenang.
Di masa Orde Baru, banyak aktivis kemanusiaan seperti aktivis-aktivis Malari, Marsinah, dan bahkan para Kyai di Tanjung Priok juga menjadi korban yang dilanggar hak asasinya. Belum lagi di masa awal Reformasi ketika banyak aktivis HAM dan juga aktivis mahasiswa yang hilang akibat tindakan mereka dituduh subversif seperti Widjie Thukul dan juga para aktivis Trisakti. Hingga masa sekarang kita mengenal Munir, para aktivis buruh dan tani hingga Salim Kancil.
Setelah Salim Kancil? Rupanya kita dibuat menunggu, apa akan ada yang meneruskan wajah ikon HAM sebagai tanda peringatan menolak lupa atau akan berhenti pada Salim Kancil saja? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi tidak berguna ketika kita sebagai manusia masih melanggar batas kebebasan manusia lainnya. Setiap kali ada individu yang memperjuangkan batas kebebasannya akan selalu dituduh subversif oleh pihak yang tidak terima penindasannya dibongkar oleh individu pejuang tersebut. Albert Camus menyebut mereka para pemberontak-ketika mereka berkata ‘ya’ untuk setiap pekerjaan yang mereka nikmati pada awalnya dan lalu akan berkata ‘tidak’ ketika mereka menyadari telah terjadi penghisapan dan penindasan dalam pekerjaan mereka-dan hal tersebut menjadi lebih terungkap ketika kita mengetahui bahwa adanya faktor ekonomi yang akhirnya merenggut HAM setiap manusia yang ingin dipekerjakan.

Penutup: A Tribute To Human Rights
Salim Kancil menjadi suatu peringatan bagi siapa saja yang menentang penghisapan dan kebijakan pemerintah. Mengapa kita tidak boleh memperjuangkan hak hidup kita? Pemerintah dan sistemnya Kapitalisme tidak mau rugi akibat tindakan-tindakan subversif yang mengatasnamakan HAM terjadi lagi. Namun, bagi kita yang peduli dengan HAM, tindakan tersebut bahkan diluar batas kemanusiaan. Jika pemerintah tidak mau mengurus, sudah sepatutnya kita-sebagai manusia yang sadar-memperjuangkan HAM yang sudah dilanggar oleh segolongan pihak demi mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Sudah sepatutnya-seperti bagian dari lirik lagu Efek Rumah Kaca-kita menjadikan yang hilang sebagai katalis untuk menciptakan nyali berlapis tuk lebih memperjuangkan keadilan!


Sumber:
[1] http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/29/058704805/kisah-salim-kancil-penolak-tambang-disetrum-dia-tak-mati/1
[2] Ibid
[3] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/679932-detik-detik-penculikan-dan-pembunuhan-sadis-salim-kancil


Friday, May 11, 2018 0 comments

Transformasi Ilmu Menjadi Nilai


“Ketika Ilmu Menjadi Sebuah Nilai Yang Kuantitatif”
Ilmu adalah sebuah pengetahuan yang telah di validkan melalui penelitian ilmiah. Misalnya adalah ketika kita berbicara tentang konsep keilmuan dan kefilsafatan, maka kita akan mendapati perbedaan. Filsafat adalah bentuk pengetahuan yang tidak perlu mendapatkan klaim empiris dan ilmiah, sedangkan ilmu mendapatkan klaim empiris serta ilmiah. Ilmu di ciptakan melalui serangkaian metode ilmiah yang telah di tentukan yaitu hipotesa, eksperimen, dan kritik (setidaknya itu menurut saya secara general). Studi tentang keilmuan dan batas-batasnya adalah Epistemologi.
Saturday, May 5, 2018 0 comments

Sang Teoritikus Revolusioner Berpengaruh

200 TAHUN LAHIRNYA DR. KARL HEINRICH MARX
5 Mei 1818, Henrietta Pressburg harus menghela nafas panjang-panjang dan berusaha teriak sekuat tenaga demi melahirkan seorang anak di rumahnya. Tangannya dipegang erat-erat oleh Heinrich Marx, terkadang sang suami berkata “Ayo istriku, berusahalah untuk tetap hidup demi melihat anakmu ini yang nantinya akan menjadi pengubah nasib dunia”. Anak itu lahir ke dunia dengan tangisan yang keras karena matanya langsung melihat keadaan kota Trier yang penuh dengan kumpulan tani miskin. Belum lagi penindasan pajak yang dilakukan oleh Kekaisaran Prusia terhadap penduduk miskin kota membuat anak itu tidak berhenti menangis. Begitulah tangisan pertama sang guru yang membuat mata kita terbuka dan seketika menangis melihat adanya penindasan di bumi ini yang dilakukan karena faktor ekonomi, dialah KARL MARX.
 
;